Diapora dan tinggalan masa Airlangga merupakan kelebihan Lamongan, Jawa Timur. Nusantara mengenal perantau Lamongan lewat khazanah kuliner, sedangkan Airlangga laksana sumur penelitian purbakala.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·6 menit baca
Jarak dari Kantor Wali Kota Samarinda ke Kantor Bupati Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur melalui Jalan Raya Samarinda-Tenggarong sekitar 30 kilometer. Ketika bertugas di sana kurun 2006-2011, pernah dicatat ada lebih dari 20 warung tenda kuliner khas Lamongan, Jawa Timur, di Jalan Raya Samarinda-Tenggarong. Lebih mudah menemukan soto koya, penyetan lele, atau sari laut khas Lamongan daripada hidangan ala Kutai, Banjar, atau Bugis.
Sempat terheran ketika soto koya, penyetan lele, atau sari laut khas Lamongan juga ada di pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Di Long Bagun, kawasan hulu Sungai Mahakam, terkejutlah diri ini ketika menjumpai warung soto Lamongan di antara permukiman Dayak. Di pedalaman Malinau dan Nunukan, situasi serupa juga ditemui. Padahal, Lamongan dan Kalimantan terpisah hampir 1.000 kilometer oleh Laut Jawa.
Serbuan Lamongan juga dapat terlihat di seluruh penjuru Nusantara. Lamongan adalah soto koya, penyetan lele, kuliner sari laut, juga terintegrasi dalam kecintaan rakyatnya terhadap kiprah Persela alias ”Laskar Joko Tingkir”. Tanyalah kepada penjaja kuliner dari Lamongan apakah menaruh hati juga untuk Persela? Jika jawabannya tidak, ke-Lamongan-nya patut diragukan atau tidak suka sepak bola.
Lele dan bandeng merupakan hewan yang berada dalam lambang resmi Lamongan. Secara lebih khusus, lele memiliki arti yang amat spesial, bahkan tidak sedikit yang mengeramatkan. Bupati Lamongan Fadeli, misalnya, dalam acara Penyet 1.000 Lele untuk kemeriahan ulang tahun kabupaten tahun lalu, tidak mencicipi daging ikan berkumis itu, tetapi sekadar sambal dan lalapannya.
”Orang asli Lamongan pantang makan lele,” kata Fadeli ketika itu.
Pantangan ini telah turun temurun diteruskan dari mitos penyelamatan hidup Ranggahadi atau Tumenggung Surajaya yang diyakini merupakan Bupati pertama Lamongan oleh ikan lele. Mitos terutama hidup di kalangan masyarakat Kecamatan Glagah. Surajaya bernazar tidak akan makan lele, binatang yang telah menyelamatkan hidupnya, dan sumpah itu berlaku pula untuk keturunannya.
Padahal, kesan jorok sulit dilepaskan dari lele si ikan air tawar. Binatang ini tahan hidup di air kotor, bahkan kolam berisi kotoran. Lele juga disebut penghasil amoniak. Akan tetapi, semua tahu kelezatan olahannya dalam hidangan di warung tenda hingga restoran mewah. Lele dihidangkan dengan digoreng ditemani sambal dan lalapan, dijadikan sayur dengan dibuat gulai atau mangut, atau dibuat abon untuk penyempurna santapan.
Bagi orang Lamongan, lele memainkan peranan penting dalam sosiokultur. Lele menggambarkan sikap hidup ulet, tahan menderita, sabar, tetapi jika diserang siap membalas dengan senjata mematikan, yakni patil. Keberadaan diaspora Lamongan di Nusantara dari Sumatera hingga Papua menjadi bukti ada kalangan yang berkarakter ulet, tahan menderita, dan sabar sehingga mampu berkembang dan sukses.
Orang asli Lamongan pantang makan lele.
Adapun penyebaran warga Lamongan ke penjuru Nusantara dikaitkan dengan kondisi geografis yang sulit. Padahal, Lamongan adalah lumbung pangan Jatim. Mayoritas penduduk adalah petani, tetapi sebagian rakyatnya tidak betah sehingga mencari peruntungan. Selepas peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965, karena situasi kurang aman, dimulailah pergerakan orang Lamongan ke Jakarta.
Gelombang diaspora kembali terjadi pada 1970, 1980, 1990, dan terutama saat krisis ekonomi 1998. Di perantauan, kebanyakan orang Lamongan membuka usaha kuliner. Hasilnya bisa dilihat sampai sekarang, betapa kuatnya citra penyetan lele, soto, dan tahu campur asal Lamongan dalam khazanah kuliner Nusantara.
Airlangga
Tersebutlah dalam Prasasti Walambangan yang ditemukan di Lamongan pemujaan terhadap ”hyang iwak” atau ikan suci sebagai tanda kesetiaan kepada raja. Prasasti dari lempeng tembaga beraksara Kawi, tetapi berbahasa Jawa Kuno, ini diduga dikeluarkan pada masa Raja Majapahit Jayanegara atau abad ke-14.
