Media Sosial Ubah Teknik Pemasaran, Pendekatan Humanis Jadi Strategi
Teknik pemasaran masa kini berorientasi ke pendekatan humanis. Konsumen tidak lagi dipandang sebagai obyek pemasaran pasif, tetapi kini dilibatkan secara aktif.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknik pemasaran bergeser dari yang semula menempatkan konsumen sebagai pihak pasif menjadi aktif. Ini tampak dari maraknya pemasaran berbasis pengalaman pelanggan (customer experience/CX). Pendekatan humanis dinilai sesuai dengan perkembangan zaman dan karakter konsumen masa kini.
Founder and Chairman MarkPlus Inc, Hermawan Kartajaya, mengatakan, perkembangan teknologi dan munculnya media sosial mengubah strategi pemasaran yang selama ini ada. Dulu, pemasaran bersifat satu arah dan bisa dilakukan lewat media konvensional. Kini, pelaku usaha juga perlu beradaptasi ke media digital.
”Dunia advertising (periklanan) telah berubah dari vertikal ke horizontal. Dulu, pelanggan seperti dibombardir dengan iklan dari atas (pelaku usaha), sementara pelanggan diam saja. Hal itu sudah berubah sekarang,” kata Hermawan pada acara daring Wow Brand Festive Day, Rabu (4/11/2020).
Pelaku pemasaran kini tidak hanya beradaptasi ke media digital, tetapi juga memahami karakter konsumen. Menurut Hermawan, konsumen tidak lagi dipandang sebagai obyek pemasaran semata, tetapi juga manusia yang punya intensi dan preferensi dalam memilih produk. Itu sebabnya pendekatan humanis perlu diutamakan.
Ini menuntut kami sebagai pelaku pemasaran untuk selalu berubah. Bukan hanya medium pemasaran yang berubah, melainkan juga alat, strategi, dan pendekatannya.
Pendekatan humanis bisa diberi melalui pemasaran luring. Hermawan mendorong pelaku usaha dan brand mengolaborasikan pemasaran luring dan daring. ”Brand tidak bisa meninggalkan (pemasaran) luring dan beralih total ke daring. Konsumen tetap butuh pengalaman luring, terlebih saat pandemi selesai nanti,” ujarnya.
Chief Marketing Officer Global Digital Prima (GDP) Venture, Danny Oei Wirianto, mengatakan, teknologi mendorong audiens dan konsumen berevolusi dengan cepat. Jika dulu perubahan terjadi setiap satu dekade, kini audiens berubah setiap 1-2 tahun. Perubahan yang dimaksud adalah kebutuhan, perilaku, dan pola komunikasi konsumen.
”Ini menuntut kami sebagai pelaku pemasaran untuk selalu berubah. Bukan hanya medium pemasaran yang berubah, melainkan juga alat, strategi, dan pendekatannya,” kata Danny.
Di sisi lain, teknologi memungkinkan pelaku pemasaran memahami konsumen. Itu dilakukan dengan menganalisis jejak digital konsumen. Analisis yang tepat akan mengarah pada strategi pemasaran yang tepat. ”Dengan begitu, kita tahu cara terbaik ’mendatangi’ mereka (konsumen),” ujar Danny.
Utamakan pengalaman
Menurut Chief Executive Officer Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, dunia penerbangan sejatinya adalah industri yang mengutamakan pengalaman konsumen. Kesehatan, keamanan, dan kenyamanan konsumen jadi penting di masa pandemi. Garuda Indonesia pun menjajal pendekatan dan branding baru dengan tagar #BecauseYouMatter.
Konsumen yang ingin terbang dijamin keamanannya. Protokol kesehatan yang ketat akan berlaku sebelum, saat, dan sesudah keluar dari pesawat. Irfan berharap hal ini bisa mengurangi kecemasan konsumen untuk terbang selama pandemi.
”Branding yang kami lakukan masih berkembang dan butuh waktu. Namun, kami optimistis,” kata Irfan.
Chief Executive Officer Mahaka Radio Integra Adrian Syarkawi mengatakan, radio mengandalkan pendekatan pengalaman manusia (human experience/HX) melalui penyiar. Penyiar tidak hanya menyampaikan informasi, musik, ataupun iklan, tetapi juga berperan menjadi teman bagi audiens. Kedekatan emosi dengan audiens pun terbangun.
”Kedekatan emosi menimbulkan kesan mendalam bagi audiens. Walau kecerdasan buatan sedang berkembang, saya yakin sentuhan humanis tetap yang terbaik. Dengan HX, bisnis bisa bertahan,” kata Adrian.
Sementara, menurut Director of Communications BMW Group Indonesia Jodie O’Tania, pelaku usaha dan brand saat ini perlu mengenal siapa saja konsumennya beserta karakter dan kebutuhannya. Komunikasi bekelanjutan perlu dilakukan. Setelah itu, brand bisa merancang narasi produk dan pengalaman konsumen yang tepat.
”Ini penting karena 20-70 persen konsumen akan hilang dalam waktu tiga bulan. Mereka sangat mudah pindah dari satu brand ke brand lain,” ujar Jodie.