Atasi Hambatan Nontarif Uni Eropa dengan Pertanian Organik
Pemberlakuan hambatan nontarif produk pertanian ke Uni Eropa menjadi tantangan bagi Indonesia. Semua pihak harus bersinergi meningkatkan kualitas produk pertanian.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan hambatan nontarif untuk produk pertanian, termasuk kopi dan lada, yang masuk ke Uni Eropa menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai pengekspor komoditas-komoditas tersebut. Solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah mendorong pertanian organik dan bebas dari pestisida.
Kementerian Perdagangan mencatat, berdasarkan data Trademap per November 2020, tren impor Uni Eropa dari Indonesia untuk produk kopi turun 11,02 persen dari 272,6 juta dollar AS pada 2015 menjadi 174,9 juta dollar AS pada 2019. Di sisi lain, impor kopi oleh Uni Eropa secara global dalam lima tahun terakhir meningkat sebesar 0,08 persen.
Sementara untuk impor lada, nilai impor Uni Eropa dari Indonesia menurun signifikan sebesar 32,91 persen dari 107,1 juta dollar AS pada 2015 menjadi 26,4 juta dollar AS pada 2019. Nilai impor lada oleh Uni Eropa dari dunia juga menurun sebesar 12,41 persen dalam lima tahun terakhir, dari 1,17 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 733,7 juta dollar AS pada 2019.
Sebagai negara pengekspor, Indonesia menempati posisi ke-8 untuk supplier biji kopi hijau dan baru 20 persen yang tesertifikasi berkelanjutan. Untuk lada, Indonesia berada di posisi ke-5 sebagai supplier lada, khususnya lada hitam.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi menyampaikan, Uni Eropa saat ini juga kembali menggunakan instrumen nontarif. Penerapan hambatan ini bertujuan mengendalikan produk impor ke wilayah Uni Eropa dengan alasan sanitary and phytosanitary (SPS) dan technical barriers to trade (TBT).
Dalam penerapan instrumen SPS, Uni Eropa mempersyaratkan batas konsentrasi maksimum residu (MRL) Chlorpyrifos dan Chlorpyrifos-Methyl sebesar 0,01 mg/kg yang berlaku sejak 13 November 2020. Adapun persyaratan MRL Glyphosate sebesar 0,05 mg/kg akan berlaku pada Desember 2022.
”Penerapan ini diberlakukan karena Uni Eropa konsen pada perlindungan kesehatan dan keamanan masyarakat di sana. Kalau kita tidak bisa memenuhi standar mereka, tentu ini kerugian bagi kita karena tidak bisa menembus pasar Uni Eropa,” kata Didi, Rabu (18/11/2020).
Paparan mengemuka dalam diskusi virtual bertemakan ”Strategi Hadapi Hambatan Ekspor Kopi dan Lada ke Uni Eropa”. Webinar ini merupakan diskusi ketiga yang diselenggarakan Direktorat Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan.
Atase Perdagangan di Brussels, Belgia, Merry Indriasari menjelaskan, perubahan regulasi yang diberlakukan Uni Eropa sejalan dengan strategi mereka dalam mencapai The European Green Deal untuk menciptakan iklim Eropa netral pada 2050. Dengan kata lain, nol persen emisi green houses gases atau efek rumah kaca.
Melalui penerapan SPS, ekspor biji kopi hijau Indonesia yang masuk ke Uni Eropa akan terdeteksi terkait penggunaan herbisida atau pembasmi tanaman liar yang umumnya mengandung Glyphosate. Standar ini berlaku bagi semua negara pengekspor ke Uni Eropa.
”Dari data European Coffee Federation, saat ini MRL (kopi) Indonesia yang berada di sekitar 0,1 mg/kg hanya 6,67 persen. Kalau ditetapkan MRL 0,05 mg/kg, implikasinya akan ada lebih dari 50 persen kopi Indonesia tidak dapat lagi masuk ke pasar Eropa,” kata Merry.
Pertanian berkelanjutan
Merry menyampaikan, komoditas pangan impor yang tidak memenuhi standar perlindungan biodiversitas, sumber daya alam, dan mitigasi terhadap perubahan iklim tidak dapat masuk ke pasar Uni Eropa. Adapun konsep Farm to Fork dilakukan dengan mengurangi penggunaan pestisida (50 persen) dan pupuk kimia (20 persen) serta meningkatkan pertanian organik (25 persen).
”Untuk menjamin turunnya kandungan MRL aktif pada produk pertanian, kita dapat mengimplementasikan praktik pertanian yang baik. Perlu kolaborasi antara kelompok tani, koperasi, eksportir, pedagang, dan supplier pestisida untuk memastikan penerapan praktik pertanian yang baik,” kata Merry.
Direktur PT Sulotco Jaya Abadi, Samuel Karundeng, menyambut baik tantangan MRL untuk produk ekspor ke Uni Eropa. Sistem pertanian yang terintegrasi harus dibangun untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan.
Menurut Samuel, perlu ada pendampingan bagi petani agar bisa kembali kepada pola organik sehingga alam terpelihara dan rantai makanan terus terhubung. Berbeda dengan penggunaan bahan kimia yang salah satunya akan memutus rantai makanan karena tanah menjadi gersang.
”Kebijakan MRL Uni Eropa ini saya lihat sebagai peluang untuk memperbaiki alam karena kita mengurangi penggunaan bahan kimia. Namun, memang ada tantangan untuk menyinergikan semua pihak, khususnya pemerintah, harus lebih banyak mengembangkan penelitian yang aplikatif bagi petani,” kata Samuel.
Strategi
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi menyampaikan, untuk memenuhi standar kebijakan MRL Uni Eropa, perlu dilakukan penyuluhan intensif kepada petani. Pendampingan petani juga harus dilakukan sejak penanaman sampai pascapanen.
Strategi lainnya, perlu ada pengembangan kawasan nasional sesuai kondisi agroekosistem. Untuk perlindungan tanaman dapat menggunakan insektisida nabati, terpadu, atau menggunakan musuh alami.
Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu, Kementerian Perdagangan, Dyah Palupi mengatakan, dalam menjamin kualitas dari komoditas ekspor unggulan Indonesia, termasuk lada dan kopi, pemerintah senantiasa melakukan monitoring. Caranya, dengan mengambil sampel (contoh) di tingkat petani, pedagang, dan eksportir untuk diuji sesuai standar mutu negara tujuan ekspor.
Pada 2021 direncanakan akan dilakukan monitoring untuk produk pertanian lada di Kalimantan Timur, Bangka Belitung, dan Lampung. Sementara untuk produk pertanian kopi, monitoring akan dilakukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh, dan Bali.
”Monitoring ini kami lakukan untuk memetakan kondisi mutu dan permasalahan produk ekspor Indonesia. Melalui langkah ini, dapat dilakukan evaluasi kebijakan dalam upaya meningkatkan mutu produk ekspor,” kata Dyah.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Antarjo Dikin menuturkan, dalam jangka pendek, pemerintah akan melakukan inventarisasi kebun-kebun yang masih menggunakan pestisida. Identifikasi area juga akan dilakukan untuk melihat potensi pengembangan konsep pertanian organik.
”Kita harus terus-menerus melakukan promosi terhadap program pertanian organik sehingga para petani juga menjadi semangat karena harga jual yang layak. Pengurangan penggunaan pestisida, bahkan tidak lagi menggunakannya juga akan menjadi kebaikan bagi tubuh manusia yang mengonsumsi,” kata Antarjo.