Imbangi Kemudahan Berusaha dengan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Undang-Undang Cipta Kerja harus diseimbangkan dengan memperbanyak jumlah pengadilan niaga dan hakim niaga. Kemudahan berusaha dan arus masuk investasi yang tinggi harus diiringi dengan kepastian hukum yang kuat.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mendorong kemudahan berusaha demi menarik investasi harus diseimbangkan dengan pengawasan dan penegakan hukum yang kuat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan memberi masukan dalam proses pembahasan rancangan peraturan turunan UU Cipta Kerja untuk mempertegas aspek penegakan hukum.
UU Cipta kerja turut mengubah beberapa pasal dalam UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Beberapa perubahan itu meliputi perbaikan upaya keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) serta penegasan aspek sanksi dalam hukum persaingan usaha.
Komisioner KPPU, Afif Hasbullah, Rabu (4/11/2020), mengatakan, pengesahan UU Cipta Kerja dan pemberian kemudahan berusaha harus diiringi dengan pengaturan penegakan hukum yang berkualitas.
”Jadi, di satu sisi, investasi dibuka lebar-lebar, tetapi peraturan turunannya ke depan juga harus seimbang. Artinya, harus ada penguatan dalam pengawasan dan pengakan hukum,” ujarnya dalam diskusi virtual ”UU Persaingan Usaha dan UU Cipta Kerja” di Jakarta.
Jadi, di satu sisi, investasi dibuka lebar-lebar, tetapi peraturan turunannya ke depan juga harus seimbang. Artinya, harus ada penguatan dalam pengawasan dan pengakan hukum.
Ada empat hal dalam UU No 5/1999 yang diubah lewat UU Cipta Kerja. Pertama, pengalihan pengajuan upaya keberatan atas putusan KPPU dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga. Kedua, penghapusan jangka waktu penanganan upaya keberatan oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung (MA). Ketiga, penghapusan batasan denda maksimal. Keempat, penghapusan ancaman pidana bagi pelanggaran perjanjian atau penyalahgunaan posisi dominan.
Menurut Afif, pada dasarnya pengalilhan upaya keberatan ke pengadilan niaga itu dapat meningkatkan kualitas pembuktian di pengadilan. Hakim pengadilan niaga umumnya telah terbiasa mengurus perkara di bidang bisnis dan komersial.
Namun, pengalihan ini harus dapat diiringi dengan memperbanyak jumlah pengadilan niaga di Indonesia. Saat ini, hanya ada lima pengadilan niaga di seluruh Indonesia. ”Sementara perkara persaingan usaha yang ditangani KPPU ini adalah di seluruh Indonesia, bahkan sampai ke pelosok menyeberangi pulau. Perkara-perkara tender, misalnya, itu terlapornya banyak di daerah,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Afif, regulasi harus diseimbangkan dengan memperbanyak jumlah pengadilan niaga beserta para hakim niaga. Kemudahan berusaha dan arus masuk investasi yang tinggi harus diiringi dengan kepastian hukum yang kuat. Hakim yang berkapasitas khusus menangani kasus persaingan usaha juga harus diperbanyak, apalagi dalam perkembangan dunia usaha dan perdagangan saat ini yang semakin luas dan fleksibel dengan perkembangan teknologi.
Hal lain yang disoroti KPPU adalah penghapusan jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan kasasi. Ketentuan itu dikhawatirkan berpotensi memunculkan ketidakpastian bagi pelaku usaha yang mengajukan upaya keberatan.
Afif menuturkan, KPPU sudah berdiskusi dengan MA untuk mengusulkan aturan yang lebih detail dan tegas di rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai batasan jangka waktu penanganan upaya keberatan. KPPU juga perlu mengomunikasian hal ini kepada pemerintah karena tidak mengetahui nanti posisinya di RPP akan seperti apa.
”Sebaiknya jangka waktu tidak dibuat terlalu lama, berhubung misi dari UU ini seharusnya memudahkan prosedur, waktu, akses, dan biaya. Kalau tidak diatur, tidak ada kepastian hukum,” katanya.
Lepas dari berbagai masukan yang akan disampaikan kepada pemerintah dalam proses pembahasan RPP, Komisioner KPPU Guntur Saragih mengatakan, KPPU siap beradaptasi mengikuti UU Cipta Kerja dan mendukung upaya pemerintah menambah investasi dan menciptakan lapangan kerja.
”Isu daya tarik investasi tidak bisa lepas dari aspek pengawasan persaingan usaha. Mayoritas pelaku usaha akan senang jika ada kepastian hukum dan ada pengawasan yang kuat jika tidak ada praktik pelanggaran monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat,” ujarnya.
Tumpang-tindih
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengemukakan, UU Cipta Kerja hadir untuk memberikan kemudahan berusaha, yang perlu diwujudkan untuk memberi lapangan pekerjaan kepada masyarakat yang saat ini banyak menganggur. Caranya, dengan menarik lebih banyak investasi.
”Sementara untuk berusaha di Indonesia, izin-izinnya itu begitu banyak dan rumit, putar-putar karena aturan kita tumpang tindih. Ego sektoral terjadi. Akhirnya, investasi tidak bisa masuk dengan baik, tidak hanya asing, tetapi juga investasi dalam negeri, termasuk UMKM,” katanya.
Selama ini, lanjut Bahlil, banyak pelanggaran hukum terjadi karena transparansi dalam proses pengurusan investasi yang berbelit. Dengan UU Cipta Kerja ini, semua urusan izin berusaha akan berbasis elektronik dan berbasis online single submission (OSS). Dengan kemudahan-kemudahan ini, investasi masuk dan bisa mengurangi pelanggaran.