Pada masa Airlangga, abad ke-11, Raja Kahuripan ini mengeluarkan Prasasti Kusambyan di Jombang, yang berbatasan dengan Lamongan selatan. Prasasti memberitakan anugerah perdikan dari Airlangga sehingga warga Kusambyan perlu memelihara pemujaan terhadap ”rahyang iwak”.
Prasasti Kusambyan ditemukan di lokasi dekat dengan Sungai Brantas. Prasasti Walambangan ditemukan di dekat Bengawan Solo. Kedua sungai ini merupakan yang terkemuka di Jawa dan bermuara di pesisir utara Jatim. Secara geografis, Lamongan dilintasi oleh Bengawan Solo dan percabangan utama Sungai Brantas, yakni Kali Lamong.
Dari dua prasasti itu, penghormatan terhadap ikan suci atau rahyang iwak oleh masyarakat Lamongan kuno amat mungkin terjadi karena seluruh kehidupan mereka ketika itu bergantung pada sungai, tambak, dan rawa. Dari sinilah mungkin berkembang mitos penyelamatan Surajaya oleh ikan lele sehingga binatang ini mendapat ”penghormatan” dan pantang dimakan oleh kalangan warga Lamongan asli yang masih memegang teguh kepercayaan tersebut.
Meski penobatan Surajaya sebagai adipati atau tumenggung pada 26 Mei 1596 menjadi dasar penentuan waktu kelahiran Lamongan, tkabupaten yang berbatasan dengan Tuban, Gresik, Jombang, dan Bojonegoro ini bisa dipercaya lebih tua.
Pemerintah Kabupaten Lamongan dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jatim mencatat, di Lamongan pernah ditemukan setidaknya 30 prasasti yang kebanyakan dikeluarkan oleh Airlangga. Tiada kabupaten, apalagi kota, yang menjadi lokasi temuan prasasti sebanyak di Lamongan sehingga terasa tidak berlebihan jika ada yang menyebut Lamongan sebagai jejak Airlangga.
Khazanah sejarah mencatat, Airlangga adalah pangeran dari Bali yang menikahi anak perempuan sang paman, Dharmawangsa, Raja Medang. Prasasti Pucangan menyebut, ada prahara dari koalisi kerajaan, termasuk Sriwijaya, saat pernikahan Airlangga yang kemudian menewaskan Dharmawangsa.
Airlangga berhasil selamat dan melanjutkan garis keturunan Medang dengan mendirikan Kahuripan. Ketika lengser karena ingin menjadi pertapa, Airlangga membagi dua kerajaan menjadi Kadiri dan Janggala untuk kedua putranya.
Temuan prasasti dan situs Patakan akan membuka pintu penelitian kearkeologian Airlangga di Lamongan.
Di antara tinggalan masa Airlangga, yang bisa disebut terkemuka ialah Candi Patakan di Sambeng, Lamongan. Situs yang ditemukan pada 2013 oleh warga ini berupa percandian di daratan berbukit di Lamongan bagian selatan. BPCB Jatim dan Pemerintah Kabupaten Lamongan telah melaksanakan empat tahap ekskavasi dengan yang terkini pada akhir September lalu.
Arkeolog BPCB Jatim, Wicaksono Dwi Nugroho, menyimpulkan, Patakan merupakan perlindungan Airlangga untuk menyusun kembali kekuatan dan pemerintahan. Prasasti Cane menyebutkan pendirian Istana Watan Mas sebagai ibu kota pemerintahan Airlangga.
Prasasti Terep mencatat kehancuran Watan Mas di lereng Gunung Penanggungan akibat serbuan musuh sehingga mengungsi ke Patakan. Di sinilah kemudian Airlangga mengeluarkan prasasti batu yang menyebutkan penetapan wilayah bebas pajak (sima) sekaligus meminta masyarakat memelihara kompleks bangunan suci Bhatara Ri Sanghyang Patahunan.
Prasasti Patakan juga memuat keberadaan warga kilalan, tokoh dewa, pejabat kerajaan, dan Sanghyang Patahunan serta umat atau pengikut yang mampu menjamin keselamatan Airlangga selama di Patakan.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lamongan Mifta Alamuddin mengatakan, candi termasuk langka di Lamongan. Yang kerap ditemukan ialah prasasti dan makam kuno. Tinggalan Airlangga tidak sebanyak era-era setelahnya, yakni Singhasari dan Majapahit. Padahal, pada masa Airlangga (1019-1043) telah dikeluarkan setidaknya 33 prasasti. Sebagian di antaranya, termasuk Patakan, menginformasikan tinggalan bangunan suci di wilayah yang saat ini disebut Lamongan.
”Temuan prasasti dan situs Patakan akan membuka pintu penelitian kearkeologian Airlangga di Lamongan,” kata Mifta.
Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengatakan, sebaran prasasti dan situs Patakan yang masih harus menjalani ekskavasi guna mengetahui keutuhan informasinya menandakan bahwa Lamongan mempunyai nilai strategis pada masa Airlangga. Lebih khusus, situs Patakan diyakini merupakan mandala atau penggemblengan Airlangga sebelum menyusun dan membangun kembali kejayaan Kahuripan.