Sistem mitigasi risiko berlapis perlu diterapkan perbankan untuk mengantisipasi potensi kecurangan oleh pihak internal ataupun eksternal.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem mitigasi risiko berlapis perlu diterapkan industri perbankan untuk mengantisipasi potensi kecurangan, baik oleh pihak internal maupun eksternal. Potensi fraud harus dicegah agar tidak menurunkan kepercayaan masyarakat kepada layanan perbankan.
Kecurangan atau fraud yang merupakan tindakan curang untuk menguntungkan diri sendiri, kelompok, atau pihak lain menjadi risiko yang rentan terjadi di perbankan. Menyadari risiko itu, PT Bank Danamon Indonesia Tbk pun menyiapkan sistem mitigasi risiko berlapis.
Direktur Kepatuhan Bank Danamon Rita Mirasari dalam virtual media briefing, Kamis (12/11/2020), mengatakan, dalam operasional perusahaan, terdapat tiga lini pertahanan untuk mencegah risiko.
”Ini terdiri dari unit kerja seperti lini bisnis atau unit pendukung, divisi kepatuhan dan divisi pemantau risiko, serta satuan audit internal. Ketiganya saling mendukung untuk mencegah terjadi hal yang merugikan perusahaan maupun nasabah,” kata Rita yang juga menjabat sekretaris perusahaan.
Penerapan tata kelola perusahaan yang baik menjadi lini pertahanan utama. Penerapan tata kelola perusahaan yang baik itu memiliki lima prinsip, yaitu transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.
Bank Danamon juga memastikan menjalankan kebijakan Anti-pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme dengan lima pilar, yaitu pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi, kebijakan dan prosedur, pengendalian internal, sistem manajemen informasi, serta sumber daya manusia dan pelatihan.
Terhadap karyawan, misalnya, Danamon menjalankan sistem Know Your Employee. Profil dan integritas karyawan dimonitor, salah satunya dengan mengawasi aktivitas keuangan karyawan di perbankan. Selain itu, edukasi dan penegasan prinsip dasar berperilaku diberikan secara berkala.
Selain ke karyawan, Bank Danamon juga memastikan nasabah teredukasi agar dapat menghindari atau menanggulangi berbagai bentuk kecurangan. Sebuah sistem juga dihadirkan agar nasabah dan masyarakat dapat memastikan perusahaan menerapkan tata kelola yang baik.
”Pihak lain dapat melaporkan penyimpangan atau hal-hal yang mencurigakan kepada perusahaan melalui layanan Whistleblower yang dikelola oleh pihak ketiga guna memastikan kerahasiaan pelapor,” tambah Rita.
Upaya dan sistem mitigasi tersebut juga didukung kepatuhan pada pengawasan dan pengendalian risiko kecurangan sesuai standar yang diterapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Salah satunya Peraturan OJK Nomor 39/POJK 03/2019 yang dalam penerapannya dilakukan melalui empat pilar strategi antifraud. Keempat pilar tersebut meliputi pencegahan, deteksi dan investigasi, pelaporan dan sanksi, serta pemantauan evaluasi dan tindak lanjut.
Jika dijalankan, sistem itu diharapkan menghindari dan mengatasi berbagai kecurangan. Salah satu isu kecurangan yang menghebohkan tahun ini adalah data Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) terkait aliran dana mencurigakan yang keluar-masuk melalui bank-bank besar dunia.
Laporan lembaga intelijen keuangan Amerika Serikat yang bocor tersebut mencatat adanya keterlibatan 19 bank asal Indonesia dalam aksi perpindahan dana mencurigakan, yang ditaksir mencapai 504,65 juta dollar AS.
Belum lama ini, kasus dugaan kecurangan oleh pihak internal di salah satu bank swasta di Tanah Air yang menyebabkan hilangnya tabungan nasabah juga menambah catatan buruk bagi industri perbankan.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, yang dihubungi Kompas hari Kamis, mengatakan, fenomena kecurangan bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap layanan keuangan, termasuk bank yang menjalankan bisnis kepercayaan.
Apalagi, menurut catatan YLKI, selama tujuh tahun berturut-turut, pengaduan di sektor layanan keuangan, termasuk bank, selalu menempati urutan pertama. Pada tahun 2019, misalnya, porsi aduan terkait layanan keuangan mencapai 42 persen dari total aduan. Keluhan masyarakat beragam, mulai dari pembiayaan, uang elektronik, termasuk kecurangan di perbankan.
”Ini ironi ketika kita sudah punya OJK, tetapi pengaduan masyarakat di sektor perbankan tinggi. Menurut analisis saya, ini terjadi karena ada masalah sistemik. Di banyak negara, aduan masyarakat terhadap layanan keuangan berada di posisi bawah. Seperti di Hong Kong, masalah ini ada di urutan 10 ke bawah,” ujar Tulus.
Ia berharap, setiap bank dapat mengevaluasi sistem audit dan manajemen industri mereka. Selain itu, regulator harus meningkatkan pengawasan dan independensi agar tidak membuka peluang terjadinya risiko-risiko yang merugikan masyarakat.