Prinsip Berkelanjutan Jadi Indikator Daya Saing Agrobisnis
Akibat pandemi Covid-19, pemenuhan prinsip-prinsip keberlanjutan menjadi ukuran daya saing produk sektor pangan dan pertanian. Prinsip ini meliputi aspek lingkungan, kesehatan, dan keterlibatan petani.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berdampak pada penguatan prinsip-prinsip perdagangan berkelanjutan di kancah dunia. Orientasi daya saing produk Indonesia, khususnya produk agrobisnis, pun mesti mengacu pada nilai-nilai kelestarian tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menilai, pemenuhan prinsip-prinsip berkelanjutan atau sustainability menjadi ukuran daya saing produk, salah satunya di sektor pangan dan pertanian. Standar yang menjadi kebijakan nontarif pun mengikuti prinsip-prinsip tersebut.
”Aspek kesehatan dan lingkungan menjadi sorotan, contohnya di negara maju, seperti Amerika Serikat atau anggota Uni Eropa (UE). Daftar produk yang dikendalikan semakin banyak dan tingkat toleransinya kian rendah,” ujarnya dalam diskusi panel Jakarta Food Security Summit Ke-5 yang digelar Kadin Indonesia secara daring, Kamis (19/11/2020).
Pada aspek kesehatan, patokan keamanan pangan semakin ketat sehingga berdampak pada standar kemasan dan pelabelan. Tingkat kesegaran dan kebersihan pangan pun mesti menjadi perhatian.
Dari segi lingkungan, aspek pemanfaatan lahan, pemeliharaan lingkungan, dan ketertelusuran menjadi standar sekaligus indikator daya saing produk. Hal ini turut meninjau kontribusi produk pangan dan pertanian terhadap pembalakan hutan dan perlindungan satwa.
Secara sosial, daya saing dalam perdagangan berkelanjutan mengukur keterlibatan komunitas sekitar. ”Inklusivitas menjadi penentu faktor daya saing. Produk (agrobisnis) yang tidak mengesampingkan dan tidak mencederai petani dapat tergolong dalam produk premium,” kata Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) sekaligus Wakil Menteri Perdagangan periode 2011-2014 Bayu Krisnamurthi dalam kesempatan yang sama.
Oleh karena itu, kemitraan inklusif dalam agrobisnis seharusnya membuat risiko dalam proses produksi dan rantai pasok tidak dibebankan kepada petani dan pelaku usaha mikro yang terlibat. Petani pun idealnya memiliki suara dalam pengambilan keputusan.
Standar-standar berkelanjutan itu, kata Shinta, tidak menyalahi aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Penerapan standar harus transparan guna memberikan kepastian dalam perdagangan. ”Indonesia tetap perlu berhati-hati agar standar itu tidak menjadi sarana diskriminasi,” katanya.
Salah satu produk pertanian Indonesia yang mendapatkan diskriminasi ialah kelapa sawit. UE menggolongkan minyak kelapa sawit mentah sebagai bahan bakar nabati yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tidak langsung dalam dokumen Arahan Energi Terbarukan II atau RED II dan Delegated Regulation. Indonesia telah melayangkan gugatan kepada UE di tingkat WTO dengan nomor kasus DS593.
Terkait dengan diplomasi kelapa sawit itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan, pihaknya telah berkomunikasi dengan perwakilan UE beberapa hari lalu. ”Kami membangun kemitraan yang kokoh dengan UE dan menyelesaikan isu sawit. Dalam hal ini, kami juga meminta diperlakukan secara adil. Ini merupakan kepentingan nasional kita,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Digitalisasi
Selain prinsip-prinsip berkelanjutan, digitalisasi proses bisnis turut menopang daya saing produk pertanian dan pangan. Bayu mencontohkan, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP meningkatkan fungsi ketertelusuran suatu produk hingga ke daerah asalnya (source of origin). Fungsi ini perlu ditopang oleh teknologi digital.
Melalui inovasi dan teknologi digital, Shinta menilai, sejumlah generasi muda kembali ke desa dan bahkan menggarap sektor pertanian di hulu. ”Generasi muda saat ini juga lebih sadar lingkungan,” katanya.
Menanggapi antusiasme itu, dia menyatakan, ekosistem permodalan bagi mereka perlu dipersiapkan, khususnya melalui pembiayaan nonperbankan. Investor mesti berani menyuntikkan dana, apalagi bagi mereka yang membentuk usaha rintisan yang sejalan dengan nilai-nilai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan inklusivitas.
Pemulihan berkelanjutan
Sementara itu, diskusi terstruktur mengenai perdagangan dan kelestarian lingkungan menjadi salah satu inisiatif yang diluncurkan oleh WTO. Hal ini mengemuka dalam WTO’s Trade and Environment Week sebagaimana disampaikan melalui siaran pers, Rabu.
Diskusi akan membahas aksi potensial yang mendukung kelestarian lingkungan dalam sejumlah subyek kepentingan WTO. Perwakilan dari kelompok pengusung inisiatif tersebut terdiri dari Australia, Kanada, Chad, Chile, Kostarika, UE Gambia, Fiji, Eslandia, Jepang, Korea, Liechtenstein, Maladewa, Meksiko, Moldova, Montenegro, Selandia Baru, Macedonia Utara, Norwegia, Senegal, Swiss, Inggris (UK), dan The Separate Customs Territory of Taiwan, Penghu, Kinmen, dan Matsu.
Menurut Deputy Director-General WTO Alan Wolff, pandemi Covid-19 telah menunjukkan, lingkungan, kesehatan manusia, dan ekonomi terhubung secara intim. Dalam hal ini, kebijakan perdagangan yang tepat akan berdampak pada pemulihan yang berkelanjutan dan inklusif, tak hanya menyoal aspek perekonomian.