Jaminan kesehatan dan hari tua masih jauh dari jangkauan sebagian pelaku UMKM dan pekerja informal. Mereka masih disibukkan mencari pendapatan guna mencukupi hidup dari hari ke hari.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Suprapto (64), penjual bakso keliling, saat melayani pembeli di Jalan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (5/11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran untuk menyiapkan kehidupan hari tua belum sepenuhnya disadari oleh para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah serta pekerja informal. Perlindungan mereka terhadap risiko kecelakaan kerja dan kematian juga minim.
Meski sudah berusia 64 tahun, Suprapto masih menarik gerobak baksonya setiap hari mulai pukul 10.00 hingga pukul 18.00. Seperti terlihat pada Kamis (5/11/2020) siang di Jalan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ia harus terus bekerja karena tidak memiliki tabungan untuk menikmati hari tuanya.
”Saya enggak ada tabungan sama sekali. Kalau enggak kerja, ya enggak bisa makan,” katanya saat ditemui.
Pria asal Cilacap, Jawa Tengah, ini sudah 25 tahun berjualan bakso keliling. Dengan pendapatan rata-rata Rp 100.000 per hari, Suprapto mengaku tidak sanggup menyisihkan pendapatan sebagai tabungan hari tua.
”Enggak ada yang bisa disisihkan untuk tabungan. Buat makan saja sudah susah. Belum lagi harus mengirim uang ke keluarga di rumah,” ujarnya.
Saya enggak ada tabungan sama sekali. Kalau enggak kerja, ya enggak bisa makan.
Selain itu, Suprapto juga mengaku tidak memiliki perlindungan kesehatan. Alhasil, jika sakit, ia enggan berobat ke puskesmas, klinik, apalagi rumah sakit. Sebab, ia khawatir tidak bisa membayar biaya pengobatan. Biasanya ia hanya membeli obat di apotek.
Hingga kini, Suprapto belum terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, baik dari kelompok Bukan Penerima Upah (BPU) maupun Penerima Bantuan Iuran (PBI). ”Saya juga enggak pernah didata,” katanya.
Sementara Sunaryo (58), penjual kopi keliling, mengaku sudah mendaftar program JKN-KIS sejak 2015. Kebetulan, saat itu ia hendak menjalani operasi prostat. Seusai menjalani operasi tersebut, Sunaryo tidak pernah lagi membayar biaya iuran kepesertaan JKN-KIS.
”Memang sudah sakit lama. Pas mau operasi baru didaftarkan (JKN-KIS) sama anak,” katanya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Sunaryo (58), penjual kopi keliling, saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/11/2020).
Sama halnya dengan Suprapto, Sunaryo juga mengaku tidak memiliki tabungan untuk hari tua. Selama masih sehat, ia bertekad untuk terus bekerja. Apabila fisiknya tidak sanggup lagi, Sunaryo mengaku akan bertumpu pada dua anak perempuannya.
Hal yang sama berlaku pada Isman Wahyudi (40), pengemudi ojek daring asal Rawamangun, Jakarta Timur. Ia bukan peserta program JKN-KIS. Isman juga tidak mengetahui adanya program jaminan sosial yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Dengan begitu, boleh dikatakan ia tidak memiliki pelindung apa pun.
Padahal, pekerjaan Wahyudi terbilang rentan mengalami kecelakaan kerja lantaran setiap hari ia harus berkendara di jalan raya. Risiko itu bukannya tidak diketahuinya. Ia bahkan mengakui ancaman kematian dalam kecelakaan kerja sangat dekat dengannya.
”Berkali-kali saya lihat pengendara ojek daring lain kecelakaan, bahkan sampai meninggal. Oleh aplikator, mereka hanya diberi fasilitas mobil ambulans. Tidak ada santunan juga,” ujarnya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Isman Wahyudi (40), pengemudi ojek daring asal Rawamangun, Jakarta Timur, saat ditemui, Kamis (5/11/2020).
Meski menghadapi ancaman tersebut, Wahyudi mengaku belum tertarik untuk mendaftar program jaminan kesehatan. Ia berdalih kesulitan membayar iuran bulanan.
Sebelum pandemi, Wahyudi mengaku masih bisa menyisihkan sebagian penghasilannya yang rata-rata mencapai Rp 300.000 per hari. Namun, tabungan tersebut bukan untuk hari tua, melainkan untuk biaya sekolah anaknya.
”Belum kepikiran sih (buat hari tua), buat anak saja dulu. Sekarang anak saya sudah umur 8 tahun,” katanya.
Belum kepikiran sih (buat hari tua), buat anak saja dulu.
Wajib
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan, keikutsertaan masyarakat dalam program JKN-KIS sebetulnya adalah wajib. Bagi masyarakat yang tidak mendaftar, mereka akan mendapatkan sanksi.
”Sanksinya tidak bisa mendapatkan pelayanan publik, seperti pengurusan SIM, STNK, sertifikat tanah, atau paspor,” katanya saat dihubungi.
Sayangnya, kata Timboel, penegakan hukumnya sejauh ini belum optimal. Akibatnya, saat ini baru 222 juta yang menjadi peserta JKN-KIS. Adapun jumlah penduduk Indonesia sekitar 267 juta jiwa.
”Mereka ini kebanyakan adalah kelompok BPU yang tidak masuk pada PBI,” ujarnya.
Sementara, masyarakat tidak diwajibkan untuk mengikuti program jaminan sosial yang dikelola oleh BP Jamsostek. Padahal, melalui program ini, pelaku UMKM dan pekerja informal dapat mendapatkan manfaat yang sangat besar.
Sayangnya, sosialisasi bagi kelompok BPU mengenai program jaminan ini masih sangat rendah. ”Dua bulan ini saya ke Semarang dan Garut untuk bertemu pekerja informal, ternyata mereka sangat antusias dengan program ini. Sayangnya, mereka tidak pernah tahu,” ujarnya.
Setidaknya, ada dua program jaminan sosial yang penting untuk diakses, yakni Jaminan Kesehatan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Kedua program ini iurannya sangat rendah, yakni Rp 10.000 untuk JKK dan Rp 6.800 untuk JKM per bulan.
Sementara manfaat yang didapatkan melimpah. Misalnya, jika peserta yang sudah terdaftar selama tiga tahun meninggal, anaknya akan mendapatkan beasiswa hingga lulus perguruan tinggi. Jika peserta meninggal karena kecelakaan kerja, maka akan mendapat santunan setara 48 kali upah.
”Santunan tidak mampu bekerja yang tadinya diberikan selama enam bulan sekarang diberikan 12 bulan,” katanya.
Menurut Timboel, pelaku UMKM dan pekerja informal sebenarnya bisa mendaftar program ini secara mandiri. Namun, idealnya mereka perlu dikoordinasi. Misalnya, dalam satu lingkup pasar perlu ada satu orang yang mendaftarkan mereka ke kantor BP Jamsostek setempat.
”Sistem kolektif ini juga akan membantu mereka saat membayar iuran. BP Jamsostek sebenarnya sudah meluncurkan agen penggerak jaminan sosial bernama Perisai, tetapi jumlahnya masih perlu diperbanyak,” katanya.
Selain JKK dan JKM, BP Jamsostek juga memiliki program jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Menurut Deputi Direktur Bidang Kepesertaan Program Khusus BP Jamsostek Ahmad Sulintang, akses terhadap program-program perlindungan tersebut menjadi hak para pekerja, termasuk pelaku UMKM (Kompas, 5 November 2020).