Sistem Pengadaan Masih Lambat, Rp 60 Triliun Belum Terserap
Rendahnya kinerja penyerapan belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah berdampak terhadap pelayanan publik dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah masih belum andal. Menjelang akhir tahun, sedikitnya Rp 60 triliun anggaran pengadaan barang dan jasa pemerintah belum terserap.
Presiden Joko Widodo dalam pidato saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dari Istana Kepresidenan di Bogor, Jawa Barat, Selasa (18/11/2020), menyatakan, perekonomian membutuhkan peredaran uang yang semakin banyak dalam krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 saat ini. Di tengah situasi ini, sumber uang yang paling diharapkan adalah belanja pemerintah.
”Oleh sebab itu, pengadaan barang dan jasa yang praktis tinggal sebulan harus betul-betul kita belanjakan sesuai rencana, baik APBN maupun APBD. Per 18 November, masih ada konstruksi yang masih proses lelang senilai Rp 40 triliun. Lalu, pengerjaannya kapan? Tinggal sebulan. Ingat 22 Desember, kita sudah tutup masuk libur panjang akhir tahun,” kata Presiden.
Hadir dalam acara yang diselenggarakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) tersebut adalah para menteri, gubernur, wali kota, bupati, serta pimpinan dan anggota organisasi profesi. Acara mengusung tema ”Transformasi Digital dan Profesionalisme SDM Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”.
Baca juga: Manfaatkan Efek Samping Pandemi Covid-19
Salah satu sebab menumpuknya anggaran di akhir tahun, menurut Presiden, adalah karena kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah sekadar mengerjakan rutinitas. Pahadal, situasi saat ini membutuhkan terobosan untuk mempercepat penyerapan anggaran.
Oleh karena itu, Presiden menekankan, sudah saatnya pemerintah dan birokrasi melakukan perubahan fundamental pada sistem pengadaan barang dan jasa. Arahnya tidak saja memiliki sistem pengadaan barang dan jasa yang cepat dan akuntabel, tetapi juga meningkatkan value for money (nilai untuk uang) dengan memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat.
”Oleh karena itu, LKPP harus berani melakukan banyak terobosan, terutama dengan memanfaatkan teknologi supermodern. Bangun sistem pengadaan yang real time. Lakukan transformasi ke arah 100 persen e-procurement,” kata Presiden.
Persoalan hukum
Namun, Presiden juga menyadari bahwa masih ada kekhawatiran di kalangan pejabat dan aparat pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa. Kekhawatiran yang dimaksud adalah menyangkut risiko persoalan hukum di kemudian hari.
Untuk itu, Presiden mengingatkan, pemerintah telah menyediakan semua payung hukum yang diperlukan untuk mempercepat dan mempermudah proses pengadaan barang dan jasa, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, sampai ke peraturan menteri. Bahkan, LKPP juga sudah menyiapkan aturan yang dibutuhkan dalam pengadaan barang dan jasa pada situasi darurat.
Presiden juga telah memerintahkan Kepala BPKP, Kepala LKPP, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk memberikan pendampingan. Khusus aparat hukum, Presiden telah meminta agar lebih mengedepankan aspek pencegahan dengan cara lebih proaktif mengingatkan bilamana ada potensi persoalan.
”Jangan sampai pejabat dan aparat pemerintah dibiarkan terperosok. Setelah terperosok baru diberitahu. Tapi kalau sudah ada niatan, sudah ada mens rea, maka saya minta juga tidak ada kompromi. Tindak dengan setegas-tegasnya,” kata Presiden.
Kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah, Presiden meminta agar mereka mampu menjadi bagian dari solusi percepatan, bukan sebaliknya, menjadi bagian dari masalah.
”Dengan proteksi seperti itu, seharusnya kita para pejabat yang telah diberikan amanah, berani mengambil risiko untuk kepentingan rakyat sepanjang dilakukan dengan etiket baik, tidak ada niat untuk korupsi,” kata Presiden.
Sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, Presiden menambahkan, juga harus memprioritaskan pembelian produk-produk dalam negeri, khususnya produk UMKM.
Untuk itu, Presiden meminta peningkatan semaksimal mungkin Tingat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
”Peningkatan TKDN harus dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan, bukan sekadar pelengkap syarat dalam pengadaan barang dan jasa. Pembelian produk dalam negeri akan memberikan multiplier effect yang besar sekali. Jangan lupa jutaan tenaga kerja dan keluarganya juga menggantungkan hidupnya pada keberlangsungan industri dalam negeri dan sektor UMKM kita,” kata Presiden.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala LKPP, Roni Dwi Susanto, menyatakan, perencanaan dan pelaksanaan anggaran adalah tahapan awal dari ekosistem pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tahapan ini merupakan yang sangat strategis sehingga butuh perhatian khusus dari para pimpinan instansi agar menyusun rencana pengadaan secara baik dan mengumumkan rencana umum pengadaan sebelum tahun anggaran berjalan.
