Media sosial menyediakan lapak dan calon pembeli tanpa sekat lagi kepada para pedagang daring. Tantangannya adalah membuat pembeli terpikat tanpa bersentuhan langsung dengan produk.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Bagi sejumlah pedagang daring, media sosial ibarat pasar yang riuh. Mereka harus bersiasat agar pembeli terpikat. Lingkar pertemanan di jagat maya turut membantu paparan produk mereka.
Usaha bawang goreng milik Anissa Dini (26) dan ibunya lahir karena dorongan teman sejawat. Rumahnya di Bogor, Jawa Barat, menjadi semacam shelter bagi kawan-kawannya, baik teman sekolah, kuliah, maupun teman kantor.
Kebetulan, sang ibu suka menyetok bawang goreng. Bawang goreng menjadi bumbu tambahan setiap makan. ”Sekali bikin biasanya satu kilogram bawang merah,” ujarnya, Rabu (11/11/2020) siang.
Setiap teman Anissa yang datang bertamu pernah mencicipi lezatnya bawang goreng bikinan ibu Anissa. Bahkan, salah satu teman menyempatkan berkunjung hanya untuk makan bawang goreng. ”Salah satu sahabatku dulu suka refill bagor (bawang goreng) tiap ke rumahku, ha-ha-ha. Jadi, dia stok buat di rumahnya dan di kantor,” tutur Nissa.
Awal tahun 2020 atau sebelum Covid-19 melanda Indonesia, perempuan yang pernah bekerja di lembaga riset swasta ini menyetok bawang goreng di kantornya. Kemudian Indonesia dilanda Covid-19 dan semua karyawan bekerja dari rumah hingga Juni.
Ketika karyawan kembali masuk kantor, bawang goreng yang sudah beberapa bulan itu masih renyah. Dari situlah teman-temannya meminta Anissa dan ibunya berjualan bawang goreng. Inilah cikal bakal Bagor Bulis, bawang goreng bikinan ibu dan anak itu.
Awalnya, Nissa berjualan dengan sistem pesan dulu (PO). Namun, pesanan bawang goreng dari temannya kian banyak. ”Pernah kami bikin bagor itu sampai 12 kilogram bawang merah sehari karena banyak yang PO. Jadi capek ngupas bawangnya. Makanya, kami evaluasi dengan bikin bagor nyicil tiap hari, rerata 3 kilogram bawang merah per hari,” jelasnya.
Dia menjelaskan, sekilo bawang merah menghasilkan 300 gram bawang goreng. Ada dua rasa: orisinal dan pedas. Bawang goreng orisinal harganya Rp 25.000 per 100 gram, sedangkan yang pedas dibanderol Rp 30.000 per 100 gram.
Pembeli Bagor Bulis, kata Anissa, merupakan teman-temannya. Seiring berjalannya waktu, kisah Bagor Bulis menyebar dari teman ke teman. Testimoni, review, atau promo gratis bertebaran dari para pembeli awal yang tak lain adalah teman-teman Anissa. Mereka mempromosikan Bagor Bulis dengan penuh semangat. Ada yang membagikan foto makanan bertabur Bagor Bulis. Ada juga yang memperlihatkan foto sedang makan Bagor Bulis langsung dari botolnya.
”Aku enggak pernah meminta pembeli memberikan testimoni. Mungkin karena mereka temanku, jadi mereka oke-oke saja melakukan itu. Ditambah lagi, teman-temanku rada-rada aneh semua, ya. Bahkan, ada yang merasa ’tertekan’ karena belum posting Bagor Bulis, sementara teman lain sudah pada posting duluan di story Instagram, ha-ha-ha,” ujarnya.
Nissa sering menambahkan pesan personal di kemasan bawang goreng kepada setiap pembeli. Salah satunya berupa pantun saat mengabarkan pesanan sudah dikirim. Simak pantunnya: ”Kue pukis kue cucur, Bagor Bulis siap meluncur”.
Di masa pandemi Covid-19, dia menyaksikan banyak pedagang bermunculan di media sosial. Selain membeli, tak jarang konsumen turut mempromosikan barang yang dibelinya. ”Aku beberapa kali juga begitu. Ditawarin jualan teman atau aku inisiatif untuk membeli sendiri. Nah, ini udah seperti habit sekarang,” tambahnya.
Nissa sering menambahkan pesan personal di kemasan bawang goreng kepada setiap pembeli. Salah satunya berupa pantun saat mengabarkan pesanan sudah dikirim. Simak pantunnya: ”Kue pukis kue cucur, Bagor Bulis siap meluncur”.
Astri Utami (23), pemilik toko kue daring Bakkershal Pastries, pun menggunakan jejaring di media sosial untuk mengenalkan produk. Pada Mei lalu, Astri, kakak, dan ibunya merintis usaha ini. Sejumlah kue dikirim ke selebgram yang dikenal dan meminta mereka mengulas produk Bakkershal Pastries.
”Berhubung aku kenal mereka, aku cukup ngirim produk saja. Jadi enggak bayar,” ujarnya.
Menurut finalis Abang None Jakarta Timur 2019 ini, testimoni hanya memberikan eksposur. Untuk meningkatkan eksposur menjadi penjualan, butuh aksi tambahan. Dia biasanya menawarkan produk ke anggota kelompok atau komunitas tertentu.
Ketika orang suka dengan produk yang ditawarkan, terbuka peluang untuk menggaet konsumen baru. ”Kalau jualan secara daring, rekomendasi dari orang tepercaya, apalagi yang dikenal, sangat menguatkan warganet untuk membeli produk,” tambahnya.
Sementara itu, di Nias Selatan, Sumatera Utara, Alnoferi (30) memanfaatkan momentum Natal dan Tahun Baru 2020 untuk menjual pakaian secara daring. Dia membeli pakaian dari Jakarta dan Bandung. Lalu, pakaian dikirim ke Nias Selatan.
Lokasi tempat tinggalnya berada di wilayah agak terpencil. Oleh sebab itu, pakaian baru yang dibelinya ini menarik minat masyarakat sekitar. Dia menggelar lapak di Whatsapp, Facebook, dan e-dagang. ”Ini sudah jalan dua minggu. Sudah laku 25 potong,” ujarnya.
Media sosial menyediakan lapak dan calon pembeli tanpa sekat lagi kepada para pedagang daring. Tantangannya adalah bagaimana membuat pembeli terpikat dengan produk yang ditawarkan tanpa bersentuhan langsung.