Kerja Sama Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Perlu Rambu-rambu
Kerja sama berbagi frekuensi dan jaringan dapat bermanfaat bagi layanan telekomunikasi untuk masyarakat. Namun, kerja sama ini juga berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio dapat mendatangkan investasi dan pemanfaatan teknologi telekomunikasi termutakhir. Namun, kerja sama ini berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat karena menjurus pada penguasaan jaringan oleh pengusaha tertentu sehingga membutuhkan rambu-rambu.
Kerja sama itu diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 71 UU sapu jagat itu memuat perubahan Pasal 33 UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi dengan menambahkan ayat 6a yang sebelumnya tidak ada.
Dalam ayat tersebut disebutkan, pemegang perizinan berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi dapat melakukan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan teknologi baru.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan juga Panitia Kerja Rancangan UU Cipta Kerja Badan Legislatif DPR RI, Arteria Dahlan, Selasa (10/11/2020), mengatakan, ayat tersebut memiliki tafsir tunggal, yakni yang dapat melakukan kerja sama hanya pihak yang sudah memegang izin. Kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio itu pun hanya untuk teknologi baru.
”Perubahan aturan tersebut dapat berdampak positif pada industri telekomunikasi nasional. Adanya kerja sama yang berorientasi teknologi itu dapat mendatangkan investasi dan memperluas lapangan kerja,” ujarnya dalam seminar daring ”UU Cipta Kerja dalam Rangka Persaingan Usaha yang Sehat di Sektor Telekomunikasi” yang digelar Masyarakat Anti Monopoli.
Perubahan aturan tersebut dapat berdampak positif pada industri telekomunikasi nasional. Adanya kerja sama yang berorientasi teknologi itu dapat mendatangkan investasi dan memperluas lapangan kerja.
Menurut Arteria, salah satu teknologi baru pada telekomunikasi seluler ialah pemanfaatan jaringan 5G yang membutuhkan investasi. Jaringan ini dapat mendukung transformasi digital Indonesia.
Dengan demikian, perubahan pasal dapat menjawab tuntutan zaman saat ini. Kendati begitu, legislatif menyadari potensi timbulnya perdebatan mengenai kerja sama berbagi spektrum frekuensi dan jaringan (network sharing).
”Pada 2017, terdapat surat dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan kerja sama berbagi spektrum frekuensi berpotensi bertentangan dengan prinsip persaingan usaha sehat. Dalam merumuskan UU Cipta Kerja, kami juga mempertimbangkan isi surat ini,” ujarnya.
Arteria mencontohkan, salah satu risiko kerja sama penggunaan spektrum frekuensi bersama adalah adanya bentuk persengkokolan, seperti hanya satu perusahaan yang memegang perizinan berusaha dan pelaku lainnya ”meminjam”. Kerja sama ini juga berisiko bagi pemain baru.
”Oleh karena itu, prinsip-prinsip persaingan usaha sehat akan dijadikan perhatian dalam pembuatan peraturan pemerintah (PP) sebagai regulasi turunannya,” ujarnya.
Salah satu risiko kerja sama penggunaan spektrum frekuensi bersama adalah adanya bentuk persengkokolan, seperti hanya satu perusahaan yang memegang perizinan berusaha dan pelaku lainnya ”meminjam”.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner KPPU, Guntur S Saragih, menjelaskan, pertimbangan utama KPPU melayangkan surat tersebut pada 2017 adalah spektrum frekuensi merupakan aset strategis. Bagi pelaku usaha telekomunikasi, aset tersebut merupakan faktor daya saing yang membuatnya memiliki posisi tawar di pasar.
Oleh karena itu, rancangan PP harus menyertakan rambu-rambu agar kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio tidak menyalahi prinsip-prinsip persaingan usaha sehat. Rambu-rambu tersebut mesti mempertimbangkan UU No 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Misalnya, tidak boleh ada indikasi pengaturan harga di pasar.
Rancangan PP harus menyertakan rambu-rambu agar kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio tidak menyalahi prinsip-prinsip persaingan usaha sehat.
Namun, Guntur menilai, perubahan pasal tersebut dapat menjadi insentif dalam mendorong perusahaan menerapkan teknologi baru. ”Pastikan teknologi baru itu untuk kepentingan masyarakat, bukan hanya efisiensi pelaku usaha,” ujarnya.
Sementara Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, I Ketut Prihadi Kresna, berpendapat, kerja sama itu akan mengoptimalisasi penggunaan spektrum frekuensi radio bagi layanan jasa telekomunikasi. Dengan demikian, masyarakat di setiap daerah Indonesia berpotensi menerima kualitas layanan yang sama.
Adapun mengenai definisi ”teknologi baru” dalam ayat 6a bisa mengacu pada tanggal pemberlakuan UU Cipta Kerja. ”Teknologi baru” itu menunjuk pada teknologi-teknologi telekomunikasi yang muncul setelah pemberlakuan UU Cipta Kerja.