Teknologi Digital Perlu Sokong Kemitraan Agribisnis
Kehadiran teknologi memperkuat akses pasar, mengefisiensikan distribusi, dan diharapkan menarik minat generasi muda. Oleh karena itu, kemitraan pelaku industri dengan petani perlu diperkuat dengan memanfaatkan teknologi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Agar berdampak optimal bagi semua pihak yang terlibat, kemitraan terpadu dan inklusif di sektor agribisnis membutuhkan teknologi digital. Kehadiran teknologi dapat memperkuat akses pasar, mengefisiensikan distribusi, dan diharapkan menarik minat generasi muda.
Berdasarkan data yang dihimpun, Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan, mode dan elektronik menjadi produk favorit yang dibeli konsumen secara dalam jaringan (daring). Saat pandemi Covid-19, tren tersebut bergeser ke makanan-minuman, barang konsumsi bergerak cepat (FMCG), dan peralatan rumah tangga.
”Artinya, kebutuhan makanan-minuman meningkat. Produk ini sarat dengan sektor pertanian dan pangan,” katanya dalam diskusi panel Jakarta Food Security Summit ke-5 yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia secara daring, Rabu (18/11/2020).
Oleh sebab itu, dia menilai, masyarakat dapat membantu petani dan nelayan secara tidak langsung dengan membeli produk makanan-minuman yang dijual secara daring. Pengeluaran tersebut akan berdampak pada rantai pasok pangan dan pertanian.
Selain membantu pelaku usaha dalam mengakses pasar, teknologi digital dapat menjadi solusi permasalahan rantai distribusi produk pangan dan pertanian. Teknologi digital dapat meningkatkan efisiensi rantai pasok dan menunjang pemerataan akses distribusi dari hulu hingga hilir.
Pada awal 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, margin perdagangan dan pengangkutan delapan komoditas pangan strategis atau yang berkontribusi signifikan terhadap pembentukan produk domestik bruto mencapai lebih dari 12 persen sepanjang 2018. Margin perdagangan dan pengangkutan beras, misalnya, berkisar 20,83 persen, sementara telur ayam ras 13,09 persen, bawang merah 35,73 persen, daging sapi 41,04 persen, dan daging ayam ras 24,72 persen.
Margin yang tergolong besar itu menunjukkan belum efisiennya rantai pasok sehingga ada ketimpangan harga yang diterima oleh konsumen dan petani. ”Petani pun berada di mata rantai terbawah. Dampaknya, generasi muda saat ini tidak berminat menjadi petani. Bahkan, ironisnya, anak petani tidak mau menjadi petani. Padahal, bisnis ketahanan pangan berpotensi untuk berkembang di masa mendatang,” ujarnya.
Data Sensus Pertanian 2013 yang dipublikasikan BPS menyatakan, proporsi petani pada kelompok usia 25-34 tahun sebesar 11,97 persen, sedangkan kelompok usia 55-64 tahun mencapai 20,01 persen. Lima tahun kemudian, data Survei Pertanian Antar Sensus 2018 menyebutkan, proporsi petani dalam rentang usia 25-34 tahun berkisar 10,64 persen dan kelompok usia 55-64 tahun sekitar 22,16 persen.
Per Agustus 2020, BPS mencatat, jumlah serapan penduduk bekerja di sektor pertanian sekitar 29,76 persen dan menempati posisi pertama dibandingkan dengan bidang lainnya. Di sisi lain, rata-rata upah buruh di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya sebesar Rp 1,91 juta dan di bawah rata-rata nasional yang mencapai Rp 2,76 juta.
Meninjau potensinya, Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kamar Dagang dan Industri Indonesia Franciscus Welirang berpendapat, teknologi digital perlu dikembangkan dalam inclusive close loop atau kemitraan terpadu dengan sistem tertutup. Kemitraan ini melibatkan petani, pelaku usaha dan industri, pemerintah, lembaga keuangan, dan koperasi.
Tak hanya dengan teknologi digital, pemrosesan pascapanen juga dapat memangkas margin harga antara petani dan konsumen. ”Produk kegiatan pascapanen di desa, seperti pengemasan, pencucian, dan pemilihan (hasil panen), sebaik tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai oleh pemerintah,” katanya.
Dari sisi perbankan, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sunarso menyatakan, sektor pertanian dan pangan menjadi salah satu fokus dalam penyaluran kredit. Pertumbuhan sektor usaha tersebut dapat terjaga karena pangan merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Apalagi, kini jual-beli secara daring turut menopang keberlangsungan bisnis pertanian dan pangan itu.
Secara keseluruhan, BRI telah merestrukturisasi kredit sebesar Rp 193 triliun. Kredit tersebut berasal dari 2,9 juta nasabah yang mayoritas merupakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.