Serangan Siber terhadap Industri Paling Banyak Terjadi di Asia
Asia menjadi salah satu kawasan yang paling tidak aman secara siber di tingkat global selama paruh pertama 2020. Serangan siber terhadap sektor industri paling banyak terjadi di kawasan Asia.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Salah satu bagian proses pengerjaan yang sebagian besar berbahan logam antikarat di Pabrik Nayati, Terboyo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (17/9/2020). Krisis ekonomi selama pandemi ini juga berdampak pada bisnis ini karena sebagian besar konsumennya merupakan industri layanan dan jasa.
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi industri manufaktur di Asia belum dibarengi kesadaran akan keamanan siber. Peningkatan produktivitas yang dijanjikan revolusi industri keempat perlu diiringi pemahaman bahwa semua lini produksi bisa menjadi rentan terhadap serangan siber.
Terlebih lagi, berdasarkan laporan firma keamanan siber Kaspersky, Asia menjadi salah satu kawasan yang paling tidak aman secara siber di tingkat global selama paruh pertama 2020.
Managing Director Kaspersky APAC Stephan Neumeier mengatakan, kawasan Asia memperoleh empat dari lima posisi teratas sebagai wilayah berdasarkan persentase komputer sistem kontrol industri (industrial control systems/ICS) yang hampir terinfeksi pada paruh pertama tahun ini.
arsip kaspersky
Kawasan Asia mendominasi bagian dunia yang paling banyak mengalami serangan siber di komputer industrinya, selama enam bulan pertama 2020, berdasarkan firma keamanan siber Kaspersky.
Dalam hal ransomware, negara Asia Pasifik pun menjadi kawasan dengan jumlah serangan ransomware terhadap sistem kontrol industri terbesar di dunia. Indonesia bahkan menjadi negara dengan jumlah serangan ransomware industri terbesar di dunia.
Di Indonesia, 1,62 persen komputer ICS mendeteksi serangan ransomware, disusul China (1,39 persen), Vietnam (1,3 persen), Thailand (1,27 persen), dan Malaysia (1,22 persen). Sebagai perbandingan, Rusia memiliki skor yang sama dengan median, yakni 0,46 persen.
arsip kaspersky
Indonesia berada di posisi puncak negara yang komputer industrinya paling banyak mendeteksi serangan ransomware, menurut Kaspersky.
Kondisi ini diperparah dengan masih rendahnya kesadaran mengenai keamanan siber di sektor manufaktur. Rerata besaran anggaran keamanan siber di perusahaan manufaktur hanya sekitar 9 juta dollar AS (Rp 131 miliar). Angka ini di bawah rerata lintas sektor yang sebesar 14 juta dollar AS dan jauh dilampaui oleh perusahaan di sektor TI ataupun perbankan yang mencapai 22-24 juta dollar AS.
Padahal, mengutip studi dari Deloitte, bahwa perusahaan manufaktur Asia Pasifik tergolong lebih maju dalam hal digitalisasi dibandingkan dengan perusahaan dari kawasan lainnya. Sebanyak 96 persen perusahaan Asia Pasifik mengungkapkan telah melakukan audit untuk menemukan peluang dalam industri 4.0; jauh lebih besar dibandingkan dengan rerata global yang sebesar 51 persen.
“Semakin banyak peralatan yang saling terkoneksi, semakin banyak data yang diproses, juga semakin banyak celah keamanan yang muncul. Artinya, semakin penting peran keamanan siber,” kata Neumeier dalam temu media virtual yang digelar pada Rabu (4/11/2020).
Asia menjadi salah satu kawasan yang paling tidak aman secara siber di tingkat global selama paruh pertama 2020.
Untuk meningkatkan keamanan siber pada sektor manufaktur, menurut Neumeier, pemerintah setiap negara memiliki peran yang sangat penting.
tangkapan layar microsoft teams
Managing Director Asia Pasifik Kaspersky Stephan Neumeier (kiri) berbicara dalam temu media virtual yang digelar pada Rabu (4/11/2020).
Ia mengatakan, pemerintah memiliki andil untuk merancang kebijakan dan peraturan yang dapat mendorong implementasi keamanan siber yang lebih kuat di sektor manufaktur, seperti apa yang sudah diminta pemerintah untuk sektor perbankan, misalnya.
”Dengan adanya proses digitalisasi dan otomasi yang kian merambah sektor manufaktur, menunjukkan bahwa perlu ada kebijakan yang dapat memastikan keamanan siber yang baik di sektor tersebut,” kata Neumeier.
Pandemi dan digitalisasi Asia Pasifik
Secara terpisah, Group Vice President for ICT Research firma riset pasar IDC Asia Pacific, Sandra Ng, membenarkan bahwa kawasan Asia Pasifik secara khusus akan meraih dividen digitalisasi yang besar, khususnya akibat pandemi Covid-19.
Sandra menilai, saat ini perusahaan-perusahaan di kawasan Asia Pasifik sudah memimpin kawasan lain dalam hal pemanfaatan teknologi digital untuk memperkuat fondasi perusahaan dan inovasi bisnis, terutama untuk menghadapi dampak pandemi Covid-19.
tangkapan layar microsoft teams
Managing Director Asia Pasifik Kaspersky Stephan Neumeier (kiri) berbicara dalam temu media virtual yang digelar pada Rabu (4/11/2020).
Keunggulan yang dimiliki oleh Asia Pasifik ini akan tecermin pada proses pertumbuhan ekonomi pasca-2021. Berdasarkan kalkulasinya, ekonomi digital Asia Pasifik akan mengalami akselerasi, dengan 65 persen produk domestik bruto negara kawasan ini akan terdigitalisasi, di mana belanja akan mencapai nilai 1,2 triliun dollar AS (Rp 17.460 triliun) pada 2022.
”Perusahaan-perusahaan di APAC (Asia Pasifik) juga lebih maju dalam upaya menggunakan teknologi digital untuk menemukan model bisnis baru ataupun mendapat pangsa pasar yang lebih luas,” kata Sandra Ng.
Neumeier juga sepakat bahwa pandemi telah mengakselerasi digitalisasi di perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik. Menurut dia, salah satu buah hasil digitalisasi manufaktur akan hadir dalam bentuk tren personalisasi produk.
ILEAD SCIENCES INC/HANDOUT VIA REUTERS
Vial dari obat Covid-19, obat yang diobati remdesivir ditutup di fasilitas Gilead Sciences di La Verne, California, Amerika Serikat, 18 Maret 2020. Foto diambil pada 18 Maret 2020.
Ia menilai, apabila seluruh proses dalam sebuah rantai produksi dapat digitalisasi, proses personalisasi atau kustomisasi yang dapat dilakukan oleh konsumen akan jauh lebih mendalam.
Personalisasi ini akan menyentuh produk seperti pakaian hingga obat-obatan. Pembuatan obat akan dapat benar-benar disesuaikan dengan informasi kesehatan si konsumen.
Namun, ini artinya, jika mengambil contoh obat-obatan, proses produksinya juga harus aman dari serangan siber. Sebab, gangguan terhadap proses produksi obat ini dapat mengancam keselamatan manusia.
”Jika ada gangguan siber, ini artinya adalah life-threatening cyber attacks. Ini yang harus diwaspadai,” kata Neumeier.