Meski jadi salah satu sektor paling terpukul pandemi Covid-19, usaha mikro, kecil, dan menengah diharapkan jadi tulang punggung pemulihan ekonomi nasional. Kolaborasi antarpemangku dibutuhkan untuk menopang pelaku UMKM.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM termasuk sektor yang terdampak pandemi Covid-19. Di sisi lain, sektor ini pula yang diharapkan menjadi tulang punggung pemulihan ekonomi nasional. Julukan tulang punggung tak lepas dari peran UMKM dalam menyerap tenaga kerja dan menyumbang produk domestik bruto.
Merujuk data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2018), jumlah usaha mikro di Indonesia mencapai sekitar 63,3 juta unit, usaha kecil 783.132 unit, dan menengah 60.702 unit. Sementara itu, jumlah usaha besar 5.550 unit. Artinya, secara jumlah, UMKM mendominasi populasi pelaku usaha nasional dan menyerap 97 persen tenaga kerja di Indonesia.
Dengan melihat gambaran itu, kemampuan UMKM untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19, lalu tumbuh lagi, amat menentukan pemulihan ekonomi Indonesia. Sebuah pekerjaan yang tidak semudah membalik tangan menimbang kompleksitas tantangan UMKM.
Salah satu tantangan yang kerap disorot adalah kurang terintegrasinya UMKM dengan perusahaan besar, baik nasional maupun global. Ada keyakinan bahwa integrasi akan meningkatkan kemampuan UMKM beradaptasi dan bertahan di tengah kondisi sulit. Ringkasnya, integrasi akan mempertinggi daya tahan.
Keterhubungan dalam rantai pasok industri pada praktiknya selama ini ikut mengembangkan UMKM di berbagai negara. Sebut misalnya UMKM di Jepang, Korea Selatan, dan China yang menjadi bagian terintegrasi rantai pasok sehingga dapat ikut menyuplai suku cadang di industri-industri besar.
Sumbangan ekspor UMKM di Jepang, Korea Selatan, dan China terhadap total ekspor nasional pun tinggi, yakni masing-masing 55 persen, 60 persen, dan 70 persen. Sebagai perbandingan, peran UMKM di Indonesia terhadap ekspor nasional selama ini masih sekitar 14 persen. Ada ruang untuk meningkatkan peran UMKM terhadap ekspor nasional.
Salah satu pendekatan untuk meningkatkan integrasi antara UMKM dan perusahaan besar adalah melalui pola kemitraan, baik di sisi produksi maupun pemasaran. Di sisi pemasaran, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat, saat ini 30-35 persen produk yang dipasarkan oleh peritel merupakan produk UMKM. Pencapaian yang perlu terus ditingkatkan.
Kita tentu bangga apabila produk-produk UMKM Indonesia dapat merajai pasar dalam negeri. Apalagi, tak terbantahkan, UMKM memiliki posisi yang strategis di negeri yang berpopulasi lebih dari 260 juta jiwa ini.
Pelaku UMKM, beserta keluarganya, adalah bagian dari konsumen yang perlu diperkuat kemampuan daya belinya. Pelaku UMKM pun berperan penting sebagai produsen di pasar domestik. Karena itu, peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan pendampingan dibutuhkan agar UMKM bisa lebih optimal menggarap pasar dalam negeri sekaligus menapaki jalan untuk mengisi pasar global.
Ada hal menggembirakan karena kini semakin banyak pihak memberikan gagasan dan dukungan untuk membantu UMKM, termasuk soal bagaimana pelaku UMKM mengekspor produknya. Ekspor toko beserta produk UMKM di dalamnya, seperti disampaikan Kepala Sekolah Ekspor Handito Joewono, adalah salah satu contoh gagasan kreatif dalam melakukan penetrasi produk ke pasar ekspor.
Saat ini sudah ada ribuan toko milik pengusaha Indonesia di luar negeri. Jumlahnya diharapkan terus bertambah sehingga UMKM Indonesia dapat turut menikmati kue besar, yakni pasar global, dengan cara mengisi toko-toko di luar negeri tersebut.
Produk yang kompetitif, di sisi mutu dan harga, jadi keniscayaan untuk bersaing di pasar global. Kebersamaan semua pemangku untuk mendukung UMKM dibutuhkan sebagai wujud konsolidasi kekuatan ekonomi negeri ini.
Meski perdagangan dunia sedang tertekan, ikhtiar untuk meningkatkan kemampuan ekspor UMKM jangan kendur. Harapannya, Indonesia mampu berkiprah lebih besar di pasar global, terutama ketika kelak pandemi reda.