Budidaya ayam potong kian terpuruk akibat pandemi berkepanjangan. Para peternak butuh solusi untuk tetap berdaya dan mampu menyiasati lemahnya daya beli pasar.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
MUARO JAMBI — Berbagai kebijakan mengantisipasi pandemi Covid-19 telah memukul usaha ternak ayam potong rakyat di Jambi. Kondisi yang kerkepanjangan membawa kelompok perunggasan berada pada tingkat kesejahteraan terendah dari semua kelompok usaha pertanian lain.
Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, mengatakan, pemerintah daerah perlu bergerak cepat dalam mengatasi kejatuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan sosial berdampak pada lesunya ekonomi daerah dan melemahnya tingkat kesejahteraan petani.
Padahal, selama ini, tingkat kesejahteraan petani di Jambi sudah tergolong rendah. ”Sudah rendah ditambah makin terpukul lagi kondisinya (kesejahteraan petani). Tantangan bagi pemerintah untuk mengatasinya,” ujarnya, Selasa (17/11/2020).
Dari pantauan di lapangan, usaha budidaya ayam potong rakyat masih terpukul oleh minimnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli tersebut dimulai sejak kebijakan pembatasan sosial pada masa pandemi Covid-19 berlaku sejak Maret lalu.
Daripada tekor lagi, lebih baik saya menunggu sampai kondisi pasar normal kembali.
Pemerintah daerah menetapkan larangan berlangsungnya kondangan atau pesta-pesta yang dapat menciptakan kerumunan. Aktivitas perkantoran serta usaha restoran dan rumah makan juga banyak yang ditutup sehingga pesanan ayam potong anjlok.
Jamaludin, Ketua Kelompok Tani Bina Mandiri, mengatakan kandang-kandang petani kini kosong. Pengosongan kandang dilakukan seiring anjloknya permintaan pasar yang berimbas panen ternak molor. Keterlambatan panen mengkibatkan petani tekor menanggung biaya asupan pakan tambahan.
”Kalau sesuai jadwal, 35 hari sudah harus panen. Tetapi, banyak ayam yang baru dapat dipanen lebih dari 40 hari,” katanya di Desa Tunas Baru, Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi.
Penundaan panen
Penundaan panen ayam potong berdampak signifikan pada bengkaknya biaya produksi. Dalam satu hari, biaya pakan mencapai Rp 530.000 untuk 4.000-an ayam potong per kandang. Peternak lain, Ardiansyah, mengatakan pada Juli lalu, semua ternaknya baru diserap pasar setelah berusia 45 hari. ”Saya tekor Rp 5 juta,” ucapnya.
Karena trauma dengan kondisi itu, hingga kini ia enggan mengisi kandangnya lagi. ”Daripada tekor lagi, lebih baik saya menunggu sampai kondisi pasar normal kembali,” lanjutnya.
Wilayah Sekernan merupakan sentra terbesar ayam potong di kabupaten itu. Populasi ternak ayam potong mencapai lebih dari 240.000 ekor per bulan. Produksi ayam dari sentra itu juga memasok kebutuhan ayam di pasar-pasar tradisional di Kota Jambi, seperti Pasar Angso Duo, Pasar Kasang, dan Talang Banjar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, tingkat kesejahteraan petani paling rendah pada sektor peternakan, sebesar 96,87, pada September atau turun 0,9 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Dari empat subsektor di dalamnya, subkelompok unggas mengalami indeks kesejahteraan terendah, bahkan jika dibandingkan semua subkelompok lain di berbagai subsektor pertanian. Tingkat kesejahteraan yang terekam dalam nilai tukar petani pada subkelompok unggas mencapai 95,84.
Padahal, secara keseluruhan, nilai tukar petani (NTP) di Jambi terus meningkat sejak berlakunya kebijakan relaksasi ekonomi. NTP bulan September 112,6 atau naik 2,17 persen.
Terkait perlunya upaya pemulihan ekonomi pada sektor pertanian, Pantun menambahkan, upaya yang dapat dilakukan misalnya membangun infrastruktur yang memadai dari sentra tani sampai pasar terdekat. Hal itu dapat meringankan biaya produksi petani. Selama ini, ongkos distribusi hasil panen ke pasar dibebankan kepada petani.