Hadapi RCEP, Tingkatkan Daya Saing RI
Pasar ke 15 negara anggota RCEP merupakan pasar yang kompetitif, matang, serta mampu menyeleksi produk dan jasa yang berkualitas. Peningkatan daya saing tak lagi bisa ditawar.
JAKARTA, KOMPAS — Daya saing sejumlah negara mitra yang turut serta dalam Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Oleh sebab itu, penandatanganan RCEP memberikan pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk mendongkrak daya saing agar dapat mendapatkan manfaat optimal.
Negara yang turut menandatangani RCEP pada 15 November 2020 itu terdiri dari 10 negara anggota ASEAN, Selandia Baru, China, Korea Selatan, Jepang, dan Australia.
Bank Dunia dalam laporannya, Doing Business 2020, menunjukkan, regulasi dan praktik berusaha di Indonesia menempati ranking ke-73. Di atas Indonesia ada Vietnam di posisi ke-70, Brunei Darussalam (66), China (31), Jepang (29), Thailand (21), Australia (14), Malaysia (12), Korea Selatan (5), Singapura (2), dan Selandia Baru (1).
Forum Ekonomi Dunia (WEF) juga menyebutkan, Indonesia menempati peringkat ke-50 berdasarkan penghitungan nilai skor indeks daya saing global 4.0 pada 2019. Negara-negara mitra RCEP yang berada di atas Indonesia terdiri dari Thailand di urutan ke-40, China (28), Malaysia (27), Selandia Baru (19), Australia (16), Korea Selatan (12), Jepang (6), dan Singapura (1).
Mempertimbangkan tingkat daya saing setiap anggota RCEP ini, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, pemerintah mesti menyusun strategi spesifik yang mengaitkan sektor potensial dengan sorotan negara mitra. ”Jangan sampai pemerintah berhenti sampai di penandatanganan, lalu menyerahkan pemanfaatannya kepada swasta,” katanya saat dihubungi, Senin (16/11/2020).
Pemerintah mesti menyusun strategi spesifik yang mengaitkan sektor potensial dengan sorotan negara mitra. Jangan sampai pemerintah berhenti sampai di penandatanganan, lalu menyerahkan pemanfaatannya kepada swasta.
Dia mencontohkan, Australia memiliki perhatian pada Indonesia bagian timur sehingga pemerintah dapat memanfaatkan RCEP untuk pengembangan daerah tersebut. Jepang yang unggul dalam teknologi dapat diminta menyalurkan pengetahuan (knowledge transfer) ke Indonesia.
Selain itu, pemerintah dapat meninjau kawasan-kawasan industri ataupun ekonomi khusus yang produknya berpotensi ditingkatkan ekspornya ke negara-negara mitra RCEP. Peninjauan dan pembenahan kawasan-kawasan tersebut dapat memangkas ongkos logistik.
Kekhawatiran
Sebelumnya disebutkan, Indonesia mesti memitigasi tantangan yang muncul dari implementasi perjanjian. Hal ini ditujukan untuk sektor-sektor yang diperkirakan mengalami persaingan lebih ketat, seperti tekstil, alas kaki, dan otomotif.
Berdasarkan publikasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), World Trade Statistical Review 2020, China, Korea Selatan, dan Vietnam tergolong dalam 10 negara eksportir tekstil terbesar dunia sepanjang 2019 dengan porsi secara berturut-tutut sebesar 39,2 persen, 3 persen, dan 2,9 persen. Sebaliknya, Indonesia tergolong dalam 10 negara importir tekstil tertinggi dunia dengan porsi 2,1 persen.
Laporan yang sama menyebutkan, negara-negara anggota RCEP yang masuk dalam 10 eksportir produk otomotif dunia terbesar sepanjang 2019 adalah Jepang, Korea Selatan, China, dan Thailand. Secara berturut-turut, porsi negara itu masing-masing sebesar 13,7 persen, 5 persen, 2,6 persen, dan 1,7 persen (Kompas, 15/11/2020).
Baca juga : RCEP Perketat Persaingan Produk Strategis Indonesia
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Rizal T Rakhman menilai, RCEP menempatkan industri tekstil pada situasi ”sudah jatuh, tertimpa tangga pula” di tengah pandemi Covid-19. Produk dari China lebih murah sehingga dapat menghancurkan pasar tekstil domestik.
”RCEP juga membuat kita mesti bersaing dengan China yang harga produknya lebih berdaya saing di pasar ekspor andalan kita, seperti Jepang. Padahal, kami juga mesti mempertahankan bisnis di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya.
RCEP juga membuat kita mesti bersaing dengan China yang harga produknya lebih berdaya saing di pasar ekspor andalan kita, seperti Jepang. Padahal, kami juga mesti mempertahankan bisnis di tengah pandemi Covid-19.
Baca juga : Indonesia, RCEP, dan Kekhawatiran India
Selama proses perundingan RCEP, asosiasi telah mengajukan daftar kode sistem harmonisasi (HS) tekstil dan produk tekstil yang sebaiknya tidak dibarter dalam perjanjian dagang. Dia masih menantikan kepastian apakah daftar itu dimasukkan dalam dokumen perjanjian atau tidak.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakri menyatakan, RCEP membuat persaingan produk alas kaki dengan Vietnam kian nyata, khususnya di pasar dalam negeri. Dia berharap, pemerintah tidak mempersulit pengadaan bahan baku alas kaki yang berasal dari impor agar dapat tetap berdaya saing.
Wakil Menteri Perdagangan periode 2011-2014 Bayu Krisnamurthi mengatakan, RCEP membuka pintu pasar 15 negara. Yang pertama kali bersemangat tentu adalah mereka yang telah melakukan kegiatan bisnis di negara-negara yang bersepakat. Namun, hal itu tidak cukup karena peluangnya terlalu besar untuk hanya diisi pemain lama. Diperlukan pebisnis-pebisnis baru yang bersemangat dan memiliki kemampuan untuk memanfaatkannya.
Format ekonomi dunia yang semakin diwarnai ekonomi digital, ekonomi berbagi, e-dagang, serta person-to-person atau peer-to-peer trade akan membuka kesempatan juga bagi usaha kecil, usaha pertanian, dan individu-individu kreatif dari berbagai penjuru Indonesia. Namun, kuncinya tetap pada daya saing.
”Meskipun pintu telah dibuka lebih lebar, pasar ke 15 negara itu adalah pasar yang kompetitif, matang, serta mampu menyeleksi produk dan jasa yang berkualitas dan bersaing,” ujarnya.
Baca juga : RCEP Hadirkan Peluang dan Tantangan
Sementara itu, anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Deddy Yevri H Sitorus, menuturkan, pembahasan ratifikasi RCEP di DPR pasti akan menyoroti kepentingan nasional. Pemerintah harus mempersiapkan diri untuk mengoptimalkan peluang RCEP dengan memperbaiki daya saing.
”Pemerintah juga mesti menyokong industri kecil dan menengah serta pelaku usaha kecil dan menengah untuk ekspor,” katanya.
Seusai ditandatangani pada 15 November 2020, RCEP tidak otomatis berlaku. Indonesia harus meratifikasinya terlebih dahulu melalui parlemen. Pasal 84 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan, dalam jangka waktu 90 hari setelah penandatanganan, RCEP disampaikan kepada DPR.
Selanjutnya, dalam 60 hari ke depan, DPR memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan terhadap perjanjian tersebut. Apabila setelah 60 hari tidak ada keputusan, pemerintah yang menentukan kebutuhan persetujuan itu.