Tahun ini diwarnai banyak tantangan akibat pandemi Covid-19. Tantangan justru menimbulkan semangat bagi generasi milenial untuk mencari solusinya.
Oleh
Andreas Maryoto
·3 menit baca
Parung Panjang adalah kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tempat itu tumbuh seiring kebutuhan tempat tinggal kaum milenial urban. Saat pandemi Covid-19, sebagian di antaranya membuat solusi karena pembatasan sosial dan akses mereka yang masih terbatas. Maka, beberapa usaha baru bertumbuh. Masa krisis bukan masa suram bagi mereka.
Keberadaan kaum milenial di kantong-kantong permukiman baru menjadi berkah. Ketika masalah muncul, mereka tertantang membuat solusi. Salah satu yang paling banyak adalah usaha makanan dan minuman. Akses yang terbatas membuat mereka tak leluasa bergerak. Kondisi ini membuat mereka membangun usaha dengan menyediakan pasokan makanan dan minuman sendiri. Warga terbantu dengan usaha baru ini karena tak perlu keluar rumah terlalu jauh.
Kreativitas mereka menghadapi masalah sebenarnya bukan hal baru. Generasi milenial sudah terkena setidaknya dua krisis besar, yaitu krisis keuangan 2008 dan krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini. Mereka telah melahirkan berbagai inovasi pada saat krisis 2008.
Kita kembali memandang kaum milenial saat krisis sekarang karena kita ingin melihat upaya mereka di tengah berbagai sikap pesimistis beberapa kelompok masyarakat. Fenomena di Parung Panjang tersebut menjadi salah satu contoh, mereka tidak cengeng menghadapi krisis.
Dalam skala besar, kita juga mengetahui beberapa investor asing memantau dan mencari informasi tentang usaha rintisan baru di Indonesia. Para investor berpandangan, kaum milenial Indonesia pasti memiliki respons yang unik ketika menghadapi masalah sehingga mereka siap mendanai. Apalagi, melihat data jumlah usaha rintisan di Indonesia menempati urutan nomor lima di dunia, para investor yakin ide-ide kreatif pasti akan muncul dari pelaku usaha rintisan di Indonesia pada saat ada masalah.
Dalam kajian yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia (WEF), pembatasan sosial sangat mungkin memunculkan kesempatan bagi anak-anak muda untuk lebih kreatif. Kebosanan akibat pembatasan mendorong mereka menabrak rintangan, mengatasi aturan-aturan berbasis kultur, menggunakan waktu yang tak terbatas, dan lain-lain, hingga mencapai tujuan yang diinginkan. Kemudian, muncul cara-cara cerdas untuk mengatasi masalah.
pembatasan sosial sangat mungkin memunculkan kesempatan bagi anak-anak muda untuk lebih kreatif.
Keberadaan teknologi digital dan akses internet membuat mereka mudah mengatasi rintangan. Mereka akan mencoba dan berusaha dengan keras untuk mengatasi hambatan. Motivasi mereka sangat kuat untuk menemukan cara-cara baru yang membebaskan mereka dari kungkungan pembatasan fisik. Anak-anak muda di berbagai negara mulai menemukan cara-cara untuk mengatasi masalah pembatasan. Kita yakin dengan fenomena ini karena berbagai inovasi muncul di tengah berbagai masalah. WEF menyebutkan, kebosanan dan hambatan mendorong inovasi.
Keyakinan mereka muncul berdasar riset-riset psikologi tentang pembatasan dan kebosanan. Ketika ada pembatasan, orang cenderung mengalibrasi ulang pikiran dan mencari jalan untuk menyelesaikan masalah. Ketika muncul kebosanan, mereka juga membuat respons. Kebosanan memiliki beberapa tingkatan. Respons juga bervariasi, mulai dari langsung membuat respons negatif hingga bertindak menghilangkan atau mengatasi masalah kebosanan.
Pada awalnya, kebosanan akan memunculkan momen malas mencari sesuatu. Sebab, pada saat itu, kita tengah mengistirahatkan pikiran. Namun, kemudian kita merasa membutuhkan stimulasi agar tidak bosan. Kita mulai mencari cara untuk menemukan sesuatu dan berharap sesuatu menghampiri kita. Pada saat mencari, kita menemukan inspirasi. Inspirasi bisa menghasilkan kreativitas. Di tengah proses itu kadang muncul pertanyaan, misalnya, bagaimana kita memproteksi diri, mengapa kita lambat merespons, dan bagaimana kita bisa mencegah hal ini pada masa mendatang. Semua itu menjadi awal dari kemunculan kreativitas untuk menyelesaikan masalah pada saat ini dan setelah pandemi.
Inspirasi bisa menghasilkan kreativitas.
Oleh karena itu, sebaiknya kita lebih memaknai tahun dengan pandemi dan krisis ini sebagai tahun keberuntungan. Kita beruntung karena kita memiliki kaum milenial dalam jumlah besar saat kita tengah menghadapi masalah sehingga mereka menjadi pendorong dan pembuat solusi. Kita juga beruntung karena pandemi menjadi pemicu untuk menemukan cara-cara kreatif. Saat pandemi usai, mentalitas bangsa bakal makin tergembleng karena telah mengalami fase berat. Upaya-upaya yang sudah dilakukan akan menjadi jejak baik di kemudian hari. Banyak suku bangsa berkeyakinan, ada berkah di balik musibah. (ANDREAS MARYOTO)