Industri Sawit yang Berkelanjutan Dorong Ekspor CPO
Prinsip berkelanjutan harus diberlakukan bagi industri kelapa sawit. Tanpa adanya prinsip keberlanjutan, industri sawit berpotensi merusak hutan dan alam.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai salah satu produsen utama minyak kelapa sawit mentah di dunia, Indonesia harus menjamin adanya prinsip berkelanjutan untuk menjaga kelestarian alam. Tanpa adanya prinsip keberlanjutan, industri sawit berpotensi merusak hutan dan alam.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2018, dengan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia sekitar 20 juta hektar, menempatkan Indonesia sebagai produsen utama kelapa sawit di dunia. Sementara luas perkebunan kelapa sawit Malaysia hanya sekitar 6 juta hektar.
Kedua negara ini memenuhi sekitar 85 persen kebutuhan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia. Ekspor CPO menyumbang 5-7 persen terhadap produk domestik bruto Indonesia dan Malaysia.
Pada sisi lain, Global Forest Watch mencatat, pada 2001-2017, Indonesia kehilangan 24,4 juta hektar tutupan pohon (setara dengan 2,44 gigaton emisi karbon dioksida) akibat alih fungsi lahan. Malaysia kehilangan 7,29 juta hektar tutupan pohon pada periode yang sama.
Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca kelima terbesar di dunia, terutama karena alih fungsi hutan. Sebuah hasil penelitian yang diterbitkan pada Februari 2018 dalam jurnal Cell Biology menyebutkan, sekitar 150.000 orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) hilang antara tahun 1999 dan 2015 akibat ekspansi perkebunan sawit. (Kompas, 20 April 2019)
Direktur Pangan dan Pertanian Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Anang Noegroho Setyo Moeljono menyampaikan, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan kerangka kerja pangan dan pertanian yang berkelanjutan, termasuk untuk CPO. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pun mengadakan program yang disebut Inisiatif Terpercaya.
Inisiatif yang dilakukan sejak 2017 merupakan bagian dari pendekatan yurisdiksi berkelanjutan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Inisiatif ini untuk mendorong setiap daerah menerapkan prinsip berkelanjutan dengan pendekatan berbasis yurisdiksi.
”Pemerintah sangat mengharapkan pendekatan untuk membangun sistem traceability (ketelusuran) produk sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan meningkatkan potensi daya saing. Kita harus sama-sama berkolaborasi untuk memperkuat saling percaya, legality sustainability, dan traceability,” kata Anang, Rabu (4/11/2020).
Paparan mengemuka dalam webinar yang diadakan oleh Katadata bertemakan ”Mendukung Prinsip Berkelanjutan dalam Komoditas Perkebunan Indonesia”. Webinar ini membahas bagaimana sawit Indonesia bisa memenuhi persyaratan pasar Eropa, termasuk solusi yang dikembangkan oleh Inisiatif Terpercaya.
Sekretaris Terpercaya sekaligus Senior Advisor Inobu, Josi Khatarina, mengatakan, prinsip berkelanjutan sangat penting dilakukan oleh setiap daerah karena saat ini pasar juga sudah menghendaki produk yang ramah lingkungan dan tidak ingin berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan hidup. Misalnya sawit yang sering dikaitkan dengan deforestasi dan hilangnya wilayah hidup bagi orangutan.
Inisiatif Terpercaya, kata Josi, membantu para petani sawit dalam penerbitan sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Setidaknya ada 22 indikator yang menjadi penilaian untuk menjamin prinsip keberlanjutan dari CPO.
Baca juga: Standar Ganda Impor Minyak Jelantah Uni Eropa
”Sertifikat RSPO atau ISPO ini merupakan satu-satunya opsi bagi petani (sawit) untuk membuktikan produk CPO dihasilkan secara berkelanjutan. Salah satunya tidak menyebabkan deforsetasi,” ujarnya.
Biaya tinggi
Namun, penerbitan sertifikat bagi petani sawit membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Josi menjelaskan, untuk satu sertifikat RSPO dibutuhkan dana awal sekitar 250 dollar AS atau Rp 3,65 juta per hektar dan untuk biaya selanjutnya butuh sekitar 50 dollar AS atau Rp 730.000.
Misalnya, di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, ada sekitar 63.000 hektar lahan yang dikelola petani sawit, atau 30 persen dari total kebun kelapa sawit. Artinya, untuk membuat produk CPO diterima oleh pasar, misalnya Uni Eropa, butuh setidaknya biaya awal Rp 229,95 miliar.
”Sementara dana APBD untuk isu berkelanjutan hanya sekitar Rp 20 miliar. Oleh karena itu, kami sepakat dengan pendekatan yurisdiksi berkelanjutan karena bersifat inklusif bagi seluruh petani sawit dan memastikan kebocoran praktek deforestasi lebih sedikit,” kata Josi.
Bupati Kabupaten Kotawaringin Barat Nurhidayah menyampaikan, saat ini sudah ada 1.278 petani sawit yang tersertifikasi, baik RSPO maupun ISPO. Sertifikasi ini menjadi pembuktian bahwa mereka telah memproduksi CPO secara berkelanjutan.
Melalui pendekatan yurisdiksi, kata Nurhidayah, pemerintah daerah memimpin langsung pelibatan semua pihak untuk bersama-sama membantu petani sawit menanggung biaya yang diperlukan untuk mencapai sertifikasi. Pendekatan sertifikasi dilakukan pada level kabupaten, tidak di level kebun.
”Indikator dalam platform Terpercaya ini sejalan dengan perkembangan sertifikasi yurisdiksi. Salah satu manfaatnya, dapat membuktikan komoditas pertanian, termasuk CPO ,telah diproduksi secara berkelanjutan dan sesuai perundang-undangan yang berlaku,” ujar Nurhidayah.
Tingkatkan kepercayaan
Jeremy Broadhead dari European Forest Institute, Asia Regional Office menyampaikan, untuk mendorong kemitraan antara Uni Eropa dengan Indonesia dan Malaysia, dilakukan proyek Keberlanjutan Sawit Malaysia dan Indonesia (KAMI). Tujuannya, untuk mendukung proses nasional dan dialog internasional dalam prinsip berkelanjutan dengan berfokus pada CPO.
”Melalui KAMI akan ada peningkatan pemantauan keberlanjutan inklusif dan keterlacakan dalam skala besar. Proyek dimulai pada bulan September 2020 dan saat ini KAMI berada dalam fase permulaan untuk memulai implementasi penuh pada awal 2021,” ujar Jeremy.
Melalui proyek berdana 4,5 juta euro selama tiga tahun, kata Jeremy, diharapkan dapat memperkuat rantai pasok untuk komoditas yang diproduksi secara berkelanjutan. Dari sisi domestik, KAMI diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk bergerak menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
First Counsellor Delegation of the European Union to Indonesia Henriette Faergemann menyampaikan, melalui KAMI, Uni Eropa dengan Indonesia dan Malaysia dapat membangun kepercayaan dan bekerja sama dalam memproses CPO berkelanjutan. Pada tahap awal, akan dilakukan dialog untuk merumuskan kebijakan tentang keberlanjutan dan perdagangan minyak sawit.
Baca juga: Indonesia-Belanda Berkomitmen Dorong Sawit Berkelanjutan
”Kami terus berusaha untuk mengonsolidasikan komite penasihat dari para pemangku kepentingan dan memberikan bimbingan teknis untuk membangun kepercayaan. Kami juga terus mendukung transparansi rantai pasok CPO dan bekerja sama dengan kemitraan secara terbuka,” kata Henriette.