Harapan Pertumbuhan Ekonomi Itu Datang dari ”Pinggiran”
Orang kota biasanya malah cenderung ”wait and see”. Sementara orang desa, mungkin juga karena keadaan, karena terdesak, lebih ”see and act”.
Oleh
HARYO DAMARDONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian Indonesia dapat tumbuh dengan lebih cepat apabila warga di desa-desa difasilitasi untuk lebih berkembang. Perkembangan warga desa ini akan lebih cepat jika didukung ekosistem digital yang menawarkan berbagai solusi praktis.
Ekosistem digital itu, di antaranya, menawarkan kemudahan pembayaran digital, akses terhadap pasar, hingga kemudahan terhadap akses pembiayaan. Ekosistem digital bahkan membuka peluang hadirnya investor untuk mendanai usaha warga.
Demikian dikatakan Chief Executive Officer Wyr Solution Th Wiryawan saat mendiskusikan perekonomian Indonesia dengan Redaksi Kompas, Kamis (12/11/2020), di Kantor Harian Kompas di Jakarta.
Wiryawan sebagai anggota Kompas Collaboration Forum hadir didampingi, antara lain, oleh CEO Ottopay Yulius Purnama dan CEO OttoPoint James C Hamdani.
Menurut Wiryawan, karena warga desa kini dalam kondisi minim sentuhan, akselerasi pengembangan ekonomi di desa akan membuat dampak besar. ”Jika hanya mendorong pertumbuhan ekonomi di kota, hanya segini-gini saja,” katanya.
Karena warga desa kini dalam kondisi minim sentuhan, akselerasi pengembangan ekonomi di desa akan membuat dampak besar.
Wiryawan menekankan, warga desa juga biasanya lebih tangguh dalam menghadapi kondisi sulit, terlebih lagi saat resesi. ”Orang kota biasanya malah cenderung wait and see. Sementara orang desa, mungkin juga karena keadaan, karena terdesak, lebih see and act,” ujarnya.
Yulius menambahkan, untuk dapat keluar dari kondisi terdesak atau kemiskinan dibutuhkan dua hal, yakni niat dan kesempatan. ”Kami memberikan mereka kesempatan, misalnya dengan menawarkan investasi,” katanya.
Ekosistem digital, di antaranya dengan Ottopay, telah menjalin kerja sama dengan Nahdlatul Ulama (NU). Anggota NU yang saat ini menganggur akan dibantu dengan kerja sama usaha.
Di Kuningan, ambil contoh, dapat dibuat kerja sama budidaya ayam oleh warga desa. ”Kami bawa konsep bagi hasil kandang ayam. Kami investasi untuk kandangnya, nanti ayam itu dipelihara warga,” ujar Yulius.
Tidak hanya itu, akan dipikirkan distribusi ayam itu ke kabupaten yang kekurangan pasokan daging ayam. Jika misalnya Kabupaten Kuningan surplus daging ayam, pasokan akan dikirim ke Kabupaten Sukabumi.
”Dulu, kan, modelnya pabrik. Mau budidaya ayam, dibikin pabrik. Sekarang tidak lagi,” ujar Wiryawan. Model ini, lanjutnya, merupakan model baru dari upaya pembangunan perdesaan.
Di perkotaan, kata Yulius, kini ada urban farming, ketika orang kota menjadi tertarik untuk bertanam di pekarangan rumah. Di desa, upaya serupa terus didorong sehingga pertanian lebih efisien, misalnya dengan menguji coba padi hidroponik. ”Pokoknya, kita coba,” ujarnya.
Ekosistem digital
Namun, dengan begitu banyaknya inisiatif ekosistem digital, termasuk layanan dompet digital, tidakkah warga desa nantinya akan menjadi bingung? Bagaimana apabila akhirnya terdapat banyak aplikasi dompet digital di telepon seluler mereka?
Menurut Yulius, Indonesia itu seluas Eropa yang terbagi dalam 34 negara. ”Indonesia itu besar sekali. Dibutuhkan banyak inisiatif. Kami (Ottopay), misalnya, tidak terdengar di Jakarta karena banyak bermain di kampung,” ujarnya.
”Kami ibaratnya gerilya di daerah, di kota tier tiga, di kampung. Kami sampai datangi dan edukasi pedagang keliling,” ujarnya. Ia menambahkan, dari warga desa yang didatangi, ternyata banyak yang literasi keuangannya masih rendah. Mereka juga belum memahami layanan keuangan digital.
Hasil survei Mogan Stanley pada awal November 2020 menyebutkan, float money atau dana mengambang dalam dompet digital (e-wallet) pada tahun ini meningkat dua kali lipat dari 2018.
Pada 2018, dana dalam dompet elektronik yang dioperasikan perbankan dan pelaku teknologi finansial di Indonesia mencapai 50 miliar dollar AS. Pada 2020, dana tersebut diperkirakan meningkat menjadi 100 miliar dollar AS.
Namun, menurut Yulius, data keuangan digital itu lebih banyak merekam perilaku di kota. Di daerah, kondisinya belum seperti itu. Terlebih lagi banyak warga masih menggenggam telepon yang belum pintar. Mereka juga belum melek uang digital.
Wiryawan menuturkan, sangat penting untuk segera membangun perekonomian di desa. ”Mereka harus dibantu untuk memproduksi barang,” ucapnya.
Jika tidak, barang dari luar akan membanjiri rumah tiap keluarga di Indonesia. Bukan barang produksi dari desa-desa di pelosok Indonesia, melainkan dari pelosok desa di benua lain.