Industri Keuangan Jaga Fungsi Intermediasi Kala Resesi
Di sisa akhir tahun ini, bank-bank besar mulai memutar strategi untuk menyalurkan pembiayaan produktif sebagai penopang geliat sektor riil.
Indonesia telah masuk jurang resesi. Ekonomi nasional secara dua triwulanan berturut-turut tumbuh negatif, yaitu minus 5,32 persen pada triwulan II-2020 dan minus 3,49 persen pada triwulan III-2020.
Perbaikan ekonomi juga ditopang komponen pengeluaran terutama belanja pemerintah yang tumbuh meroket 9,76 persen. Komponen lain masih tumbuh negatif kendati relatif lebih baik, seperti konsumsi rumah tangga tumbuh minus 4,04 persen dan investasi minus 6,48 persen. Adapun ekspor dan impor terkontraksi cukup dalam masing-masing tumbuh negatif 10,82 persen dan 21,86 persen.
Industri jasa keuangan juga dituntut untuk terus menggeliatkan ekonomi. Salah satunya adalah perbankan yang memiliki peran intermediasi dalam penyaluran kredit. Apalagi, pada tahun ini, suntikan dana dari pemerintah kepada sektor ini cukup besar untuk menjalankan visi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Komite Stabilitas Sistem Keuangan mencatat, Bank Himbara menerima penempatan dana Rp 47,5 triliun yang mendorong kredit sebesar Rp 166,39 triliun. Bank Pembangunan Daerah telah menerima penempatan dana sebesar Rp 14 triliun yang mendorong penyaluran kredit sebesar Rp 17,39 triliun dan Bank Syariah mendapatkan penempatan dana sebesar Rp 3 triliun yang disalurkan dalam bentuk kredit sebesar Rp 1,7 triliun.
Memang, sepanjang tahun 2020 berjalan, stabilitas sektor keuangan masih tetap terjaga, ditandai dengan keamanan tingkat likuiditas. Apalagi pemerintah telah menempatkan dana ke perbankan tersebut. Namun, gairah sektor keuangan dalam menyalurkan pembiayaan tetap bergantung pada geliat sektor riil.
Di tengah minimnya aktivitas ekonomi dan permintaan kredit dari sektor riil sepanjang tahun ini akibat pandemi Covid-19, industri perbankan tetap harus putar akal agar fungsi intermediasi dapat terus berjalan.
Dari sisi pertumbuhan likuiditas, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun perbankan pada September 2020 tumbuh 12,88 persen apabila dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Padahal, pertumbuhan penyaluran kredit tahunan pada September 2020 hanya mencapai 0,12 persen.
Kondisi pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit telah mendorong likuiditas perbankan semakin longgar dengan rasio alat likuid atau non-core deposit sebesar 154,01 persen per 21 Oktober 2020. Ini jauh di atas ambang batas sebesar 50 persen.
Di sisa akhir tahun ini, bank-bank besar mulai mengarahkan fokus untuk menyalurkan kredit sindikasi sebagai penopang geliat sektor riil. Adapun bank di daerah mulai berbondong-bondong menggenjot penyaluran kredit ke sektor produktif.
Kepala Divisi Sindikasi dan Solusi Korporasi PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Rommel Sitompul mengatakan, kesepakatan sindikasi BNI sepanjang 10 bulan pertama pada 2020 hanya sekitar 63 persen dari jumlah sindikasi pada periode yang sama tahun lalu.
”Pandemi Covid-19 telah menekan banyak sektor ekonomi sehingga secara langsung juga berdampak pada pasar sindikasi di sepanjang 2020 ini,” ujarnya, Kamis (5/11/2020).
Pandemi Covid-19 telah menekan banyak sektor ekonomi sehingga secara langsung juga berdampak pada pasar sindikasi di sepanjang 2020 ini. (Rommel Sitompul)
Baca juga : Jaga Ekonomi, Atasi Covid-19 Lebih Optimal
Dalam dua bulan terakhir pada tahun 2020, BNI masih melihat sejumlah antrean kredit sindikasi yang nilainya cukup signifikan. Meski belum dapat mengungkapkan besaran nilainya, Rommel menyampaikan bahwa potensi kesepakatan tersebut berasal dari sektor manufaktur dan infrastruktur.
