Selain masih kontroversial, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir butuh waktu sampai 10 tahun. Pemanfaatan tenaga surya adalah yang paling rasional untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dinilai mustahil dimanfaatkan guna mencapai target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Pemerintah akan mengandalkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS berskala besar, termasuk memanfaatkan area bekas tambang batubara. Hingga 2035, ditargetkan ada penambahan PLTS berkapasitas 13.500 megawatt.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Senin (16/11/2020), Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, pengembangan PLTS berskala besar pada 2020-2035 akan menyasar lahan-lahan tak produktif. Contohnya adalah area bekas tambang batubara atau permukaan air waduk (PLTS terapung). Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu lumbung energi berbasis PLTS.
Pemerintah menargetkan sampai 2035 ada penambahan PLTS dengan kapasitas 13.565 MW dengan harga di bawah 4 sen dollar AS per kilowat jam (kWH). Selain itu, pengembangan PLTS atap secara masif tak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor bisnis dan industri. Target kapasitas terpasang untuk PLTS atap adalah 2.904 MW.
”Begitu pula konversi pembangkit listrik tenaga diesel untuk digantikan dengan PLTS plus baterai sebagai penyimpan daya listrik sehingga tidak ada lagi intermiten,” kata Dadan.
Untuk mempercepat pemanfaatan potensi energi terbarukan di Indonesia, pemerintah dalam waktu dekat segera menerbitkan Peraturan Presiden tentang harga listrik dari energi terbarukan.
Untuk mempercepat pemanfaatan potensi energi terbarukan di Indonesia, lanjut Dadan, pemerintah dalam waktu dekat segera menerbitkan Peraturan Presiden tentang harga listrik dari energi terbarukan. Beberapa poin penting dalam perpres tersebut adalah penetapan feed in tariff (patokan harga tenaga listrik berdasar biaya produksi) untuk pembangkit listrik tenaga hidro, tenaga surya, tenaga biomassa, dan PLTS atap dengan kapasitas hingga 5 MW.
Adapun harga listrik dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) peaker, bahan bakar nabati, dan gelombang laut ditetapkan berdasar mekanisme kesepakatan antara pengembang dan PLN.
Sementara itu, menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar Alex Noerdin, target 23 persen energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sulit dicapai tanpa kontribusi nuklir. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah segera merealisasikan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia.
Alex yakin PLTN dapat mempercepat capaian bauran energi baru dan terbarukan seperti yang ditetapkan dalam kebijakan energi nasional. ”Harus segera dilakukan (pembangunan PLTN), bukan lagi menjadi pilihan terakhir. Tanpa peran PLTN, saya rasa target 23 persen tersebut mustahil dicapai,” kata Alex.
Menjawab hal tersebut, Dadan berpendapat bahwa membangun PLTN tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat untuk memenuhi target bauran energi baru dan terbarukan 23 persen pada 2025. Menurut dia, pemerintah akan mengandalkan PLTS berskala besar untuk menaikkan kontribusi energi terbarukan. Dirinya optimistis dalam 4 atau 5 tahun mendatang bisa dibangun PLTS berskala besar hingga 5.000 MW.
Sementara itu, menurut Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan pada Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum, pertumbuhan tenaga listrik yang dihasilkan PLTS adalah yang tertinggi dari tahun ke tahun.
International Energy Agency (IEA) juga memperkirakan pertumbuhan kapasitas terpasang PLTS pada 2040 akan menjadi 200.000 MW atau hampir dua kali lipat dari pertumbuhan saat ini. China dan India adalah negara utama penyumbang pertumbuhan PLTS terbesar.
Pertumbuhan tenaga listrik yang dihasilkan PLTS adalah yang tertinggi dari tahun ke tahun.
”Di Asia Tenggara, Vietnam adalah negara yang paling menonjol dalam mengembangkan tenaga surya. Dalam kurun 2 tahun, kapasitas terpasang PLTS di negara itu tumbuh pesat dari 100 MW pada 2017 menjadi 5.000 MW pada 2019. Akhir tahun ini, mereka menargetkan kapasitas terpasangnya menjadi 10.000 MW,” kata Marlistya dalam siaran pers.
Marlistya menambahkan, kunci keberhasilan Vietnam mengembangkan PLTS secara masif adalah kebijakan negara tersebut yang pro terhadap investasi sektor energi terbarukan. Vietnam menerapkan kebijakan feed in tariff dengan desain yang adaptif disesuaikan lokasi pengembangan PLTS. Pemerintah Vietnam juga konsisten dalam membuat kebijakan untuk memberikan kepastian berinvestasi.
Untuk potensi energi terbarukan di Indonesia, data dari Kementerian ESDM menyebutkan total potensinya mencapai 417.800 MW. Potensi terbesar ada di tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), lalu tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW. Dari total potensi tersebut, yang termanfaatkan baru sebanyak 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen saja.