Antisipasi Gagal Bayar, BFI Finance Lakukan Pencadangan
Perusahaan pembiayaan PT BFI Finance Indonesia Tbk mencatatkan penurunan laba bersih hingga 52,2 persen pada triwulan III-2020. Penurunan terjadi karena meningkatnya pencadangan untuk antisipasi gagal bayar.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja PT BFI Finance Indonesia Tbk mencatatkan penurunan selama pandemi Covid-19. Penurunan laba perusahaan pembiayaan mobil, sepeda motor, properti, serta alat berat dan mesin ini disebabkan oleh peningkatan pencadangan hingga Rp 600 miliar untuk mengantisipasi risiko gagal bayar.
Data kinerja BFI Finance menunjukkan, per triwulan III-2020, piutang pembiayaan bersih menurun 19,4 persen dari Rp 16,77 triliun secara tahunan. Dalam periode yang sama, piutang yang dikelola menurun 17,6 persen dari Rp 18 triliun secara tahunan, termasuk syariah.
Dampaknya, total pendapatan pada triwulan III-2020 turun 8,5 persen secara tahunan menjadi Rp 3,51 triliun. Dalam periode yang sama, laba sebelum pajak turun 51,6 persen dari Rp 1,37 triliun menjadi Rp 662 miliar dan laba bersih turun 52,2 persen dari Rp 1,09 triliun menjadi Rp 521 miliar.
Direktur Keuangan BFI Finance Sudjono menyampaikan, kinerja pembiayaan pada triwulan III-2020 mulai menunjukkan perbaikan meski masih terjadi penurunan laba. Sebab, BFI Finance tidak melakukan ekspansi bisnis pada triwulan II-2020 dan meningkatkan nilai pencadangan yang dibentuk di tengah pandemi.
”Sebagian besar penurunan terjadi karena peningkatan pencadangan yang cukup besar. Selama 2020, kami melakukan pencadangan sekitar Rp 600 miliar sehingga berdampak pada beban keuangan perusahaan,” kata Sudjono, Kamis (12/11/2020).
Paparan ini disampaikan dalam acara publik ”Public Expose 2020” yang disiarkan melalui Zoom Streaming. Hadir pula Direktur Bisnis BFI Finance Sutadi serta Direktur Operasional dan Sumber Daya Manusia Andrew Adiwijanto.
Pencadangan, kata Sudjono, dilakukan karena perusahaan melihat potensi risiko yang timbul atas kontrak yang direstrukturisasi lebih tinggi dibandingkan kontrak normal. Dengan begitu, BFI Finance melakukan penambahan pencadangan secara bertahap untuk mengantisipasi risiko yang muncul.
”Jadi, kami melakukan pencadangan khusus berdasarkan kondisi sebelum restrukturisasi. Kalau kondisi memburuk, kami akan menambahkan lagi pencadangannya,” ujarnya.
Sementara itu, rasio non-performing financing (NPF atau nilai utang bermasalah) perusahaan mulai membaik menjadi 2 persen (Oktober) dari sebelumnya 2,67 persen (September) dan 3,73 persen (Juni). Tren rasio NPF BFI Finance masih di bawah rata-rata industri pembiayaan, yang pada Agustus tercatat sebesar 5,23 persen.
Sudjono mengatakan, BFI Finance telah melakukan manajemen keuangan dan manajemen risiko yang berhati-hati. Nilai cadangan yang ada saat ini mencapai 2,4 kali dari total NPF, meningkat dari 1,6 kali pada kuartal sebelumnya.
”Kami memiliki nilai coverage NPF 2,4 kali. Artinya, satu piutang macet diproteksi dengan 2,4 cadangan untuk piutang tersebut sehingga kemampuan kami untuk menyerap potensi kerugian ke depan masih cukup besar. Sebelum pandemi, NPF kami berada di angka 1 persen. Jadi, kami masih punya banyak tugas untuk mengembalikan kondisi portofolio,” tuturnya.
Selain itu, penyesuaian kondisi bisnis di tengah pandemi dilakukan dengan menutup operasional 38 gerai.
Untuk mendukung program pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, BFI Finance turut berpartisipasi dalam penyaluran subsidi bunga kepada konsumen usaha mikro, kecil, dan menengah. Sampai dengan triwulan III-2020, total Rp 66,7 miliar telah disalurkan kepada sekitar 69.000 konsumen yang memenuhi kriteria.
Penyaluran relaksasi pembiayaan kepada para konsumen yang keadaan keuangannya terdampak Covid-19 dilakukan mulai April hingga Agustus 2020. Saat ini, nilai piutang yang direlaksasi mencapai 35,5 persen dari total piutang pembiayaan yang dikelola per 30 September 2020.
Diversifikasi
Komposisi pendanaan eksternal bagi BFI Finance, kata Sudjono, terdiri dari pinjaman bank dalam negeri (26 persen), bank luar negeri (36 persen), obligasi (34 persen), dan joint financing (4 persen). Pada 26 Agustus 2020, perusahaan juga menandatangani perjanjian kerja sama dalam pelayanan kredit kendaraan bermotor dengan salah satu bank badan usaha milik negara sebesar Rp 1 triliun.
”Sumber pendanaan BFI cukup terdiversifikasi. Kami tidak bergantung pada beberapa kreditor atau jenis pendanaan tertentu, tetapi sumber pendanaan cukup beragam dan fleksibel,” katanya.
Sudjono menjelaskan, BFI Finance memiliki obligasi yang jatuh tempo pada akhir 2020. Perusahaan pun telah menyiapkan pelunasan Obligasi Berkelanjutan III BFI Finance Indonesia Tahap III Tahun 2017 Seri C sebesar Rp 400 miliar, yang jatuh tempo pada 9 November 2020.
Pelunasan ini menggunakan kas internal yang diperoleh dari pembayaran angsuran konsumen dengan jumlah lebih dari Rp 1 triliun setiap bulan. Pada awal September 2020, perusahaan telah menerbitkan Obligasi Berkelanjutan IV Tahap III Tahun 2020 dengan jumlah pokok obligasi sebesar Rp 832 miliar.
Perusahaan akan melakukan penerbitan obligasi kembali pada awal tahun 2021. Saat ini sedang dalam proses melakukan pendaftaran program Penawaran Umum Berkelanjutan Obligasi Berkelanjutan V dengan jumlah sampai sebesar Rp 6 triliun ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sutadi menyampaikan, pada triwulan IV-2020 diharapkan pertumbuhan bisnis mencapai 50 persen di atas triwulan III-2020. Sementara untuk ekspektasi 2021 diharapkan setidaknya kondisi bisnis BFI Finance dapat kembali seperti kondisi sebelum Covid-19.
”Dalam masa ini, kami melakukan transformasi digital untuk seluruh transaksi dengan penerapan teknologi berbasis data. Survei juga tetap berjalan dengan cara baru, tidak lagi proses survei lapangan, tetapi kami punya telesurvey,” kata Sutadi.