Pekerja khawatir terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja justru membuat mereka yang sudah jatuh akibat pandemi Covid-19 tertimpa tangga.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Awan kelabu membayangi pekerja pasca-terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ada keraguan kalau kesejahteraannya bakal terjamin lewat aturan sapu jagat itu.
Kegamangan buruh itu terpendam dalam angan mereka setelah Presiden Joko Widodo meneken UU Cipta Kerja, Senin (2/11/2020). Pro dan kontra yang berlangsung sejak awal pembahasannya terus berlanjut.
Wahyudi (26), karyawan swasta di Jakarta Timur, tengah menanti kepastian statusnya apakah tetap menjadi karyawan kontrak atau beralih menjadi karyawan tetap ketika pandemi datang. Gelombang pemutusan hak kerja, dirumahkan, dan pemotongan gaji seiring pandemi yang terjadi di mana-mana membuat tidurnya tak pulas.
Kekhawatirannya belum usai sudah timbul pro dan kontra UU Cipta Kerja. Buruh, mahasiswa, dan elemen warga turun ke jalan dan meramaikan penolakan di berbagai linimasa. ”Kepikiran status bakal gak jelas karena pandemi ditambah lagi adanya omnibus law,” ucap Wahyudi, Kamis (5/11/2020).
Sejumlah rekan kerjanya yang berstatus kontrak telah beralih menjadi pekerja lepas dalam perjanjian kerja terbaru. Perusahaan beralasan langkah itu sebagai bagian menyiasati pandemi.
Wahyudi menuturkan, kemungkinan besar statusnya bakal sama beralih menjadi pekerja lepas. Tidak ada perbedaan berarti antara status karyawan kontrak dan pekerja lepas, menurut rekan kerjanya yang sudah duluan beralih status.
”Gaji dan asuransi tetap sama. Katanya karena pandemi. Tetapi, kepikiran status pekerja lepas bisa jadi lebih mudah diberhentikan kalau situasi memburuk,” ujarnya.
Felby Mandala (25) dan teman-temannya yang berstatus tenaga alih daya di salah satu badan usaha milik negara tidak bisa berbuat banyak pasca-terbitnya UU Cipta Kerja. Sekarang yang tersisa hanya perasaan waswas kesejahteraan bakal suram.
Menurut dia, kondisi sebelum ada UU Cipta Kerja tak begitu ideal. Misalnya, upah pas-pasan setelah pemotongan sana-sini dengan tekanan kerja yang besar untuk kejar terget. ”Pasrah, semoga penolakan didengar,” ujar Felby.
Khusniatul Amri (25), karyawan swasta di Jakarta Selatan, bakal terus bersuara menolak UU Cipta Kerja di lini masa. Bahkan kemungkinan turut berpartisipasi dalam aksi penolakan.
Ia tidak puas suara buruh, mahasiswa, dan warga mental begitu saja. Padahal tujuan sapu jagat untuk kesejahteraan seluruh warga negara. ”Sebagai buruh tidak akan berhenti menolak sampai ada kejelasan jaminan ksejahteraan,” kata Khusniatul.
Ketiganya satu harapan semoga uji materi di Mahkamah Konstitusi berhasil sehingga aspirasi tidak mental. Total sampai Rabu (4/11/2020) malam, ada tiga pengajuan uji materi, satu pengajuan uji formil, serta satu pengajuan uji formil dan materi terhadap UU Cipta Kerja.
Gugatan terbaru dilayangkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang diwakili Presiden KSPI Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal KSPI Ramidi. Ketentuan yang diuji adalah Pasal 88C Ayat (2) UU Cipta Kerja terkait penetapan upah minimum kabupaten/kota atau UMK (Kompas.id, 5 November 2020).
Said mengatakan, penggunaan frasa ”dapat” dalam penetapan UMK sangat merugikan buruh karena bersifat tidak wajib diatur. ”Itu akan mengakibatkan upah murah. Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, upah minimum provinsi (UMP) Jawa Barat Rp 1,8 juta, sementara UMK Bekasi Rp 4,2 juta. Jika hanya ditetapkan UMP, nilai upah minimum di Bekasi akan turun,” katanya.
KSPI juga menyoroti hilangnya upah minimum sektoral provinsi dan kabupaten/kota (UMSP dan UMSK) dalam UU Cipta Kerja. ”Kami meminta UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dihilangkan. Jika ini terjadi, akan berakibat pada tidak adanya income security akibat berlakunya upah murah,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan menjadi isu yang paling kompleks dibahas dalam forum tripartit. Terkait sistem pengupahan per jam dibuat untuk merespons tantangan perkembangan pasar tenaga kerja ke depan.
Laporan Bank Dunia dan berbagai kajian memproyeksikan, dalam pasar kerja yang lebih fleksibel, pembayaran bergeser pada satuan waktu atau upah per jam. ”Namanya membuat undang-undang ini, kita berpikir untuk masa depan, bukan hanya masa lalu. Yang pasti tetap akan dibuat batasannya, ada daftar positif dan negatifnya mana pekerjaan yang bisa dibayar per jam, mana yang tidak. Tidak semua akan dibuat per jam,” kata Anwar.