Perahu Rusak Dihantam ”Badai”, Nelayan Surabaya Tunda Melaut
Gelombang tinggi dan angin kencang menerjang pesisir timur Surabaya, Jawa Timur, dan merusak 59 perahu dari 120 biduk yang ditambatkan. Para nelayan terpaksa menunda melaut setidaknya sampai sepekan mendatang.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Gelombang tinggi dan angin kencang menerjang pesisir timur Surabaya, Jawa Timur, dan merusak 59 perahu dari 120 biduk yang ditambatkan. Para nelayan terpaksa menunda melaut setidaknya sampai sepekan mendatang.
Menurut Ketua Paguyuban Kelompok Nelayan Bintang Samudra Cumpat, M Iksan (51), Kamis (12/11/2020), gelombang tinggi dan angin kencang menerjang pesisir timur, yakni Nambangan, Cumpat, Bulak, dan Kenjeran, pada Rabu selepas pukul 21.00 WIB.
”Memang sudah dua hari kami tidak melaut karena informasi adanya gelombang tinggi, tetapi terjangan tadi malam belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Iksan.
Akibat hantaman gelombang dan angin, menurut catatan kelompok nelayan, 59 perahu rusak. Sebanyak 23 biduk rusak parah dengan 16 unit di antaranya karam dan belum diangkat. Ada 36 perahu rusak ringan sehingga masih bisa diperbaiki. Untuk perbaikan perahu yang rusak ringan, Pemerintah Kota Surabaya telah menyalurkan bantuan cat.
Menurut Ramadoni (49), nelayan yang perahunya rusak, ketinggian gelombang pada Rabu malam belum pernah terjadi. Memang setiap Agustus—tahun ini mundur menjadi November—gelombang laut cenderung tinggi.
Memang sudah dua hari kami tidak melaut karena informasi adanya gelombang tinggi, tetapi terjangan tadi malam belum pernah terjadi sebelumnya. (M Iksan)
Setiap gelombang tinggi, nelayan pasti tidak melaut dan menambatkan perahu di pinggir pantai. ”Kali ini air laut tak hanya menghantam perahu, tetapi juga rumah penduduk, terutama permukiman di Nambangan. Air sampai di lampu jalan, jadi ketinggiannya melebihi tiap tahun terjadi,” katanya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Kamis pagi, langsung mengunjungi permukiman nelayan sekaligus ikut melakukan pembersihan sampah dari laut di kawasan Nambangan. Ketika melihat banyak perahu nelayan yang rusak akibat diempas gelombang laut pada malam hari, ia langsung menginstruksikan jajarannya untuk membantu nelayan itu memperbaiki perahu mereka.
”Saya habis shalat Subuh tadi langsung lari ke Kenjeran untuk melihat kondisinya. Lalu pukul 07.00, saya baru sampai rumah dinas. Kenapa saya melakukan itu, karena saya tidak mau terlambat,” kata Risma seusai meninjau permukiman nelayan.
Angin kencang
Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya Irvan Widyanto mengatakan, tinggi gelombang di Selat Madura saat bencana terjadi lebih dari 2 meter. Angin dari arah timur ke tenggara berkecepatan 26 kilometer per jam.
”Gelombang tinggi dan angin kencang mendorong air laut pasang dan membanjiri kawasan permukiman warga,” kata Irvan.
Banjir mendorong para nelayan keluar untuk memeriksa perahu yang sedang ditambatkan di bibir pantai. Mereka melihat banyak perahu yang rusak dihantam bencana hidrometeorologi tersebut. Nelayan menghubungi petugas untuk meminta penyelamatan.
Kepala Stasiun Meteorologi Maritim Perak II Surabaya Taufiq Hermawan mengatakan, gelombang tinggi dan angin kencang di kawasan pesisir berpotensi masih terjadi setidaknya sampai tiga hari ke depan. Ancaman ini terkait dengan perbedaan tekanan udara antara utara dan selatan khatulistiwa yang signifikan.
Medan angin secara regional mengarah konstan dalam areal luas dan panjang sehingga meningkatkan potensi angin kencang. Wilayah embusan angin kencang termasuk di Selat Madura di mana pesisir utara dan timur Surabaya berada di dalamnya.
Taufiq melanjutkan, gelombang tinggi terkait dengan kondisi pasang air laut maksimum yang meningkat. Pasang maksimum harian berketinggian 80-110 sentimeter dari permukaan air laut (MSL) dan terjadi pukul 20.00-21.00 WIB. Pasang diprediksi meningkat hingga 130 sentimeter dari MSL pada 15-17 November 2020.
Peningkatan kecepatan angin bersamaan dengan pasang memicu gelombang tinggi dalam skala lokal. Akibatnya, terjadi banjir rob di kawasan permukiman nelayan Surabaya pada Rabu malam. Keputusan nelayan untuk tidak melaut dua hari terakhir dan menunda melaut sepekan ke depan sudah tepat. ”Saya meminta masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan terus memantau perkembangan informasi cuaca,” kata Taufiq.
Sebelumnya, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa meminta masyarakat waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi. Di Jatim, sebanyak 22 dari 38 kabupaten/kota masuk daerah rawan banjir, tanah longsor, tanah gerak, dan angin kencang atau bencana hidrometeorologi.
Pemerintah kabupaten/kota penting untuk segera meneruskan perkembangan prediksi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika kepada masyarakat. ”Misalnya, prediksi akan gelombang tinggi sampai 3 meter penting untuk segera diketahui nelayan agar menunda melaut demi keselamatan diri,” kata Khofifah.
Khofifah mengingatkan, bencana banjir, terutama akibat luapan sungai besar, berpotensi terjadi di wilayah lintasan Bengawan Solo, yakni Magetan, Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Tuban. Waspadai Sungai Brantas ketika meluap bisa membanjiri Malang Raya, Kediri, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, dan Surabaya.
Tanah longsor berpotensi terjadi di Jombang, Nganjuk, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Kondisi alam di kawasan ini mencakup pegunungan dan perbukitan yang kerap longsor saat musim hujan.