Hingga September, BNI mengantongi pendapatan jasa (fee based income) sebesar Rp 263 miliar dari penyaluran kredit sindikasi, turun 19 persen dibandingkan dengan periode September 2019. Namun, Rommel yakin sampai akhir tahun tingkat kontraksi akan melandai.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Keuangan PT Bank Central Asia Tbk Vera Eve Lim mengatakan, hingga akhir tahun ini BCA akan terus berupaya meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan kredit sindikasi bersama dengan bank atau lembaga keuangan lainnya.
Komitmen ini, lanjutnya, dilakukan untuk berkontribusi dalam rangka menggerakkan roda perekonomian nasional. ”Kami mencermati bahwa kredit sindikasi merupakan sarana memberikan pinjaman kepada nasabah dalam jumlah besar dan butuh tenor panjang,” kata Vera.
Per September 2020, oustanding kredit sindikasi BCA mencapai Rp 42 triliun yang disalurkan ke beberapa sektor, di antaranya infrastruktur, pembangkit energi dan tenaga listrik, prasarana umum, transportasi dan logistik, properti, dan konstruksi.
Sementara itu, kelompok Bank Pembangunan Daerah berupaya meningkatkan kredit produktif untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Berdasarkan data OJK, BPD menjadi juara dalam penyaluran kredit di antara kelompok bank hingga Agustus 2020, yakni 6,86 persen secara tahunan.
Derasnya penyaluran kredit didorong segmen konsumtif. Porsi kredit produktif BPD pun turun dari 30,64 persen per Agustus 2019 menjadi 29,78 persen per Agustus 2020. Hingga Agustus 2020, kredit produktif tercatat tumbuh 3,86 persen secara tahunan di saat kredit konsumsi tumbuh 8,18 persen secara tahunan.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (Bank Sumut) Syahdan Ridwan Siregar mengatakan, dampak pandemi membuat penyaluran kredit produktif sampai dengan September 2020 terkoreksi.
Namun, hingga akhir tahun ini, lanjut Syahdan, Bank Sumut tetap akan mendorong penyaluran kredit produktif. Terlebih Bank Sumut merupakan salah satu BPD yang ditunjuk sebagai penyalur dana PEN. ”Target penyaluran sudah ada. Namun, karena sempat ada libur panjang, penyaluran jadi agak terhambat,” katanya.
Realisasi penyaluran dana program PEN Bank Sumut hingga 9 Oktober 2020 sebesar Rp 282 miliar. Jumlah ini masih jauh dari target sebesar Rp 2 triliun atau dua kali dari penempatan dana pemerintah sebesar Rp 1 triliun.
Baca juga : Peran Bank BUMN Saat Resesi
Alternatif pembiayaan
Selain perbankan, pasar modal di tengah pandemi tetap menjalankan fungsi sebagai penyedia sumber pendanaan alternatif bagi sektor riil. Otoritas Jasa Keuangan mencatat, total penawaran umum di pasar modal mencapai Rp 93,39 triliun hingga 26 Oktober 2020.
Dari total tersebut, sekitar Rp 44,35 triliun berasal dari penawaran umum berkelanjutan (PUB) efek bersifat utang atau sukuk (EBUS) tahap II. Kemudian, sekitar Rp 27,9 triliun berasal dari PUB EBUS tahap I. Selanjutnya, penawaran umum yang berasal dari EBUS mencapai Rp 2,57 triliun.
Sisanya, Rp 14,05 triliun, berasal dari penawaran umum terbatas dan Rp 4,51 triliun dari penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) saham.
Baca juga : Minat Perusahaan Terbitkan Saham Perdana Tidak Surut
Penawaran umum dari IPO berasal dari 45 emiten baru. Penawaran umum ini paling banyak dilakukan oleh sektor keuangan sebanyak 47,42 persen. Adapun emisi yang diperoleh dari penawaran umum paling banyak digunakan untuk modal kerja sebesar 57,35 persen.
Apabila dibandingkan dengan perolehan penawaran umum pada 2019, nilai penawaran umum baru mencapai 55,97 persen dari total penawaran umum pada 2019 yang mencapai Rp 166,9 triliun. Begitu juga dengan jumlah penawaran umum yang baru mencapai 78,77 persen dari keseluruhan tahun 2019.
Meski dari sisi nilai emisi mencatatkan penurunan, menurut data Bloomberg, pasar modal Indonesia, yakni Bursa Efek Indonesia (BEI), menjadi bursa di Asia Tenggara yang paling banyak melakukan IPO. Jumlah IPO di Indonesia tahun ini jauh berada di atas Malaysia (10), Thailand (7), dan Singapura (7).