Harga gabah di tingkat petani bergerak ke arah berlawanan dengan pola yang biasa terjadi di periode Oktober-Desember sepuluh tahun terakhir. Bukan naik, tetapi justru turun. Alarm bagi situasi beberapa bulan ke depan.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Situasi perberasan nasional tahun ini diliputi anomali. Setelah harga gabah dan beras berjalan ke arah berlawanan sepanjang April-September 2020, situasi harga gabah pada Oktober-November 2020 menyimpang dari pola tahunan, setidaknya berbeda dengan pola yang terjadi 10 tahun terakhir. Ada apa gerangan?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani terus naik dari Rp 4.600 per kilogram (kg) pada April 2020 menjadi Rp 4.891 per kg pada September 2020. Harga gabah di penggilingan menunjukkan tren serupa. Namun, harga beras di pasar sebaliknya.
Di laman Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga rata-rata beras nasional di tingkat konsumen terus turun dari Rp 11.900 per kg pada 1 April menjadi Rp 11.800 per kg pada 2 Oktober. Harga rata-rata beras medium di tingkat penggilingan, menurut data BPS, juga turun dari Rp 9.671 per kg pada April menjadi Rp 9.463 per kg pada Oktober.
Selama ini, harga gabah di tingkat produsen dan harga beras di konsumen bergerak linier, naik dan turun mengikuti hukum besi penawaran dan permintaan. Tahun ini, di tengah pandemi Covid-19, situasi harga di hulu dan hilir bergerak secara berlawanan dan mengindikasikan ada ”sesuatu” di pasar perberasan.
Anomali berlanjut pada Oktober 2020. Sepuluh tahun terakhir, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, periode Oktober-Desember merupakan masa paceklik. Luas panen padi relatif kecil, pasokan gabah dan beras berkurang, sehingga harga yang terbentuk di pasaran cenderung naik selama kurun waktu itu.
Akan tetapi, tahun ini lain. Harga gabah di sejumlah sentra padi turun begitu masuk Oktober 2020, beda dengan pola tahunannya. Menurut data BPS, selama kurun tahun 2011-2019, harga gabah di tingkat petani cenderung bergerak naik ketika panen musim gadu berakhir, biasanya mulai September dan terus naik hingga panen rendeng dimulai pada awal tahun berikutnya.
Survei harga gabah oleh BPS di 1.918 titik transaksi penjualan gabah di 28 provinsi pada Oktober 2020 menemukan, harga rata-rata GKP di tingkat penggilingan turun 1,34 persen dibandingkan September 2020, yakni dari Rp 4.996 per kg jadi Rp 4.928 per kg. Sementara di tingkat petani, harga gabah turun 1,56 persen, yakni dari Rp 4.891 per kg menjadi Rp 4.815 per kg.
Ada sejumlah situasi yang memungkinkan anomali tersebut. Pertama, harga beras di pasaran stabil dan cenderung turun selama April-September, antara lain, karena pemerintah menggelontorkan bantuan sosial guna menjaga daya beli dan meredam dampak pandemi Covid-19, terutama di kelompok masyarakat rentan.
Tahun ini, pemerintah bahkan memperluas penerima bantuan pangan nontunai (BPNT) dari 15,2 juta jadi 20 juta keluarga dan menambah nilai manfaat dari Rp 150.000 jadi Rp 200.000 per keluarga per bulan selama April-Desember 2020. Dengan asumsi alokasi 10 kg beras per keluarga per bulan, kebutuhan beras untuk 20 juta keluarga selama April-Desember mencapai 1,8 juta ton.
Sejumlah pedagang dan pelaku pasar menilai, stok beras berpindah dari gudang dan lapak pedagang ke rumah tangga, antara lain, melalui program-program bantuan itu. Kedua, pasar beras cenderung jenuh, antara lain, karena imbas impor beras sejak tahun 2018 yang mesti segera dikeluarkan dari gudang untuk menghindari kerusakan.
Stok beras, berdasarkan segenap situasi itu, kini relatif aman. Jauh dari kekhawatiran semula soal risiko krisis pangan dunia akibat pandemi. Indeks harga pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menunjukkan, ada kenaikan 3,1 persen di Oktober dibandingkan September, dan 6 persen lebih tinggi dibandingkan Oktober 2019, antara lain didorong oleh kenaikan harga gula, susu, sereal, dan minyak nabati. Namun, harga beras internasional justru turun ke posisi terendah dalam tujuh bulan terakhir, terutama karena panen raya sedang berlangsung di Asia.
Selain situasi perberasan internasional, penurunan harga gabah pada bulan-bulan paceklik di dalam negeri membunyikan alarm soal risiko tertekannya harga gabah di tingkat petani pada panen raya musim rendeng pada Februari-April 2021. Pasar beras yang jenuh bakal berdampak buruk ke petani jika pemerintah tidak menyiapkan antisipasi. Jangan sampai petani merugi lagi.