Kinerja sektor transportasi pada triwulan III-2020 mulai membaik meski masih negatif. Di sisi lain, tingkat okupansi hotel masih bertumpu pada destinasi wisata.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan sektor transportasi ke depan masih bergantung pada geliat sektor perdagangan, konstruksi, industri, dan pariwisata. Pertumbuhannya pada triwulan III-2020 ini juga turut ditopang pelonggaran pembatasan sosial berskala besar dan libur panjang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan-III 2020 minus 3,49 persen secara tahunan. Kondisi ini lebih baik dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 yang minus 5,32 persen. Dua kali pertumbuhan ekonomi secara triwulanan yang negatif ini membuat Indonesia masuk jurang resesi.
Sektor transportasi dan pergudangan pada triwulan III-2020 secara tahunan memang masih terkontraksi kendati tidak sedalam triwulan II-2020. Tercatat, pada triwulan III-2020 pertumbuhan sektor ini minus 16,70 persen dan pada triwulan II-2020 minus 30,80 persen. Secara triwulanan, sektor tersebut tumbuh tertinggi dibandingkan dengan delapan komponen pertumbuhan menurut lapangan usaha, yakni sebesar 24,28 persen, dari triwulan II-2020.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi, Jumat (6/11/2020), menuturkan, pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan pada triwulan III-2020 itu terutama didorong pertumbuhan sektor konstruksi, perdagangan, dan industri. Sektor konstruksi tumbuh antara lain karena proyek infrastruktur yang terus berjalan.
"Walaupun dilakukan pemfokusan kembali anggaran dan penundaan sementara waktu, tidak ada pembatalan proyek infrastruktur,” ujarnya.
Pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan pada triwulan III-2020 itu terutama didorong pertumbuhan sektor konstruksi, perdagangan, dan industri.
Terkait perdagangan, selain pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah wilayah, pertumbuhan sektor ini juga disebabkan peningkatan volume e-dagang. Beberapa sektor di industri pengolahan pun bertumbuh, seperti industri makanan dan minuman.
”Ketiga sektor itu membutuhkan dukungan sektor logistik dalam bentuk lapangan usaha transportasi dan pergudangan,” ujar Setijadi.
Data BPS menunjukkan, subsektor pergudangan dan jasa penunjang angkutan, serta pos dan kurir pada triwulan III-2020 tumbuh minus 17,57 persen secara tahunan. Pertumbuhan ini membaik dibandingkan dengan triwulan II-2020 yang minus 38,53 persen. Adapun secara triwulanan, subsektor tersebut tumbuh 41,53 persen pada triwulan III-2020 ketimbang triwulan sebelumnya.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang, mengatakan, pada triwulan II-2020 pertumbuhan sektor transportasi memang anjlok cukup dalam karena PSBB. Belakangan pembatasan itu mulai dilonggarkan.
”Saat ini dan ke depan, pertumbuhan sektor transportasi masih akan tergantung pada geliat berbagai sektor, terutama aktivitas komersial dan pariwisata,” ujarnya.
Libur panjang membantu sektor transportasi karena di periode tersebut lebih banyak pergerakan dibanding hari-hari biasa, termasuk untuk berwisata. Di sisi lain, pada hari-hari biasa mobilitas orang saat ini belum pulih seperti sebelum pandemi.
Terkait hal itu, lanjut Deddy, dibutuhkan berbagai upaya yang sifatnya holistik untuk menjaga pertumbuhan di sektor transportasi. Misalnya, melalui skema pemulihan ekonomi nasional, pemerintah dapat menyubsidi hotel-hotel sehingga nantinya total biaya perjalanan wisata bagi masyarakat pun lebih murah.
”Tarif hotel yang lebih murah akan ikut menggairahkan bisnis transportasi massal udara, darat, laut, dan perkeretaapian,” katanya.
Pada triwulan III-2020, okupansi perhotelan juga mulai membaik. Secara triwulanan, sektor akomodasi dan makan-minum pada triwulan III-2020 tumbuh 14,79 persen. Sebelumnya, sektor tersebut terkontraksi atau tumbuh minus 22,31 persen pada triwulan II-2020. Namun, secara tahunan, sektor akomodasi dan makan-minum baik pada triwulan II-2020 ataupun triwulan III-2020 masih tumbuh negatif, masing-masing minus 22,02 persen dan minus 11,86 persen.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani, Kamis, berpendapat, peningkatan okupansi hotel pada masa pandemi Covid-19, terutama terjadi saat libur panjang. Tingkat okupansi hotel di beberapa daerah destinasi wisata memang meningkat. Namun, hotel-hotel di perkotaan tingkat okupansinya masih drop.
Tingkat okupansi hotel di beberapa daerah destinasi wisata memang meningkat. Namun, hotel-hotel di perkotaan tingkat okupansinya masih drop.
Di Jakarta, misalnya, pada periode Juli-Agustus 2020, okupansi hotelnya sekitar 35 persen. Sebelum pelonggaran PSBB, okupansinya di bawah 10 persen. Kemudian ketika ada PSBB tahap kedua, okupansinya turun lagi.
Hariyadi memperkirakan, pada libur panjang Desember 2020, termasuk pengganti libur Idul Fitri tahun ini, hotel-hotel di Jakarta pun akan sulit mencapai okupansi di atas 50 persen.