LKPP telah mengembangkan sistem informasi rencana umum pengadaan. Dengan demikian, Roni mengharapkan semua pengguna anggaran disiplin dan konsisten menjalankan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sehingga proses pengadaan menjadi terencana dan berbagai kegiatan sudah dapat dilaksanakan melalui tender sebelum pembagian daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
Dalam laporannya, Roni menyebutkan, dari total nilai belanja barang dan jasa pemerintah tahun 2020 senilai Rp 1.027,1 triliun, Rp 853,8 triliun di antaranya diumumkan pada rencana umum pengadaan.
Namun, sampai dengan 9 November, realisasinya masih kurang dari 50 persen. Masih ada paket pekerjaan senilai Rp 60,58 triliun yang masih dalam proses sistem lelang elektronik. Termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi senilai Rp 48,8 triliun. ”Rendahnya kinerja penyerapan belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah berdampak terhadap pelayanan publik dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi,” kata Roni.
Dari total anggaran pengadaan barang dan jasa tahun ini, menurut Rony, potensi belanja untuk UMKM mencapai Rp 318,03 triliun atau 37 persen. Realisasinya sejauh ini baru Rp 82,64 triliun atau 25,99 persen.
Guna mengejar angka 40 persen sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Roni mengimbau para pimpinan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah menjalin kontrak dengan UMKM untuk paket pengadaan senilai sampai dengan Rp 2,5 miliar. Sementara untuk paket pengadaan dengan nilai di atas Rp 2,5 miliar, instansi bisa berkontrak dengan usaha menengah dan atau usaha besar dengan tetap melibatkan usaha mikro dan kecil serta produk domestik.
Sejalan dengan itu, LKPP mencanangkan program Bela Pengadaan untuk mendukung UMKM Go Digital. Pengadaan melalui proses belanja langsung kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang nilainya paling tinggi Rp 50 juta yang tergabung di e-market place. Sampai saat ini, 71 kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah telah memanfaatkannya. Selanjutnya, LKPP akan menambah jumlah UMKM di e-market place sekaligus menjajaki kemungkinan meningkatkan batas atas belanja langsung, dari Rp 50 juta menjadi Rp 200 juta.
Dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah, Roni melanjutkan, kelembagaan pengadaan barang dan jasa harus lebih kuat dan mandiri. Hal ini ditempuh melalui pembentukan Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ).
Per l November, dari 617 kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, baru 489 instansi yang sudah membentuk UKPBJ secara struktural. Sebanyak 39 instansi lainnya masih bersifat UKPBJ yang bersifat ad hoc. Adapun 89 instansi lainnya masih belum mempunyai UKPBJ.
Padahal, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2018 tentang Pembentukan UKPBJ di Lingkungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah mewajibkan seluruh pemerintah daerah untuk membentuk UKPBJ secara struktural.
”Dengan kelembagaan yang kuat dan mandiri, diharapkan pengelola anggaran dapat lebih fokus, profesional, dan berintegritas sehingga terhindar dari praktek korupsi, serta tidak lagi rentan dintervensi, dan pada akhirnya tidak perlu takut dikriminalisasi,” kata Roni.
Baca juga : Ekosistem Ekonomi Digital Indonesia Diperkuat
Dalam laporannya, Rony juga menyinggung kurangnya jumlah pejabat fungsional yang bertugas mengelola pengadaan barang dan jasa pemerintah. Setiap tahun, rata-rata jumlah paket pengadaan barang dan jasa pemerintah mencapai 1.814.716 paket, dari APBN dan APBD. Sementara jumlah pejabat fungsional per 12 November hanya 2.231 orang.
Artinya, jika semua paket harus ditangani pejabat fungsional, maka rata-rata 1 orang pejabat fungsional harus terlibat dalam 813 paket per tahun. ”Hal yang sangat mustahil,” kata Rony.
Untuk itu, Pasal 88 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun memungkinkan adanya aparatur sipil negara yang kompeten dan bersertifikat untuk bisa melaksanakan fungsi pejabat pengadaan.
”Sebanyak 420 kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah belum mempunyai pejabat fungsional pengelolaan pengadaan. Dari evaluasi yang kami lakukan, kendala pemenuhan jabatan fungsional pengadaan adalah adanya risiko hukum yang tinggi, masih adanya intervensi, dan insentif yang kurang menarik,” kata Roni.