Pelaku Pariwisata Minta PSBB Transisi DKI Jakarta Dicabut
Sebanyak 18 asosiasi industri pariwisata nasional meminta Gubernur DKI Jakarta mencabut pembatasan sosial berskala besar. Pariwisata dinilai menjadi sektor yang paling terdampak oleh pembatasan aktivitas selama ini.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Himpunan 18 asosiasi industri pariwisata nasional yang tergabung dalam Visit Wonderful Indonesia Board meminta Gubernur DKI Jakarta mencabut pembatasan sosial berskala besar. Mereka berkomitmen tetap menjalankan protokol kesehatan meskipun kebijakan pembatasan dicabut.
Sektor pariwisata termasuk paling terdampak pandemi Covid-19 karena pembatasan aktivitas selama ini, baik melalui pembatasan sosial berskala besar (PSBB) total maupun PSBB transisi. Upaya memutus mata rantai penularan Covid-19 melalui PSBB dinilai akan efektif apabila semua pihak menyadari arti penting penerapan protokol kesehatan secara disiplin.
PSBB juga akan efektif apabila ada penegakan hukum yang tegas sehingga tidak terjadi peningkatan kasus Covid-19 akibat pembiaran masyarakat bebas berkumpul dalam jumlah besar. Namun, pelaku industri pariwisata mencermati dinamika dalam seminggu terakhir.
”Kami melihat pelaksanaan protokol kesehatan yang sudah ditentukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mengalami penyimpangan,” kata Ketua Visit Wonderful Indonesia (Viwi) Board Haryadi B Sukamdani dalam konferensi pers secara hibrida, luring dan daring, di Jakarta, Senin (16/11/2020).
Penyimpangan tersebut merupakan pelanggaran yang sifatnya masif karena jumlah pelanggarnya cukup banyak. Salah satu contoh adalah berkumpulnya orang dalam jumlah besar.
Melihat penyimpangan semasif itu dan inkonsistensi atau ketidaktegasan pemerintah dalam mengoreksinya, pelaku industri pariwisata memandang PSBB transisi sebetulnya secara de facto tidak berjalan sebagaimana mestinya. ”Kami meminta Gubernur DKI Jakarta mencabut PSBB transisi,” kata Hariyadi.
Atau setidaknya, karena PSBB transisi akan berakhir pada 22 November 2020, PSBB hendaknya dihentikan atau menuju kondisi normal. Artinya, pelaku industri pariwisata meminta tidak ada lagi pembatasan kapasitas pengunjung dan jam operasional usaha.
”Di sektor kami, protokol kesehatan akan tetap dilaksanakan. Walaupun nantinya sudah dalam kondisi normal, kami tetap akan melakukannya. Itu komitmen kami untuk menjaga konsumen,” ujar Hariyadi.
Dia mencontohkan, ketika, misalnya, nanti ada acara pernikahan dengan tamu 1.000 orang, sedangkan kapasitas ruangan di gedung hanya 400 orang, hal itu bisa disiasati dengan mengatur kedatangan tamu dalam tiga sif.Artinya, protokol kesehatan tetap dilakukan, tetapi dengan lebih luwes.
Viwi Board juga meminta pemerintah, baik DKI Jakarta maupun pusat, untuk tidak memberlakukan kembali PSBB. Berdasarkan pengalaman sembilan bulan terakhir, selama PSBB, pelaku industri pariwisata mengalami kontraksi sangat berat.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mencatat jumlah pekerja sektor perhotelan mencapai sekitar 700.000 orang. ”Mereka yang kemarin sempat dirumahkan, diminta cuti di luar tanggungan perusahaan, diputus hubungan kerja sekitar 550.000 orang,” ujar Hariyadi.
Sementara itu, total pekerja di sektor restoran mencapai 1,5 juta orang dan sekitar satu juta orang di antaranya dirumahkan atau diminta cuti di luar tanggungan perusahaan. Kondisi berat ini membebani pelaku usaha.
Di sisi lain, pelaku usaha juga menyadari keterbatasan pemerintah memberikan stimulus yang ideal. ”Oleh karena itu, kami berharap PSBB nantinya tidak diberlakukan kembali,” kata Hariyadi.
Ketua Umum Asosiasi Rekreasi Keluarga Indonesia Taufik A Wumu menyampaikan, sejak Maret 2020 hingga saat ini pelaku usaha di bidang usaha tutup. ”Kalau memang protokol kesehatan kami kurang tajam atau kurang bagus, tolong kami. Kami akan ikuti 100 persen. Yang penting kami diberikan kesempatan untuk buka kembali,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, pandemi Covid-19 telah menimbulkan banyak korban terinfeksi dan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Covid-19 masih menimbulkan kondisi yang penuh ketidakpastian. Penemuan vaksin pun belum tentu akan segera mengakhiri pandemi Covid-19.
”Studi empiris menunjukkan bahwa pandemi akan berakhir jika kita melakukan tracing (pelacakan) sumber Covid-19. Semua orang yang terinfeksi harus diketahui, mendapat perlakuan medis, dan disembuhkan agar tidak menulari,” kata Esther dalam diskusi virtual pekan lalu.
Ketika pandemi belum diketahui kapan akan berakhir, menurut Esther, semua pihak harus beradaptasi untuk menyesuaikan dengan kondisi.