Bongkar Aktor Utama di Balik Kasus Dugaan Monopoli Ekspor Benih Lobster
Dugaan monopoli dalam ekspor benih lobster menguatkan permasalahan tata kelola lobster dari hulu ke hilir. Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait diminta mengawal kebijakan ekspor ini agar tidak merugikan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pengawas Persaingan Usaha diminta menuntaskan dan membongkar aktor utama praktik persaingan usaha tak sehat dalam ekspor benih lobster. Praktik monopoli dalam ekspor benih lobster ini juga menggambarkan tata kelola lobster di Indonesia telah rusak dari hulu sampai dengan hilir.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Susan Herawati mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera mengungkap aktor yang melakukan praktik persaingan usaha tak sehat dalam ekspor benih lobster secara transparan. ”KPPU harus segera membuka siapa aktor utamanya,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (14/11/2020).
KPPU harus segera membuka siapa aktor utamanya.
Sebelumnya, KPPU merilis praktik monopoli dalam pengiriman ekspor benih bening lobster (Kompas, 13/11/2020). Ekspor itu hanya terkonsentrasi pada satu perusahaan jasa pengiriman (freight forwarding) di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Hal itu menciptakan inefisiensi biaya pengiriman dan risiko bagi pelaku usaha.
Padahal, Keputusan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Nomor 37 Tahun 2020 tentang Tempat Pengeluaran Khusus Benih Bening Lobster dari Wilayah RI menetapkan enam bandara untuk pengiriman benih lobster ke luar negeri. Selain Soekarno-Hatta, ada Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai (Denpasar), Juanda (Surabaya), Zainuddin Abdul Madjid (Lombok), Kualanamu (Medan), dan Sultan Hasanuddin (Makassar).
Hingga kini, KPPU belum mengungkapkan identitas perusahaan yang diduga melakukan praktik monopoli itu. Direktur Investigasi KPPU Gopera Panggabean menyatakan, pengiriman benih lobster yang hanya melalui satu bandara menciptakan inefisiensi biaya pengiriman dan risiko untuk pelaku usaha. Padahal, ada pelaku budidaya yang berlokasi di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera. KPPU akan mendalami penyebab eksportir hanya menggunakan satu pintu Bandara Soekarno-Hatta.
Susan menilai, praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam ekspor benih lobster ini menggambarkan tata kelola lobster di Indonesia telah rusak dari hulu sampai dengan hilir. Di hulu, kerusakan terlihat sejak regulasi terkait lobster yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah RI pada awal Mei 2020.
Muncul indikasi, banyak penyimpangan dalam pemenuhan persyaratan ekspor benih lobster. Perusahaan eksportir benih lobster membeli lobster ukuran konsumsi untuk dipindahkan ke keramba jaring apung (KJA) milik perusahaan dan diklaim sebagai keberhasilan dalam budidaya.
Tak hanya itu, perusahaan membeli lobster berukuran di atas 50 gram dari pembudidaya untuk dilepasliarkan di alam dan diklaim sebagai keberhasilan panen. Selain itu, perusahaan juga mengklaim lahan KJA milik nelayan pembudidaya dan hasil panennya sebagai keberhasilan budidaya.
”Nelayan pembudidaya lobster sangat dirugikan karena kemitraan yang dilakukan oleh perusahaan hanya untuk memenuhi syarat administratif ekspor. Setelah perusahaan mendapatkan izin ekspor, nelayan pembudidaya ditinggal,” kata Susan.
Di hilir, lanjut Susan, temuan KPPU tersebut membuktikan kerusakan tata niaga lobster. Ada pihak-pihak yang hendak mencari keuntungan dengan sengaja melakukan konsentrasi pengiriman benih lobster ke luar negeri hanya melalui Bandara Soekarno-Hatta.
”Kami berharap agar lembaga atau institusi negara terkait mengawal kebijakan ekspor lobster dari hulu sampai hilir. Dengan ekspor benih lobster ini, negara dan nelayan tidak diuntungkan. Sumber daya perikanan, dalam hal ini benih lobster, terus dieksploitasi,” tuturnya.
Kami berharap agar lembaga atau institusi negara terkait mengawal kebijakan ekspor lobster dari hulu sampai hilir. Dengan ekspor benih lobster ini, negara dan nelayan tidak diuntungkan.
Secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Lombok Timur Amin Abdullah mengemukakan, kebijakan ekspor benih lobster tidak mampu mengangkat kesejahteraan pembudidaya lobster di Tanah Air. Pembudidaya lobster justru kian kesulitan melanjutkan usaha pembesaran (budidaya) akibat benih sulit didapat dengan harga terjangkau. Keberpihakan negara terhadap pengembangan budidaya lobster di Indonesia dinilai sangat minim.
Harga benih bening lobster saat ini sangat fluktuatif dan sulit didapat. Saat ini, harga benih bening lobster jenis pasir mencapai Rp 11.000 per ekor dari yang semula Rp 4.000-Rp 6.000 per ekor. Sementara benih lobster ukuran jangkrik yang juga banyak digunakan pembudidaya semakin sulit didapat dan harganya mencapai Rp 25.000 per ekor, dari yang semula di kisaran Rp 7.000-Rp 8.000 per ekor.
Ia menambahkan, kebijakan ekspor benih sepatutnya menjamin ketersediaan benih lobster di dalam negeri dengan harga terjangkau. Dengan demikian, budidaya lobster bisa berkembang. Perlindungan terhadap pembudidaya lobster merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
”(Kesulitan benih) ini bukan persoalan musim, tetapi akibat terlalu banyak benih diambil untuk diekspor. Pembudidaya lobster semakin terpinggirkan. Siapa yang diuntungkan?” kata Amin.