Pemerintah disarankan melakukan sosialisasi dan komunikasi yang baik perihal kebijakan.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lima isu utama menjadi sentimen negatif cukup tinggi, yakni sebesar 49,9 persen, bagi Presiden Joko Widodo. Kelima isu itu terkait RUU Cipta Kerja, penanganan pandemi Covid-19, dinasti politik di pilkada, pilkada di masa pandemi, dan peningkatan utang negara.
Sementara tujuh menteri mendapat sentimen negatif paling tinggi, yakni Menteri Kesehatan (74 persen), Menteri Pertanian (57 persen), Menteri Komunikasi dan Informatika (55 persen), Menteri Agama (53 persen), Menteri Kelautan dan Perikanan (47 persen), Menteri Pendidikan (44 persen), dan Menteri Keuangan (44 persen). Sentimen negatif tersebut terkait kebijakan, kiprah, perilaku, dan pernyataan para menteri.
Demikian, antara lain, hasil riset mahadata Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menganalisis sentimen tentang institusi, perilaku, dan kinerja pemerintah. Riset yang dilakukan pada Juli-13 November 2020 tersebut mengumpulkan sekitar 2,18 juta informasi dan data berupa percakapan di media sosial tentang presiden, wakil presiden, dan menteri.
Percakapan yang terjaring dan terkait Presiden Joko Widodo relatif besar, yakni sekitar 1,22 juta percakapan. ”Dari 1,22 juta percakapan terkait Presiden Jokowi, sebanyak 49,9 persen mempunyai sentimen negatif,” kata ekonom senior Indef, Didik J Rachbini, pada konferensi pers secara daring, Minggu (15/11/2020).
Riset menganalisis, dalam beberapa bulan terakhir, ada beberapa isu yang menimbulkan sentimen negatif bagi Presiden Joko Widodo. Isu tersebut berkaitan dengan kebijakan yang tidak populer, kurang sosialisasi, sembrono, tidak memperhatikan aspirasi publik, dan masalah ekonomi berat.
Berkaitan dengan RUU Cipta Kerja, misalnya, tercatat sekitar 78.900 percakapan dan mempunyai sentimen negatif 73 persen. Percakapan terkait penanganan pandemi sekitar 35.400 dengan sentimen negatif 63 persen.
Adapun tentang dinasti politik sebanyak 13.700 percakapan dengan sentimen negatif 81 persen, terkait pilkada di masa pandemi sekitar 7.600 percakapan dengan sentimen negatif 91 persen. Adapun tentang peningkatan utang negara sekitar 4.700 percakapan dengan sentimen negatif 73 persen.
Berkaitan dengan RUU Cipta Kerja, misalnya, tercatat sekitar 78.900 percakapan dengan sentimen negatif 73 persen.
”Dengan sentimen negatif yang cukup besar, separuh dari sentimen publik di media sosial, mengindikasikan bahwa presiden sebenarnya tidak mempunyai modal besar untuk membuat lompatan kebijakan tidak populer,” kata Didik.
Didik menambahkan, pihaknya juga memberi saran agar Presiden dan timnya mesti memiliki komunikasi publik dan sosialisasi yang bagus terkait kebijakan.
Peneliti Indef, Muhammad Azzam, menuturkan, sekitar 56 persen publik memberikan persepsi positif dan 44 persen memberikan persepsi negatif tentang Kabinet Indonesia Maju.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mendapat sentimen negatif 74 persen. Hal yang ramai diperbincangkan, antara lain, adalah terkait bantahan WHO atas pujian terhadap Terawan dan kursi kosong Mata Najwa.
Sentimen negatif perbincangan mengenai Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sebanyak 57 persen. ”Topiknya antara lain absennya Menteri Pertanian dalam program Lumbung Pangan Kalimantan dan polemik kalung antivirus korona,” kata Azzam.
Sementara itu, sentimen negatif perbincangan mengenai Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebanyak 47 persen, antara lain terkait dengan topik kebijakan ekspor benih lobster dan pencurian ikan yang mengancam perikanan Nusantara.
Komunikasi
Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sanny Iskandar mengatakan, UU Cipta Kerja bertujuan membuka lapangan usaha yang berujung pada penciptaan lapangan kerja. ”Kalau komunikasi publiknya bagus, seharusnya hal ini direspons dengan positif,” katanya.
Penilaian kinerja pemerintah di bidang ekonomi tahun ini, menurut Sanny, juga tidak terlepas dari pandemi Covid-19. Dibandingkan dengan negara-negara lain yang sama-sama menghadapi pandemi, perekonomian Indonesia relatif tidak terlalu jeblok.
”Namun, tentu, tidak bisa dibandingkan dengan perekonomian China yang memang di luar kondisi umum,” ujar Sanny.
Kalau komunikasi publiknya bagus, seharusnya hal ini direspons dengan positif.