Angkatan Kerja Beradaptasi dengan Belajar Keahlian Baru
Masyarakat yang masuk kategori angkatan kerja terus mencoba beradaptasi dengan situasi dan lapangan pekerjaan yang terdisrupsi pandemi Covid-19. Kemauan untuk belajar hal baru menjadi kunci untuk bertahan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat yang masuk kategori angkatan kerja terus mencoba beradaptasi dengan situasi dan lapangan pekerjaan yang terdisrupsi pandemi Covid-19. Kemauan untuk belajar hal baru dan keluar dari zona nyaman menjadi kunci untuk bertahan dalam perubahan yang belum tentu sementara.
Setelah delapan bulan melalui pandemi, Fadilah (25), karyawan human resources (HR) di salah satu perusahaan media, telah belajar menyesuaikan diri dengan perubahan aturan dan kebutuhan kerja. Selain terbiasa bekerja dari rumah, pandemi memberikannya tuntutan pekerjaan baru.
Dalam hal membuat program pelatihan karyawan, misalnya, pertemuan luar jaringan (offline) masih dihindari untuk mencegah penyebaran Covid-19. Saluran virtual pun diandalkan, bahkan menurut dia direncanakan akan menjadi program tetap karena bisa mengundang lebih banyak karyawan yang punya fleksibilitas tinggi.
Ia dan timnya kini bisa mengadakan satu hingga dua pelatihan seminggu sekali. ”Untuk mengadakan program tersebut, saya dan rekan harus bisa menguasai teknologi konferensi video walaupun tetap dibantu tim (karyawan) IT. Bahkan, kami juga mengerjakan sendiri desain grafis dan pembuatan konten acara untuk disebarkan ke karyawan,” katanya, Jumat (6/11/2020).
Tambahan pekerjaan tersebut tentu saja menambah tanggung jawab mereka. Namun, Fadilah mengaku bersyukur karena dapat menambah keahlian baru untuk menghadirkan inovasi dalam pekerjaannya.
Radiangga (20), yang sempat dirumahkan oleh manajemen restoran tempatnya bekerja di awal pandemi, kini juga telah mencoba beradaptasi dengan pekerjaan barunya sebagai seorang housekeeping (tata graha) di sebuah hunian co-living. Pekerjaan itu menjamin pendapatan Rp 2,2 juta per bulan dan mes gratis untuk ditinggali.
Sebelum pindah ke pekerjaan baru, warga Jakarta yang hidup sendiri itu pernah mencari bantuan dari pemerintah dengan mendaftar program prakerja pada akhir April 2020. Uang yang ia dapatkan dari program tersebut sempat membantunya bertahan walau harus tinggal di Gelanggang Olahraga (GOR) Tabah Abang karena tidak bisa membayar sewa indekos.
”Saya bersyukur masih dapat pekerjaan walaupun bukan di bidang yang saya inginkan. Belajar dari pengalaman, sekarang harus benar-benar pintar memanajemen uang; kalau bisa tambah keahlian supaya bisa dapat pekerjaan yang lebih baik,” katanya.
Donna (35), manajer di salah satu hotel di Bali, juga telah belajar untuk tangguh setelah mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK). Agar dapat menghidupi diri, beberapa bulan terakhir, ia mencoba beragam usaha yang dapat menghasilkan uang, dari berjualan kado Lebaran hingga daster.
”Dari pengalaman ini, saya sadar bahwa membuka usaha jadi penopang saya untuk bisa bertahan. Menjadi pekerja informal memang enggak buruk, tetapi bagi saya, yang sudah belasan tahun menjadi karyawan, migrasi pekerjaan ini butuh proses,” ujarnya.
Mengetahui pandemi Covid-19 masih belum akan berakhir, Donna pun memutuskan untuk mematangkan keahlian berwirausaha. Berbagai upaya ia lakukan, mulai dari mengikuti kelas daring hingga berkolaborasi dengan wirausaha yang lebih matang.
Pandemi telah menimbulkan efek yang luar biasa kepada banyak pekerja di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2020, yang dirilis Kamis (5/11/2020), menunjukkan, porsi jumlah pekerja formal berkurang dari 44,12 persen pada Agustus 2019 menjadi 39,53 persen pada Agustus 2020.
Sebaliknya, porsi pekerja informal melonjak dari 55,88 persen menjadi 60,47 persen atau 77,68 juta orang pada kurun yang sama. Jumlah itu dapat dihitung dari total 128,45 juta penduduk yang bekerja sampai periode sama. Adapun angkatan kerja yang menganggur sampai Agustus 2020 naik menjadi 9,77 juta orang dari 7,10 juta orang di 2019.
Sebagai catatan, pekerja formal adalah para buruh, pegawai, dan karyawan, serta masyarakat yang berusaha dengan dibantu buruh tetap. Sementara pekerja informal adalah mereka yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas, atau pekerja yang tidak dibayar karena bekerja dengan keluarga sendiri.
Data Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga menunjukkan, selama paruh pertama tahun 2020, jutaan pekerja di seluruh dunia menghadapi ketidakpastian pekerjaan yang signifikan. Angka pengangguran riil melonjak hingga rata-rata 6,6 persen, dengan perkiraan kehilangan jam kerja setara dengan 495 juta pekerjaan pada triwulan II-2020.
Direktur Eksekutif Center for Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, dalam jangka menengah dan panjang, struktur ketenagakerjaan yang berat di sektor informal ini harus diubah.
”Solusi yang dapat ditempuh adalah menciptakan sebanyak-banyaknya lapangan kerja baru untuk menyerap kembali pekerja informal itu ke sektor formal,” katanya (Kompas, 6/11/2020).
World Economic Forum (WEF) dalam laporan The Future of Jobs Report 2020, yang dipublikasikan Oktober, menyebut disrupsi ketenagakerjaan yang antara lain dipengaruhi pandemi mendorong kebutuhan keterampilan baru di masa depan.
Pandemi Covid-19 disebut tidak hanya mempercepat digitalisasi (84 persen), tetapi juga pekerjaan jarak jauh (83 persen) dan otomatisasi (50 persen). Tren tersebut diperkirakan akan menambah 97 juta pekerjaan baru di 2025. Jumlah tersebut akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan yang hilang karena pembagian kerja antara manusia dan mesin.
”Keterampilan yang paling banyak diminta di masa depan mencakup keahlian bekerja dengan banyak orang, keterampilan pemecahan masalah dan manajemen diri, toleransi stres dan fleksibilitas,” tulis WEF.
Peningkatan keterampilan manajemen diri juga didorong keharusan pekerja beradaptasi dengan cara kerja baru yang mengandalkan digital. Manajemen produk dan pemasaran digital adalah segelintir contoh profesi baru yang membutuhkan keterampilan khusus.
Laporan itu menyebut sebanyak 66 persen pengusaha percaya mereka akan mendapatkan laba atas investasi dari melatih karyawan dalam satu tahun. Sementara data dari lima tahun terakhir menunjukkan bahwa pekerja sering kali sebenarnya tidak membutuhkan keahlian yang sempurna untuk pindah ke jabatan baru.
Sementara itu, sekitar 40 persen pemberi kerja mengakui keterampilan pekerja perlu diperbarui untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja di masa depan. Di sisi lain, pengusaha menghadapi tantangan ini sendiri karena hanya 21 persen yang dapat memanfaatkan dana pemerintah untuk memberikan program pelatihan.