Sengketa dengan Brasil, WTO Nilai Indonesia Belum Sesuai
Kekalahan Indonesia dalam sengketa dagang produk dan daging ayam dinilai semakin mengancam usaha perunggasan nasional. Peluang impor ayam asal Brasil makin terbuka.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menilai, Indonesia belum memenuhi rekomendasi revisi peraturan yang berkaitan dengan kekalahan sengketa dagang terkait dengan produk dan daging ayam dengan Brasil. Penilaian ini bakal semakin mengancam kelangsungan industri perunggasan nasional.
Meskipun Pemerintah Indonesia sudah merevisi sejumlah aturan, laporan panel kesesuaian (compliance panel) WTO menyatakan, Indonesia belum memenuhi rekomendasi Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body). Laporan ini terbit di laman resmi WTO, Selasa (10/11/2020) waktu setempat.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, penilaian WTO itu membuat ancaman impor ayam makin nyata dan berpotensi memukul industri perunggasan nasional. ”Ini ancaman serius karena keran impor akan semakin deras. Strategi diplomasi mesti diperkuat untuk mengatasinya,” katanya saat dihubungi, Rabu.
Brasil melayangkan tuntutan terhadap Indonesia terkait dengan importasi produk dan daging ayam. Nomor kasusnya DS484. Pada Oktober 2014, Brasil menyatakan telah berupaya selama lima tahun untuk menembus pasar Indonesia. Secara spesifik, Brasil ingin mengekspor ayam potong.
Hingga kini, Indonesia sudah mengubah sejumlah peraturan menteri perdagangan, peraturan menteri pertanian, dan undang-undang (UU). UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta UU No 7/2014 tentang Perdagangan, yang menjadi sorotan Brasil, telah direvisi lewat UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan data, rata-rata harga daging ayam Brasil di tingkat konsumen Rp 16.000 per kilogram. Di sisi lain, harga daging ayam Indonesia mencapai Rp 32.000 per kg. Artinya, daging ayam produksi Brasil lebih murah dibandingkan dengan ayam Indonesia.
Dengan demikian, ada potensi ayam impor dari Brasil membanjiri pasar Indonesia, terutama ritel modern. ”Hal ini dapat membuat konsumen beralih ke ayam impor. Dampaknya, permintaan ayam segar dalam negeri anjlok dan merembet hingga industri pakan ataupun pembibitan,” ujarnya.
Terkait dengan potensi banjirnya daging ayam asal Brasil, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah mengatakan, sejauh ini belum ada permohonan impor ayam. ”Di balik kekalahan di WTO, pemerintah berkomitmen melindungi peternak dalam negeri,” ujarnya saat diskusi bertajuk ”Menata Ulang Industri Perunggasan yang Berdaya Saing” yang digelar Indef secara daring, Rabu.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo berpendapat, impor ayam dari Brasil bergantung pada permintaan dalam negeri. Konsumen Indonesia semestinya lebih memilih produk dan daging ayam dalam negeri ketimbang yang berasal dari impor.
Ketersediaan data
Menurut akademisi IPB University, Rachmat Pambudy, ketersediaan data kandang serta populasi ayam siap potong (final stock/FS) mendesak bagi penataan industri perunggasan nasional. Data ini akan mencerminkan kelebihan suplai secara wilayah.
Idealnya, Indonesia memiliki data populasi riil galur murni (grandparent stock/GPS), induk ayam potong (parent stock/PS), dan FS, baik yang masih hidup di kandang maupun yang berbentuk karkas di tempat pemotongan. Data ini bisa jadi landasan penyusunan peta jalan industri perunggasan nasional yang lebih berdaya saing.
Di sisi lain, Nasrullah menyatakan, dinas yang menangani peternakan di tingkat kabupaten kerap kali tidak memiliki data jumlah kandang ataupun populasi ayam. ”Dinas juga sulit mendata keluar-masuknya ayam umur sehari (day old chicken) di daerahnya. Kesulitan pendataan ini berujung pada ledakan produksi yang menyebabkan harga anjlok,” ujarnya.