Pemulihan Ekonomi RI Butuh Detail Strategi Industri
Pemulihan ekonomi nasional membutuhkan strategi reformasi industri yang lebih detail. Optimalkan pula pertumbuhan kawasan industri dalam reformasi tersebut.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi dan transformasi industri menjadi keniscayaan untuk mewujudkan pemulihan ekonomi berkelanjutan. Sektor industri yang perlu mendapat dukungan fiskal dan nonfiskal harus dipetakan secara detail.
Pendiri Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini menuturkan, pemulihan ekonomi mesti dibarengi perbaikan struktur ekonomi. Dibandingkan dengan negara lain, struktur ekspor Indonesia masih didominasi komoditas primer, bukan manufaktur. Bahkan, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus merosot.
”Sisi produksi memang membaik selama triwulan I sampai III-2020. Namun, dalam jangka panjang, ada masalah prematur industrialisasi yang sudah didiskusikan sejak 2007 dan belum ada solusi,” ujarnya dalam ”CORE Economic Outlook 2021” yang digelar secara virtual di Jakarta, Rabu (18/11/2020).
Sisi produksi memang membaik selama triwulan I sampai III-2020. Namun, dalam jangka panjang ada masalah prematur industrialisasi yang sudah didiskusikan sejak 2007 dan belum ada solusi.
Menurut Hendri, pemerintah telah menggelontorkan anggaran besar untuk mendorong sektor riil melalui perbankan. Kebijakan ini positif untuk membantu pelaku usaha bertahan selama pandemi Covid-19, tetapi belum cukup. Pemerintah harus memetakan strategi kebijakan lebih detail untuk mendukung pertumbuhan sektor riil.
Paling tidak ada tiga sektor prioritas yang dibidik pemerintah, yakni pertanian, pariwisata, serta kimia dasar dan farmasi. Strategi kebijakan seharusnya diarahkan untuk mendukung sektor industri prioritas itu. Salah satunya program penyaluran kredit perbankan dan restrukturisasi.
”Pemerintah perlu menyusun strategi tidak cukup hanya dengan menyerahkan ke swasta. Paling tidak ada dasar panduan (guideline) dari pemerintah,” katanya.
Hendri menambahkan, dukungan bagi sektor riil yang sifatnya nonfiskal diperlukan pada 2021. Kebijakan ini positif untuk membantu pelaku usaha bertahan selama pandemi Covid-19, tetapi belum cukup. Dukungan nonfiskal ini bisa berupa kebijakan integrasi antarsektor, atau peningkatan program linkage antara UMKM dan usaha besar.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, pemulihan ekonomi Indonesia banyak dipengaruhi faktor domestik. Karakteristik struktur ekonomi Indonesia berbeda dengan negara lain yang bergantung eksternal. Kontribusi perdagangan internasional terhadap PDB hanya 18,4 persen.
Reformasi dan transformasi industri tidak terlepas dari arah kebijakan pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan investasi industri logam dan farmasi. Ekspansi industri logam sampai September 2020 naik lebih dari 85 persen.
”Ini dipengaruhi kebijakan pembangunan smelter dan pelarangan impor bijih nikel,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Faisal, ekspansi industri kimia dasar dan farmasi naik 61 persen hingga September 2020. Kenaikan investasi di sektor kimia dasar dan farmasi salah satunya dipengaruhi kebijakan pengurangan impor bahan baku obat-obatan. Kondisi ini sejalah dengan pertumbuhan penjualan neto produk-produk farmasi. Arah kebijakan pemerintah ini jelas menjadi kunci reformasi dan transformasi ekonomi.
Secara terpisah, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Samual, berpendapat, transformasi industri akan membuka peluang ekspor lebih besar. Indonesia dapat memanfaatkan momentum meredanya perang dagang Amerika Serikat-China pascaterpilihnya Joe Biden sebagai presiden ke-46 AS.
Di sisi lain, China menjadi segelintir negara yang perekonomiannya mulai pulih. Pemulihan China akan berimbas positif ke kinerja ekspor. Indonesia juga dapat menangkap peluang relokasi industri dari China yang tidak bisa masuk ke Vietnam.
”Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus terimplementasi dengan baik di pusat ataupun daerah,” ujarnya.
Pemulihan China akan berimbas positif ke kinerja ekspor. Indonesia juga dapat menangkap peluang relokasi industri dari China yang tidak bisa masuk ke Vietnam.
Kawasan industri
Pertumbuhan kawasan industri yang semula mengalami kontraksi akibat dampak pandemi Covid-19 kini berangsur membaik dengan tren tumbuh positif pada 2021. Permintaan kawasan industri yang progresif tecermin dari munculnya kawasan-kawasan industri baru.
Konsultan properti Knight Frank Indonesia mencatat penyerapan lahan kawasan industri di Jabodetabek sepanjang Januari-September 2020 sebanyak 107 hektar. Dari jumlah itu, serapan kawasan industri terbesar ada di Bekasi (61,42 ha atau 57 persen).
Senior Advisor Research Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat mengemukakan, permintaan lahan kawasan industri terus tumbuh dan diperkirakan berlanjut pada 2021. Permintaan lahan kawasan industri antara lain berasal dari investor asing.
Perluasan kawasan industri Jabodetabek pada koridor barat dan timur hingga ke Purwakarta dan Subang di Jawa Barat berpeluang untuk menangkap relokasi industri global. Keberadaan infrastruktur penunjang di Patimban menjadikan Subang sebagai daerah unggul dengan akses kawasan industri.
”Patimban juga memiliki koneksi dengan perluasan kawasan industri baru yang dikembangkan, seperti Batang, Brebes, dan Kendal,” ujarnya. (BM LUKITA GRAHADYARINI)