Investor Global Makin Pertimbangkan Lingkungan dan Hak Sosial
Indonesia tidak bisa lagi mengesampingkan aspek lingkungan dan perlindungan hak-hak sosial dalam ekonomi. Keduanya menjadi aspek yang dipertimbangkan oleh investor global.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Foto dari udara dengan ”drone” menunjukkan ratusan hektar lahan yang baru ditanami kelapa sawit di kawasan Maredan, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (31/8/2016).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai tidak bisa lagi mengesampingkan aspek lingkungan dan perlindungan hak-hak sosial dalam ekonomi. Kedua hal itu kini menjadi pertimbangan para investor global dalam membuat keputusan investasinya.
Ekonom yang juga menteri keuangan periode 2013-2014, M Chatib Basri, menuturkan, aspek lingkungan dan perlindungan hak-hak sosial dalam perekonomian semakin krusial pascapandemi Covid-19. Hal ini karena orientasi investor global mulai beralih ke pertumbuhan berkelanjutan.
”Hampir semua pemilik dana besar memasukkan isu lingkungan dan perlindungan hak-hak individu dalam keputusan investasinya,” kata Chatib dalam webinar bertema ”Peluang Mendorong Investasi Saat Pandemi”, Senin (9/11/2020).
Investor kini cenderung menghindari pembiayaan proyek-proyek yang dianggap mengganggu atau merusak lingkungan. Oleh karena itu, proyek yang dinilai tidak ramah lingkungan berpotensi semakin sulit mendapatkan pembiayaan. Fakta ini harus menjadi perhatian pemerintah dan dunia usaha.
Menurut Chatib, perubahan bukan hanya dilakukan dari sektor usahanya. Peran pemerintah krusial dalam memberikan proses transisi mendukung ekonomi hijau ini. Sebagai contoh, pemerintah sebaiknya tidak lagi menyubsidi bahan bakar fosil. Alokasi subsidi bisa dialihkan untuk mendukung sektor-sektor energi terbarukan.
”Ketika harga minyak dunia rendah, sudah saatnya pemerintah melepas subsidi dan mengalihkannya ke sektor yang lebih produktif,” kata Chatib.
Bahkan, dalam tataran yang lebih maju, pemerintah dapat memberikan insentif untuk sektor-sektor terbarukan dan mengenakan pajak untuk sektor nonterbarukan. Insentif untuk mobil listrik, misalnya, dapat diberikan agar biaya produksi tidak terlalu tinggi dan harga jualnya terjangkau masyarakat.
Chatib menekankan, Indonesia saat ini dalam masa bertahan, bukan masa pemulihan. Kondisi ekonomi diperkirakan kembali normal paling cepat tahun 2022 dengan asumsi vaksin mulai terdistribusi 2021. Karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menjaga kontraksi tidak semakin dalam.
”Saat ini jangan dulu bicara tentang pertumbuhan, yang penting perekonomian tidak terpuruk. Setelah pandemi bisa teratasi, baru bicara pemulihan, termasuk peningkatan investasi,” kata Chatib
Investasi tidak akan naik tajam selama pandemi belum tertangani. Pandemi Covid-19 menyebabkan produktivitas usaha tidak optimal. Aturan pembatasan kapasitas operasi maksimal 50 persen akan menahan pengusaha untuk berekspansi dan investor asing untuk berinvestasi ke Indonesia.
Mobil listrik
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Hidayat Amir mengatakan, pemerintah mulai merespons berbagai isu lingkungan yang mengemuka dalam pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Salah satunya insentif bagi mobil listrik dan disinsentif bagi mobil beremisi tinggi.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Dirjen Ketenagalistrikan ESDM Rida Mulyana mencoba menukarkan baterai motor listrik saat uji coba stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) di Jakarta, Senin (31/8/2020). Adanya SPBKLU ini diharapkan akan menambah minat masyarakat untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.
Pada 8 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Regulasi ini berisi insentif fiskal dan nonfiskal bagi pengembangan kendaraan listrik.
”Kami sedang menyiapkan skema Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor dengan memasukkan eksternalitas emisi,” kata Hidayat.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) juga merelaksasi ketentuan uang muka kendaraan bermotor listrik dari 5-10 persen menjadi nol persen per 1 Oktober 2020. Relaksasi tersebut dinilai akan memberikan keleluasaan bagi bank dan lembaga pembiayaan dalam membiayai pembelian kendaraan bermotor.
Partner Tax Research & Training Services Danny Darussalam Tax Center Bawono Kristiaji menambahkan, beberapa negara di dunia pada paruh kedua 2020 ini mulai merilis berbagai instrumen pajak yang fokusnya bukan hanya untuk bertahan di masa pandemi, melainkan juga mendorong pertumbuhan berkelanjutan. Salah satunya pajak terkait ekonomi hijau.
Menurut Bawono, pascakrisis keuangan 2008, banyak negara maju menggunakan instrumen fiskal untuk mendorong daya saing. Instrumen fiskal yang digunakan pascakrisis berupa penurunan tarif dan pemberian insentif pajak untuk riset dan pengembangan (R&D). ”Jadi, ada kemungkinan kompetisi pajak pascakrisis dan ini perlu diantisipasi,” kata Bawono.