Tanpa pembenahan sektor manufaktur dalam negeri, Indonesia hanya akan dibanjiri produk impor dari negara lain atau sekadar jadi sumber bahan baku mentah bagi produk yang lebih berdaya saing dari luar negeri.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan persaingan ketat pasar bebas lewat Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP harus diantisipasi agar Indonesia tidak sekadar jadi pasar. Selain meningkatkan daya saing untuk memacu ekspor, Indonesia dinilai perlu menyiapkan bumper untuk melindungi kelangsungan industri dalam negeri.
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, Selasa (17/11/2020), berpendapat, perluasan dagang hanya bisa dilakukan jika suatu negara memiliki produk yang siap dipasarkan di tengah persaingan ketat dengan negara mitra. Saat ini, sekitar 72 persen ekspor di pasar global adalah produk manufaktur, sementara ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas, seperti kelapa sawit dan batubara.
Menurut Enny, jika tidak mampu bergeser ke sektor manufaktur, Indonesia hanya akan dibanjiri barang impor atau sekadar jadi sumber bahan baku dan tidak bergeser dari pasar tradisional. Kendati demikian, tantangan jadi lebih sulit di tengah pandemi Covid-19 yang memukul berbagai sektor, terutama manufaktur.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan bumper untuk melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif perdagangan bebas. ”Tanpa persiapan, ketahanan industri dalam negeri justru akan babak belur, bersaing dengan barang impor yang lebih murah. Ini yang selama ini sudah terjadi dan bisa semakin parah jika tidak ada bumper,” kata Enny.
Bumper yang dimaksud bisa berupa kebijakan nontarif. Menurut Enny, langkah ini lumrah dilakukan negara lain di tengah persaingan ketat perdagangan bebas. Namun, Indonesia tetap harus berhati-hati dan terbatas dalam menerapkannya agar tidak berujung sengketa dengan negara mitra dagang.
Bumper lainnya adalah berhati-hati dan bertahap dalam meratifikasi RCEP. Tidak semua poin perjanjian perlu diratifikasi, jika dinilai, akan merugikan industri dalam negeri. Karena itu, proses ratifikasi harus melibatkan banyak pihak dan dibahas secara terbuka.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani, di tengah keuntungan yang dibawa RCEP, Indonesia harus memacu diri lebih produktif dan kompetitif. Pemerintah dan pelaku usaha yang agresif dan cepat melakukan penyesuaian struktural akan lebih berpeluang memanfaatkan RCEP. Penyesuaian yang dimaksud adalah pembenahan birokrasi dan kebijakan yang konsisten sampai level teknis.
Buka peluang
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto meyakini, keterlibatan Indonesia dalam RCEP tidak akan menimbulkan banjir produk impor. Negara-negara ASEAN yang terlibat sepakat untuk menciptakan keseimbangan dagang (trade balance).
”Ini sebenarnya positif karena negara ASEAN berkomitmen menjamin pergerakan komoditas yang sudah diatur. RCEP tidak akan menyebabkan banjir impor. Impor kita tetap selektif khusus untuk mendapatkan bahan baku dari regional.,” kata Agus.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, semua negara RCEP mengalami ancaman impor. Namun, hal itu tak dilihat sebagai kerugian, tetapi peluang untuk meningkatkan ekspor sebesar-besarnya. Impor juga masih dibutuhkan untuk mendatangkan bahan baku yang akhirnya bisa mendorong kinerja ekspor Indonesia.
RCEP, yang ditandatangani pada Minggu (15/11/2020) melibatkan 10 negara ASEAN serta China, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menilai, RCEP sebagai perjanjian perdagangan terbesar di dunia. Ke-15 negara peserta RCEP menyumbang hingga 29,6 persen populasi penduduk global, 30,2 persen produk domestik bruto (PDB) global, serta 27,4 persen perdagangan global.
Terjemahan naskah perjanjian RCEP ditargetkan rampung dalam dua bulan sebelum ratifikasi. Terkait dengan proses ratifikasi, Indonesia for Global Justice (IGJ) mengingatkan DPR dan pemerintah untuk terlebih dulu melakukan analisis dampak yang komprehensif.
”Perjanjian yang komprehensif, seperti RCEP, memiliki konsekuensi isi aturan yang harus diadopsi dalam regulasi nasional dan ini akan berdampak terhadap menyempitnya ruang kebijakan negara dan kedaulatan negara untuk melindungi kepentingan rakyat,” ujar Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti.
Semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan ratifikasi perjanjian RCEP, termasuk pengusaha skala kecil dan menengah.