Pemerintah Gandeng Tekfin untuk Percepat Pemulihan
Pemerintah menganggarkan alokasi belanja yang tinggi untuk kebutuhan percepatan transformasi digital. Khusus pengembangan TI, disediakan anggaran Rp 29,6 triliun untuk mengurangi kesenjangan digital antara kota dan desa.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi finansial atau tekfin dinilai memiliki peran penting dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19. Kolaborasi penyelenggara tekfin, pemerintah, dan perbankan akan ditingkatkan untuk memperluas penyaluran bantuan sosial serta mendorong inklusi dan literasi keuangan masyarakat.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, saat peluncuran Indonesia Fintech Society (IFSoc), di Jakarta, Senin (9/11/2020), mengatakan, pandemi memaksa setiap negara melakukan transformasi digital dengan lebih cepat dan menyeluruh. Industri tekfin yang saat ini tumbuh pesat pun akan dimanfaatkan pemerintah dalam menjalankan sejumlah program pemulihan ekonomi nasional.
Sejauh ini, layanan tekfin dan pembayaran digital sudah diadopsi pemerintah dalam program Kartu Prakerja. Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan penyedia layanan dompet digital (e-wallet), seperti Gopay, Ovo, Dana, dan Link Aja, dalam program yang ditujukan bagi pekerja terdampak pandemi Covid-19 tersebut.
Selain Kartu Prakerja, ada pula Program Keluarga Harapan, Bantuan Presiden Produktif untuk UMKM, dan bantuan subsidi upah yang disalurkan lewat layanan perbankan. Suahasil meyakini, dengan mengadopsi teknologi pembayaran digital dalam penyaluran bantuan sosial, inklusi keuangan masyarakat diyakini bisa lebih cepat meningkat.
Dia mencontohkan, sebelum bergabung dengan program Kartu Prakerja, ada 12 persen peserta yang tidak memiliki rekening bank atau akun dompet digital. Setelah bergabung dalam program, 76 persen peserta kini memiliki akun dompet digital dan 24 persen memiliki rekening bank.
Oleh karena itu, pemerintah akan meningkatkan kolaborasi dengan pelaku industri tekfin untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. ”Pemerintah akan memberikan dukungan kebijakan, regulasi, serta infrastruktur yang diperlukan untuk mendorong transformasi digital perekonomian yang lebih cepat,” kata Suahasil.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk mempercepat transformasi digital. Anggaran itu tersebar di berbagai kementerian/lembaga. Khusus untuk pengembangan teknologi informasi, pemerintah menyediakan anggaran khusus Rp 29,6 triliun untuk meningkatkan kualitas layanan publik serta mengurangi kesenjangan digital antara perkotaan dan perdesaan.
”Kita perlu segera keluar dari kondisi krisis ini, tetapi bukan sekadar bertahan, melainkan mentransformasi perekonomian ke depan menjadi lebih digital. Digitalisasi sekarang adalah keharusan, bukan pilihan lagi,” kata Suahasil.
Menurut Ketua Indonesia Fintech Society Mirza Adityaswara, tekfin dapat menjadi solusi untuk memberi akses produk finansial ke masyarakat, khususnya mereka yang tidak mendapatkan akses ke perbankan (unbanked population). Penggunaan tekfin yang pesat selama pandemi ini bisa membantu mencapai target akses inklusi serta literasi keuangan di masyarakat.
Ia berharap kerja sama dengan pemerintah untuk melibatkan pelaku tekfin dalam program penyaluran perlindungan sosial dapat ditingkatkan ke depan. Hubungan antara sektor tekfin dan perbankan juga diharapkan tidak lagi bersifat kompetisi, tetapi kolaborasi.
”Harapan kami, program peluncuran bantuan dari pemerintah bagi masyarakat di masa pandemi bisa diperluas untuk memanfaatkan ekonomi digital. Bukan hanya Kartu Prakerja, melainkan juga potensi kolaborasi lainnya dengan menggandeng perusahaan tekfin yang sedang meningkat pesat,” kata Mirza.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan, penyaluran bansos dengan menggunakan pembayaran digital diyakini lebih mudah dan lebih luas menjangkau masyarakat. Adaptasi teknologi keuangan dalam program jaring pengaman sosial juga sekaligus dapat memberikan edukasi literasi keuangan.
Mengingat, masih ada ketimpangan antara akses masyarakat terhadap layanan keuangan dan pemahaman literasi keuangan mereka. Survei Nasional Literasi Keuangan menunjukkan, indeks inklusi keuangan pada 2019 adalah 76,19 persen, sementara indeks literasi keuangan 38,03 persen. Kedua indikator itu sama-sama mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2016.
Kendati demikian, kondisi itu menunjukkan masih ada kesenjangan antara literasi keuangan masyarakat dan akses mereka terhadap layanan keuangan. ”Artinya, masyarakat Indonesia semakin banyak yang masuk dalam sistem dan kegiatan keuangan, tetapi tanpa betul-betul memahami keuangan,” kata Nurhaida.
Ia meyakini industri tekfin punya kelebihan untuk menjangkau masyarakat dengan lebih luas dan biaya yang relatif rendah karena memanfaatkan teknologi yang bisa menjangkau jauh hingga ke pelosok Indonesia. Syaratnya, peningkatan infrastruktur telekomunikasi perlu digencarkan di daerah-daerah pelosok.
”Perbankan sangat terbatas untuk menjangkau sampai ke pelosok. Untuk membangun kantor cabang di daerah saja, biayanya sudah tinggi. Untuk meningkatkan jangkauan itu, ke depan tekfin yang akan berperan. Seiring dengan meningkatnya akses layanan keuangan masyarakat, tekfin juga bisa berperan memasukkan program edukasi dan literasi keuangan,” tutur Nurhaida.