Perjanjian pisah harta dinilai masih tabu dilakukan karena mengarah pada hal negatif, perceraian misalnya. Namun, perjanjian perkawinan sebenarnya dapat membantu menjaga harta keluarga, khususnya bagi pengusaha.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perjanjian pisah harta bagi keluarga dapat dianggap tabu karena memisahkan harta kekayaan yang diperoleh selama menikah. Meski begitu, apabila suami dan/atau istri merupakan pelaku usaha, perjanjian pisah harta sebenarnya membantu menjaga harta keluarga.
Harta benda dalam perkawinan diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 35 dikatakan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Adapun dalam Pasal 29 UU Perkawinan juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-XIII/2015 dalam ayat 4 dijelaskan, selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya tidak dapat diubah atau dicabut kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Notaris dan pejabat pembuat akta tanah, Herlina Latief, menyampaikan, perjanjian perkawinan merupakan perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh UU. Perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu sebelum atau selama dalam ikatan perkawinan.
”Kalau kita bicara akibat hukumnya, apabila tidak ada perjanjian perkawinan, semua harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami istri. Sementara jika ada perjanjian perkawinan, harta yang dibawa ke dalam perkawinan atau diperoleh selama perkawinan tetap menjadi hak atau milik dari masing-masing pihak yang memperolehnya,” kata Herlina, Jumat (6/11/2020).
Paparan dikemukakan dalam webinar ”Apakah Pelaku Usaha Perlu Membuat Perjanjian Pisah Harta?”. Webinar yang diadakan oleh Smesco S-parc juga menghadirkan praktisi hukum, Agung Darmawan, sebagai narasumber.
Lebih lanjut Herlina menjelaskan, perjanjian perkawinan perlu dibuat apabila warga negara Indonesia melangsungkan pernikahan dengan warga negara asing. Tujuannya agar suami atau istri yang berkewarganegaraan Indonesia dapat tetap memiliki tanah di Indonesia dengan status hak milik atau hak guna bangunan.
Selain itu, apabila calon suami atau istri merupakan pelaku usaha, misalnya suami pengusaha, harta istri dan anak-anak akan tetap aman karena terpisah dari harta kekayaan suaminya.
”Masyarakat di Indonesia itu masih tabu untuk membuat perjanjian pisah harta (perjanjian perkawinan), ada kesan negatif, misalnya mengarah ke perceraian. Padahal, tujuan dari segi bisnis profesional tidaklah demikian,” kata Herlina.
Sebagai contoh, suami memiliki utang dan tidak mampu membayar sehingga aset rumah atas nama istri harus ditarik. Apabila tidak ada perjanjian perkawinan, rumah akan disita. Sementara jika ada perjanjian perkawinan, rumah tersebut tidak akan disita sehingga aman bagi keluarga mereka.
Pertahankan usaha
Agung Darmawan menjelaskan suatu studi kasus, seorang pengusaha mebel, Joni, memiliki seorang istri, Jeni, dan tiga anak, yaitu Jani (17), Jono (15), dan Jini (10). Melihat usahanya yang semakin maju, Joni berencana mendirikan perseroan terbatas (PT ) bersama istrinya.
Dalam kasus ini, perjanjian perkawinan bermanfaat. Sebab, kalau tidak ada, Joni dan Jeni yang merupakan suami istri tidak dapat mendirikan PT dengan aset bersatu. Terlebih, anak-anak mereka masih di bawah umur.
Joni kemudian mendirikan PT Usaha Maju Mandiri bersama Jeni. Untuk mengembangkan usahanya, ia ingin mengajukan kredit modal kerja dari bank ABC dengan syarat dari bank yaitu jaminan pribadi dari Joni sebagai direktur PT Usaha Maju Mandiri.
Perjanjian perkawinan dalam kasus ini juga bermanfaat. Sebab, kalau diberikan jaminan personal, cukup aset pribadi Joni yang dijadikan jaminan. Dengan begitu, aset keluarga menjadi aman karena terpisah.
”Jadi, kalau misalnya yang terburuk PT Usaha Maju Mandiri tidak bisa membayar utang kepada bank ABC, pihak bank kemudian akan mengeksekusi jaminan pribadi yang diberikan Pak Joni. Namun, aset Bu Jeni tidak kena (disita) karena adanya perjanjian pisah harta,” ujar Agung.
Semakin berkembang, ketiga anak Joni kemudian dilibatkan dalam usaha mebel setelah 10 tahun. PT Usaha Maju Mandiri mulai menempati suatu bidang tanah dan bangunan sendiri yang dibeli oleh Joni dengan menggunakan nama Jani.
Pada saat Jani akan menikah, Joni khawatir kalau sampai hal terburuk terjadi, misalnya Jani meninggal dunia, berarti tanah dan bangunan tersebut menjadi milik suami dari Jani. Ketakutan terjadi apabila suami Jani menggunakan tanah dan bangunan tersebut untuk keperluan lain dan tidak mengizinkannya untuk digunakan oleh PT Usaha Maju Mandiri yang telah dirintis Joni dari nol.
Untuk kasus ini, kata Agung, walaupun ada perjanjian pisah harta, tetapi ketika pasangan meninggal dunia, pasangan yang masih hidup langsung menjadi ahli waris. Salah satu solusinya, Jani dapat membuat surat wasiat bahwa tanah dan bangunan tersebut diwasiatkan kepada Joni, ayahnya.
Selain itu, apabila yang tertarik dengan usaha mebel Joni hanyalah Jono, sementara kedua anak lainnya tidak tertarik. Dalam kondisi ini, ada kemungkinan Jani dan Jini yang juga merupakan pemegang saham akan menjual saham-sahamnya kepada pihak lain.
”Perjanjian pisah harta dalam kondisi ini juga tidak menolong. Solusinya dapat dibuatkan perjanjian pengelolaan harta warisan, misalnya saham hanya boleh dijual kepada pemegang saham atau keluarga sendiri sehingga usaha PT Usaha Maju Mandiri dapat tetap berjalan sekalipun Pak Joni dan Bu Jeni meninggal dunia,” kata Agung.