”Start Up” Teknologi Tawarkan Solusi untuk Permasalahan Indonesia
Tiga start up, Hacktiv8, Kata.ai, dan Riliv, lulus dari program Google for Startup Accelerator Asia Tenggara. Ketiga start up tersebut dapat menawarkan solusi terhadap sejumlah persoalan yang ada di Indonesia.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tiga perusahaan rintisan atau start up Indonesia, yakni kursus koding Hacktiv8, platform kecerdasan buatan Kata.ai, dan layanan konsultasi kesehatan mental Riliv, lulus dari program bimbingan Google for Startup Accelerator Asia Tenggara. Ketiga start up tersebut dinilai dapat menawarkan solusi terhadap berbagai persoalan yang ada di Indonesia.
Selama tiga bulan sejak pertengahan Agustus 2020, para pemimpin tiga start up tersebut bersama 12 start up dari sejumlah negara mengikuti serangkaian lokakarya dan dibimbing sejumlah pakar, baik dari Google maupun praktisi dari sektor industri masing-masing. Sebanyak 15 peserta tersebut dipilih dari total 600 start up yang mengajukan diri.
Ini adalah program akselerator start up yang digelar pertama kali setelah lima tahun berhenti menggelar program serupa. Terakhir, kegiatan sejenis ini digelar pada 2015.
Managing Director Google Indonesia Randy Jusuf mengatakan, Google terkesan dengan ide, inovasi, dan ketangguhan dari tiga start up tersebut di tengah pandemi Covid-19. Ia pun menegaskan komitmen Google untuk terus membantu pertumbuhan komunitas start up di Indonesia.
”Kita perlu membantu kesuksesan start up karena dampak positifnya bisa dirasakan ekonomi dan masyarakat kita,” kata Jusuf dalam acara temu media virtual yang digelar pada Kamis (12/11/2020).
Head of Startup Ecosystem Southeast Asia Google Thye Yeow Bok memiliki pandangan yang sama. Ia terkesan dengan start up Indonesia, terlebih lagi sebagai sebuah negara, pertumbuhan ekosistem start up Indonesia terus meningkat dan memiliki banyak potensi.
Bok mengatakan, berbagai persoalan yang ada di Indonesia mungkin juga dialami negara lain. Oleh karena itu, start up Indonesia yang sedang mengembangkan solusi untuk menghadapi persoalan itu dapat menjadi referensi atau bahkan kelak dapat mengekspor produknya ke negara lain di kawasan.
”Indonesia punya banyak talenta, banyak start up yang mengembangkan solusi kreatif juga. Kami sangat senang untuk dapat berperan dalam mendukung ekosistem ini,” kata Bok.
Layanan kesehatan mental
Riliv, misalnya, dengan platformnya berupaya meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan mental, yang menurut Co-founder dan CEO Riliv Audrey Maximilian Herli masih sangat rendah di Indonesia.
Berdasarkan data yang ia kutip dari hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) Kementerian Kesehatan RI, 14 juta penduduk mengalami gangguan kesehatan mental. Selain itu, 64 persen orang Indonesia juga mengalami depresi dan kecemasan selama pandemi Covid-19 menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).
”Padahal, jumlah tenaga kesehatan mental masih rendah. Selain itu, ada pula stigma sosial dan belum terjangkau bagi kalangan umum,” kata Maxi. Ia mengungkapkan ada lebih dari 100 psikolog profesional yang menjadi mitra Riliv.
Urgensi kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan mental di masa pandemi ini tecerminkan pada jumlah pengguna Riliv yang naik drastis selama 2020. Maxi mengatakan, jumlah pengguna Riliv meningkat 300 persen. Kini, jumlah pengguna Riliv mencapai 350.000 orang.
Riliv juga memiliki skema business-to-business untuk menggelar pelatihan kesehatan mental untuk perusahaan dan perguruan tinggi.
Pelatihan koding
Bagi Hacktiv8, krisis talenta digital di Indonesia menjadi problem yang perlu diselesaikan. CEO Hacktiv8 Ronald Ishak mencontohkan bahwa meskipun ada 250.000 siswa yang mendaftar sebagai mahasiswa ilmu komputer setiap tahun, hanya 17 persen yang akhirnya akan bekerja sebagai pengembang perangkat lunak, berdasarkan data World Bank 2018.
”Kesenjangan talenta teknologi ini yang menjadi penghalang terbesar perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Di sini peran Hacktiv8,” kata Ronald.
Hacktiv8, kata Ronald, adalah pembelajaran koding intensif selama 12 minggu yang dapat memberi keterampilan orang tanpa latar belakang teknik informatika menjadi seorang developer siap kerja. Bagi yang telah menyelesaikan program ini, Hacktiv8 akan mencarikan pekerjaan dalam hitungan minggu.
Berdasarkan laporan Council on Integrity in Results Reporting (CIIR) Hacktiv8 menjadi kursus developer nomor dua di dunia. Tingkat penerimaan kerja siswanya pada kisaran 95,2 persen dalam 90 hari. Hanya di bawah Launch Academy di Boston, AS.
Sejak berdiri, Ronald mengatakan, Hacktiv8 telah menerima 1.912 siswa full-time sejak 2016, 1.528 part-time untuk 2017, dan 70.870 untuk siswa daring sejak 2019.
Situasi pandemi juga meningkatkan jumlah siswa yang ingin bergabung di Hacktiv8. Ronald mengatakan, naik 60 persen per bulan. Selain itu, perusahaan yang bermitra untuk mendapatkan pekerja IT dari Hacktiv8 pun juga bertambah karena dorongan untuk transformasi digital.
”Ada sejumlah perusahaan konvensional seperti pabrik yang dulunya tidak pernah hire developers, sekarang mencari developers untuk adopsi teknologi di sistem internal mereka,” kata Ronald.
Ronald mengatakan, untuk mendaftar dan mengikuti program ini tidak dipungut biaya. Namun, jika peserta telah mendapat pekerjaan, akan ada skema pembagian gaji. Hacktiv8 akan mendapat 15 persen gaji selama 36 bulan. Maksimal nominal yang dibayarkan siswa adalah Rp 60 juta. Skema ini hanya untuk mereka yang mendapat gaji di atas Rp 10 juta.
Kecerdasan buatan
CEO Kata.ai Irzan Aditya mengatakan, layanan yang ditawarkannya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas layanan pelanggan di Indonesia. Dengan layanan chat bot atau robot percakapan, pelanggan dapat dilayani oleh kecerdasan buatan.
”Dengan kecerdasan buatan ini bertujuan untuk mengatasi inefesiensi pekerjaan manual dan customer engagement yang rendah. Tetapi, bahasa Indonesia itu kompleks. Kami ingin membantu perusahaan-perusahaan klien dapat meningkatkan profitabilitas dengan AI chat bot,” kata Irzan.
Irzan mengungkapkan, chatbot yang didukung oleh teknologi Kata.ai adalah Veronika Telkomsel, Sabrina BRI, Shalma Alfamart, dan Jemma Unilever. Kata.ai juga menjadi salah satu dari lima start up yang tergabung dalam Task Force Strategi Kecerdasan Artifisial Nasional yang dibentuk Kementerian Riset dan Teknologi-Badan Riset dan Inovasi Nasional.