Kontribusi utama pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada geliat konsumsi rumah tangga. Struktur tenaga kerja yang memburuk dan angka kemiskinan yang melonjak harus diantisipasi dan dimitigasi.
Oleh
Enny Sri Hartati - peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance
·5 menit baca
Kendati kontraksi ekonomi pada triwulan III-2020 mulai membaik, itu belum menjamin tren pemulihan ekonomi akan terus berlanjut. Pasalnya, pandemi Covid-19 telah menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK yang cukup besar.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, tenaga kerja sektor formal yang dirumahkan dan terkena PHK sekitar 3,1 juta orang. Penyebabnya, sektor industri pengolahan yang menjadi tumpuan justru penyerapan tenaga kerjanya minus 1,3 persen. Hampir seluruh sektor mengurangi jumlah pekerja, kecuali sektor pertanian yang masih tumbuh 2,23 persen dan perdagangan 0,46 persen.
Akibatnya, jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2020 menjadi 9,77 juta orang (7,07 persen). Artinya jumlah pengangguran terbuka bertambah 2,67 juta orang atau naik 1,84 persen dibandingkan dengan Agustus 2019. Secara statistik, tambahan pengangguran terbuka seolah-olah masih relatif kecil dan tidak mengkhawatirkan. Masalahnya, korban PHK tersebut memang tidak langsung menjadi pengangguran terbuka baru, tetapi sebagian beralih ke sektor informal. Oleh karena itu, porsi pekerja informal naik cukup drastis, dari 55,88 persen pada Agustus 2019 menjadi 60,47 persen atau mencapai 77,68 juta orang. Artinya, pekerja formal yang cukup memiliki jaminan kerja, seperti buruh, pegawai, dan karyawan, hanya tinggal 39,53 persen atau 50,77 juta orang.
Dengan demikian, walaupun jumlah pengangguran terbuka hanya 9,77 juta orang, sebenarnya pekerja yang bekerja paruh waktu atau setengah menganggur sangat besar. Jumlah pekerja penuh, yang bekerja minimal 35 jam per minggu, tinggal 82,02 juta orang atau turun 9,46 juta orang. Secara persentase, jumlah pekerja penuh turun dari 71,04 persen menjadi 63,85 persen. Jika menggunakan definisi Organisasi Buruh Internasional (ILO), terjadi tambahan pengangguran bukan 1,84 persen, tapi 7,19 persen. Pasalnya, porsi setengah pengangguran meningkat dari 6,42 persen menjadi 10,19 persen dan porsi pekerja paruh waktu meningkat dari 22,54 persen menjadi 25,96 persen.
Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2020 menyatakan, ada 29,12 juta orang (14,28 persen) penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19. Dampak terbesar terjadi pada pekerja yang mengalami pengurangan jam kerja, yaitu 24,03 juta orang. Sisanya penganggur yang tidak kunjung mendapat pekerjaan 2,56 juta orang, tidak bekerja karena Covid-19 sekitar 1,77 juta orang, dan bukan angkatan kerja 0,76 juta orang.
Seiring dengan dominasi sektor informal dan peningkatan jumlah pekerja tidak penuh, pemulihan daya beli masyarakat kian sulit. Data pekerja informal yang buruk membuat mereka sulit tersentuh berbagai program perlindungan sosial, termasuk subsidi upah. Pekerja informal hanya bergantung pada pendapatan harian sehingga menjadi pihak yang sangat rentan ketika terjadi gejolak perekonomian. Data BPS menunjukkan, persentase penduduk hampir miskin mencapai 7,45 persen atau sekitar 19,91 juta orang, dengan porsi terbesar berasal dari sektor informal, yakni 12,15 juta orang (61,03 persen).
Seiring dengan dominasi sektor informal dan peningkatan jumlah pekerja tidak penuh, pemulihan daya beli masyarakat kian sulit.
Ditambah lagi, sebelum terjadi dampak pandemi secara masif, persentase penduduk miskin telah meningkat dari 9,22 persen pada September 2019 menjadi 9,78 persen pada Maret 2020. Artinya, ada penambahan jumlah penduduk miskin sebesar 1,63 juta orang sehingga menjadi 26,42 juta orang.
Salah satu yang cukup mengagetkan, terjadi lonjakan jumlah penduduk miskin di perkotaan sebanyak 1,3 juta orang, sedangkan di perdesaan bertambah 333.900 orang. Indeks kedalaman kemiskinan naik menjadi 1,61 poin dan indeks keparahan kemiskinan naik menjadi 0,38 poin.
Bank Dunia memprediksi, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi global 2020 terkontraksi 5,2 persen, 88 juta-115 juta orang bisa terdorong ke jurang kemiskinan ekstrem. Selanjutnya, pada 2021 diprediksi jumlah kemiskinan kronis, hanya berpenghasilan kurang dari 1,9 dollar AS (Rp 29.000) per hari, bertambah lagi sekitar 23-25 juta orang. Sekitar 82 persen orang yang mengalami kemiskinan parah berada di negara-negara berpenghasilan menengah, seperti India, Nigeria, dan Indonesia.
Solusi
Struktur tenaga kerja yang memburuk dan angka kemiskinan yang melonjak harus diantisipasi dan dimitigasi dengan lebih detail. Pasalnya, kontribusi utama pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada geliat konsumsi rumah tangga. Daya beli masyarakat sekaligus menjadi determinan utama investasi. Hubungan kausalitas yang sangat erat tersebut menjadi kendala dan tantangan tersendiri, sekaligus menjadi kunci utama jalan keluar. Artinya, berbagai program mampu fokus pada upaya mendorong penciptaan lapangan kerja, sekaligus mampu menjadi solusi sapu jagat.
Pertanyaannya, apakah peluncuran UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mampu menjadi jawaban. Kebutuhan utama penciptaan lapangan kerja adalah investasi padat karya yang masuk ke Indonesia. Sementara tren investasi yang masuk ke Indonesia pada Januari-September 2020 didominasi sektor jasa yang mencapai 55,4 persen. Porsi investasi pada industri manufaktur turun drastis tinggal 33 persen, juga investasi pada tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan hanya 5,9 persen. Apalagi, investasi yang paling masif diminati investor asing, terutama China, adalah sektor logistik, yaitu transportasi, gudang, dan komunikasi. Total porsi investasi pada sektor logistik pada Januari- September 2020 mencapai 15,3 persen.
Artinya, jika tren kualitas investasi tersebut masih berlanjut, kemudahan dan penyederhanaan persyaratan perizinan investasi belum tentu menjadi solusi penciptaan lapangan kerja. Sebab, tren penetrasi impor dari China semakin melejit, pada September 2020 mencapai 33,73 persen. Disisi lain, kontraksi pertumbuhan sektor industri atau proses deindustrialisasi masih berlangsung.
Jika tren kualitas investasi tersebut masih berlanjut, kemudahan dan penyederhanaan persyaratan perizinan investasi belum tentu menjadi solusi penciptaan lapangan kerja.
Padahal, sekali lagi, sektor padat karya yang secara masif menyediakan lapangan kerja sekaligus menciptakan nilai tambah adalah sektor industri. Jika kinerja industri dalam negeri tidak mampu kompetitif, niscaya tidak akan menjadi daya tarik investasi. Apalagi, data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya 74,4 persen. Angka ini termasuk paling rendah di antara negara-negara ASEAN, yakni Filipina (86,3 persen), Singapura (82,7), Thailand (80,1 Persen), Vietnam (80 Persen), Laos (76,7 persen) dan Malaysia (76,2 persen).