Rancangan peraturan pemerintah sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja mesti menegaskan alat tangkap perikanan apa saja yang diperbolehkan. Jangan sampai alat tangkap yang merusak lingkungan kembali dilegalkan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja disorot. Sejumlah pihak mengkhawatirkan alat-alat penangkap ikan yang merusak lingkungan kembali dilegalkan melalui peraturan pemerintah itu.
Draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja pada Sektor Kelautan dan Perikanan per 10 November 2020 diunggah di laman Uu-ciptakerja.go.id. Perihal kapal perikanan, RPP menjelaskan jenis dan fungsi kapal penangkap ikan.
Pasal 117 RPP menyebutkan, kapal penangkap ikan terdiri atas kapal jaring lingkar, kapal pukat tarik, kapal pukat hela, kapal penggaruk, kapal jaring angkat, serta kapal yang menggunakan alat yang dijatuhkan. Selain itu, kapal jaring insang, kapal perangkap, kapal pancing, dan kapal yang menggunakan alat penangkapan ikan lain.
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan meyayangkan ketentuan RPP yang tidak mengklasifikasikan jenis kapal dan jenis alat tangkap merusak dan mengganggu, seperti pukat hela dan pukat tarik. Hal ini membuka peluang legalisasi alat penangkapan ikan yang merusak dalam aturan-aturan di bawah PP.
”Harus ada penegasan jenis alat-alat tangkap yang dilarang. Jangan sampai RPP ini justru membuka pintu legalisasi alat penangkapan ikan yang merusak,” kata Dani, Senin (16/11/2020).
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang merevisi 18 peraturan di lingkup sektor perikanan tangkap yang dinilai menghambat dunia usaha. Pelonggaran alat tangkap diatur dalam revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 Tahun 2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan dan Permen KP No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI.
Jangan sampai RPP ini justru membuka pintu legalisasi alat penangkapan ikan yang merusak.
Revisi, yang disebutkan untuk mendorong investasi, itu antara lain melegalkan penggunaan delapan jenis alat penangkapan ikan. Alat tangkap itu berupa pukat hela dasar (trawl) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets). Ada juga alat tangkap pancing berjoran, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.
Dalam Permen KP No 71/2016 disebutkan, alat tangkap berupa cantrang, dogol, dan pukat udang (pukat hela dasar udang) tergolong alat tangkap aktif dan dilarang beroperasi untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal, dan berkelanjutan.
Anggota Asosiasi Tuna Indonesia, Muhammad Billahmar, berpendapat, penjelasan jenis kapal dengan memerinci berdasarkan alat penangkapan ikan yang digunakan cenderung membuka peluang penggunaan alat-alat penangkapan tersebut. Ia meminta agar penggunaan alat tangkap yang dibuka kembali itu diimbangi alokasi per wilayah pengelolaan perikanan, waktu penggunaan, dan pembatasan jumlah alat tangkap.
Sementara itu, RPP tentang UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan juga mengatur persyaratan batas ukuran kapal nelayan kecil, yakni maksimal 5 gros ton (GT). Nelayan kecil mendapat akses kemudahan, antara lain fasilitas pembinaan dan bantuan sosial.
”Nelayan kecil mendapatkan beberapa kemudahan,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini.
Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja antara lain menghapus persyaratan batas maksimal ukuran kapal yang menjadi kriteria nelayan kecil. Definisi nelayan kecil diubah, yakni mata pencarian penangkapan ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, baik menggunakan maupun tidak menggunakan kapal penangkap ikan.
Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja antara lain menghapus persyaratan batas maksimal ukuran kapal yang menjadi kriteria nelayan kecil.
RPP juga membuka peluang pengadaan kapal ikan buatan luar negeri. Pasal 124 menyebutkan, pembangunan atau modifikasi kapal perikanan di luar negeri hanya dapat dilakukan jika industri galangan kapal dalam negeri belum memadai.