JAKARTA, KOMPAS — Komitmen pemerintah menciptakan pembangunan berkelanjutan masih dipertanyakan. Kebijakan belum sepenuhnya menempatkan manusia, ekonomi, dan lingkungan dalam posisi yang setara.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan, komitmen pemerintah dalam pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari banyak sisi, salah satunya pendanaan pembangunan rendah karbon dalam APBN.
Mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, total pendanaan pembangunan rendah karbon justru menurun dari Rp 34,87 triliun dalam APBN 2019 menjadi Rp 23,44 triliun dalam APBN 2020. Adapun total pendanaan pembangunan rendah karbon dalam APBN 2018 sebesar Rp 34,51 triliun. Pendanaan itu termasuk subsidi dan kewajiban pelayanan publik (PSO).
Ditilik per sektor, proporsi pendanaan rendah karbon dalam APBN tidak berubah dalam tiga tahun terakhir. Pendanaan paling besar untuk sektor transportasi yang porsinya mencapai 58,9 persen pada 2020. Selanjutnya, sektor energi 26 persen serta kehutanan dan gambut 8,9 persen.
”Ironisnya, persentase pendanaan pembangunan rendah karbon dibandingkan total APBN sangat rendah, kurang dari 1 persen. Bahkan, untuk tahun ini hanya sekitar 0,89 persen,” ujar Berly dalam diskusi bertema evaluasi setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang ekonomi dan lingkungan, Jumat (13/11/2020).
Baca juga : Pembangunan Ramah Lingkungan Belum Tampak Berjalan
Berly mengatakan, negara-negara di dunia umumnya meningkatkan alokasi stimulus hijau pada masa krisis, seperti pada 2009 pascakrisis keuangan global. Saat itu, beberapa negara, seperti Uni Eropa dan Korea Selatan, mengalokasikan stimulus hijau lebih dari 50 persen dari total stimulus, sementara China mengalokasikan 38 persen.
Komitmen mendukung ekonomi hijau di tengah krisis menjadi salah satu topik utama di Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2020, Juli lalu. Dalam laporan ekonomi lingkungan baru seri II, yang dirilis saat WEF 2020, disebutkan, kerusakan lingkungan berisiko menggerus separuh produk dometik bruto (PDB) global atau sekitar 44 triliun dollar AS.
Negara-negara di dunia umumnya meningkatkan alokasi stimulus hijau pada masa krisis.
Ongkos mahal kerusakan lingkungan harus ditanggung jika sistem ekonomi-sosial saat ini tidak berubah menjadi lebih hijau. Sistem ekonomi-sosial itu terkait dengan sektor usaha yang bergerak di bidang makanan, kelautan, dan lahan; pembangunan infrastruktur; serta energi dan industri ekstraktif.
Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, berpendapat, terjadi pergeseran prioritas bidang ekonomi lingkungan selama satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Aspek-aspek pembangunan cenderung terabaikan ketika berhadapan dengan prioritas pertumbuhan ekonomi.
”Pemerintah memang telah menyatakan komitmennya mendukung pembangunan berkelanjutan. Namun, faktanya, ada kesenjangan antara strategi besar dan implementasi kebijakan,” kata Tata.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada, Poppy Ismalina, menambahkan, kemunduran komitmen pemerintah mendukung ekonomi lingkungan tecermin dari beberapa pasal krusial yang hilang dalam UU Cipta Kerja. Pasal itu sebelumnya ada dalam UU No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup.
Salah satunya tentang upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) yang tidak lagi diperlukan sebagai proses pengambilan izin penyelenggaraan usaha. Selain itu, sembilan kriteria usaha yang teridentifikasi merusak lingkungan juga dihapus.
”Perlindungan hidup seharusnya bicara tentang aktivitas produksi yang dijaga agar tidak merusak lingkungan,” ucap Poppy.
Baca juga : Mempertaruhkan Ekologi dalam ”Omnibus Law” RUU Cipta Kerja
Menurut Poppy, dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan tidak ada dilema antara ekonomi dan lingkungan. Indonesia tetap bisa berdaya saing tanpa harus mengabaikan upaya konservasi lingkungan hidup. Selama ini, negosiasi proyek perubahan iklim kerap terkalahkan dengan negosiasi pengusaha batubara dan kelapa sawit.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengatakan, komitmen pemerintah mendukung pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Namun, prioritas saat ini adalah pengentasan warga dari kemiskinan kronis.
Pemerintah juga mengalokasikan Rp 16,73 triliun untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup dalam APBN 2021. Selain itu, ada optimalisasi penerimaan pajak melalui perluasan basis pajak barang kena cukai, yakni kantong plastik. Saat ini, peraturan mengenai pengenaan cukai kantong plastik masih dimatangkan.
Namun, prioritas saat ini adalah pengentasan warga dari kemiskinan kronis.