Standardisasi Produk Furnitur Pacu Daya Saing Pelaku Usaha
Perubahan preferensi dan tren pasar serta standardisasi yang berlaku di dalam ataupun luar negeri mendorong pelaku usaha memproduksi produk furnitur yang makin berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan preferensi dan tren pasar serta standardisasi yang berlaku di dalam ataupun luar negeri mendorong pelaku usaha memproduksi furnitur yang makin berkualitas dan berdaya saing tinggi. Dampaknya, kinerja perusahaan akan semakin baik.
PT Alba Unggul Metal, salah satu produsen furnitur berbahan dasar metal dan kayu di kawasan Tangerang, Banten, misalnya, terus berinovasi untuk mengikuti selera dan kebutuhan pasar. Dalam dekade terakhir, produsen yang umumnya membuat furnitur perkantoran ini menciptakan produk berteknologi, seperti pintu besi hingga pintu tahan api.
Dalam webinar, Senin (9/11/2020), salah satu perwakilan pengusaha, Yosrizal, mengatakan, mereka tidak hanya berhenti di inovasi, tetapi juga memastikan produk mereka memenuhi standar yang berlaku. Pada 2009, mereka mendapatkan sertifikat ISO 90001-2008, disusul Standar Nasional Indonesia (SNI).
”Setelah menggunakan SNI, produk kami makin diterima pasar dan berkembang. Pada 2012, kami mampu menambah investasi mesin produksi baru, seperti cutting laser dan beberapa mesin lainnya dengan tujuan makin meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi,” tuturnya.
Perusahaan itu pun tidak hanya mampu memenuhi permintaan pasar lokal, tetapi juga mampu menarik pasar ekspor, seperti Myanmar, Kuawait, India, Singapura, Jepang, dan Uni Emirat Arab.
Komite Teknis Standar Nasional Indonesia (SNI) 97-02 Furnitur, Yakub Firdaus, pada kesempatan sama menjelaskan, standardisasi diperlukan karena pasar semakin kritis terhadap banyak aspek.
”Pasar makin kritis menuntut persyaratan produk berstandar mutu tinggi, dengan memastikan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup (K3L). Standar itu diterapkan pada produk lokal dan impor,” katanya.
Berdasarkan catatannya, pada 2018, sebanyak 43 persen produk furnitur diekspor ke Amerika Serikat (AS), Jepang (9 persen), Belanda (5 persen), dan lainnya. Kebanyakan negara tujuan ekspor furnitur telah memiliki aturan yang melarang penggunaan sumber daya alam ilegal dan tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) kini mengoperasikan skema filtrasi untuk pengelolaan dan produksi lestari serta sistem verifikasi legalitas kayu. Ini memastikan pengelolaan kayu dari hutan dapat ditelusuri dan legal sesuai regulasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Standardisasi, menurut Yakub, juga penting untuk membatasi produk furnitur impor. Dalam hal ini, produk Indonesia banyak bersaing dengan produk asal China, Thailand, Jepang, dan Jerman. Sebagian SNI yang bersifat wajib diterapkan untuk produk impor, tetapi secara umum SNI bagi produk furnitur lokal masih bersifat sukarela (voluntary).
”SNI saat ini masih voluntary dan berlaku di seluruh Indonesia. Namun, SNI penting agar kita bisa mendongkrak national branding dengan menyesuaikan standar perkembangan teknologi dan mutu. Bagi produsen, SNI ini juga jadi alat promosi, meningkatkan daya saing dan citra produk,” tuturnya.
BSB melaporkan, hingga saat ini telah cukup banyak kode SNI yang dihasilkan, khususnya produk kayu, antara lain 59 SNI mebel dan 93 SNI batang kayu dan gergajian. Lalu, 10 SNI kayu lapis, 30 SNI panel kayu, 15 SNI proses teknologi kayu, dan 13 SNI semimanufaktur kayu.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Rufi’ie menambahkan, sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang diatur untuk penetapan SNI berdampak pada perkembangan ekspor produk kayu. Jika nilai ekspor produk kayu pada 2013 hanya 6,1 miliar dollar AS, pada 2019 naik menjadi 11,6 miliar dollar AS.
Adapun menurut Kementerian Perindustrian, nilai ekspor industri furnitur pada 2019 sebesar 1,95 miliar dollar AS atau naik 14,6 persen dari tahun 2018. Industri furnitur termasuk dalam lima industri dengan nilai pertumbuhan terbesar pada tahun 2019, yaitu sebesar 8,35 persen.
Kendati penting, pemenuhan standardisasi oleh produsen furnitur lokal, khususnya yang berskala kecil dan menengah, dinilai banyak kurang dipahami atau sulit diikuti. Hal itu dikatakan tenaga ahli Free Trade Agreement (FTA) Center, M Adi Prasetiawan, pada kesempatan sama.
”Untuk mencapai standar mutu negara tujuan ekspor, kita harus mencukupi standar nasional kita. Namun, kadang kala ini dilupakan produsen kita, terutama bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Alasannya, antara lain, faktor teknis tenaga mereka, lalu biaya yang akan dikeluarkan,” katanya.