Silang Pendapat Penentuan Upah Minimum Provinsi Terus Terjadi
Kondisi pandemi yang melatari penetapan upah minimum membuat pengambilan keputusan lebih lama. Silang pendapat antara pengusaha, pemerintah, dan buruh terus terjadi.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan upah minimum provinsi atau UMP 2021, yang sedianya dijadwalkan pada 1 November 2020, mundur dari target. Hal ini terjadi lantaran belum semua provinsi menetapkan UMP tersebut dan melaporkannya secara resmi ke pemerintah pusat. Di sisi lain, silang pendapat masih terus terjadi kendati pemerintah provinsi telah menetapkan UMP.
Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani, Senin (2/11/2020), mengatakan, penetapan dan pengumuman UMP 2021 sedikit mundur dari jadwal. Pandemi yang melatarbelakangi penetapan upah minimum tahun ini membuat situasi tidak pasti dan pengambilan keputusan lebih lama.
Sampai Senin malam, 28 provinsi sudah resmi menetapkan UMP dan melaporkan Surat Keputusan (SK) Gubernur masing-masing ke pemerintah pusat. Dari jumlah itu, 23 provinsi mengikuti Surat Edaran Menaker Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum 2021 yang meminta agar UMP 2021 sama dengan UMP 2020.
Sementara, lima provinsi di antaranya memilih tetap menaikkan UMP 2021. Kelima provinsi itu adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan.
”Seharusnya semua provinsi sudah memutuskan dan melapor ke kami sejak 31 Oktober 2020. Tetapi, per Senin, masih ada beberapa provinsi yang baru selesai rapat Dewan Pengupahan dan baru mau menetapkan,” kata Dinar saat dihubungi di Jakarta.
Menurut dia, ada beberapa provinsi yang meskipun sudah mengambil keputusan untuk tidak menaikkan upah minimum, belum secara resmi menandatangani SK. Laporan ke pemerintah pusat baru disampaikan secara lisan.
Ada yang SK-nya sudah dinomori, tapi masih di meja gubernur, ada yang masih di biro hukum. Kadang-kadang ada yang tidak berani untuk menentukan sama dengan SE, jadi nomornya sudah ada, tetapi belum diteken.
Dinar berharap agar pemerintah provinsi (pemprov) yang belum menentukan UMP 2021 bisa segera menyelesaikannya pada 3 November 2020. Selain itu, Dinar juga menyatakan, meskipun beberapa provinsi tidak mengikuti arahan SE Menaker, pada dasarnya penetapan UMP 2021 menjadi kewenangan gubernur.
”Memang ada kebijakan nasional sebagai pedoman, tetapi yang tahu daerah adalah gubernur masing-masing. Jadi bukan berarti mereka tidak setuju melaksanakan SE, tetapi disesuaikan saja sesuai kondisi,” ujarnya.
Memang ada kebijakan nasional sebagai pedoman, tetapi yang tahu daerah adalah gubernur masing-masing. Jadi bukan berarti mereka tidak setuju melaksanakan SE, tetapi disesuaikan saja sesuai kondisi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, Pemprov DKI Jakarta telah menetapkan UMP 2021 naik 3,27 persen dari UMP 2020 menjadi Rp 4.416.186,548. Bagi perusahaan yang terdampak Covid-19, bisa mengajukan permohonan untuk tidak menerapkan kenaikan UMP 2021.
”Permohonan itu bisa diajukan ke Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertrans Energi) Provinsi DKI Jakarta. Setelah diajukan dan dikaji, nanti akan diputuskan bahwa perusahaan itu terdampak pandemi atau tidak,” ujarnya usai Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta, Senin.
Selanjutnya, perusahaan yang terdampak Covid-19 dapat menggunakan besaran nilai upah yang sama dengan UMP 2020. Anies menyebut kebijakan ini sebagai kebijakan asimetris UMP 2021. ”Kebijakan ini dilakukan agar tercapai keadilan. Karena setiap sektor usaha ada yang terdampak pandemi dan ada pula sektor usaha yang justru tumbuh pesat,” katanya.
Kebijakan ini merupakan kebijakan asimetris UMP 2021. Kebijakan ini dilakukan agar tercapai keadilan. Karena setiap sektor usaha ada yang terdampak pandemi dan ada pula sektor usaha yang justru tumbuh pesat.
Kepala Disnakertrans Energi DKI Jakarta Andri Yansyah menjelaskan, sektor usaha yang tidak terdampak pandemi misalnya telekomunikasi, otomotif, dan kesehatan. Sementara yang terdampak di antaranya properti, pusat perbelanjaan, perhotelan, wisata, dan kuliner.
”Nanti akan ada tim yang mengkaji permohonan perusahaan. Proses pengkajian itu dibantu dewan pengupahan yang terdiri dari unsur pemerintah, BPS, akademisi, dan Biro Hukum. Selain itu, juga ada unsur dari pengusaha dan serikat pekerja,” ujarnya.
Di Jawa Barat (Jabar), Pemprov Jabar tidak menaikkan UMP 2021. UMP itu sama dengan UMP 2020, yaitu Rp 1.810.351,36. Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, UMP yang tidak naik ini menjadi konsekuensi dari pandemi yang menghantam industri, terutama sektor jasa dan manufaktur. Sebanyak 2.000 perusahaan terdampak pandemi dan 60 persen di antaranya berasal dari manufaktur, bahkan 500 perusahaan di antaranya terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
”Kami khawatir kenaikan upah buruh semakin memperburuk keuangan perusahaan dan berpotensi memperbesar kerugian sehingga dapat berdampak pada PHK yang lebih luas,” katanya.
Sementara, Pemprov Lampung masih mengkaji penetapan UMP 2021. Sebelumnya, UMP 2020 di Lampung ditetapkan Rp 2.432.001,57. Hingga saat ini, pemerintah belum menyatakan apakah upah buruh akan naik atau tetap sama dengan tahun ini sesuai arahan pemerintah pusat.
”Saya belum menerima dan tanda tangan,” ujar Gubernur Lampung Arinal Djunaidi.
Menyesalkan
Kelompok pengusaha menyesalkan kenaikan UMP di sejumlah provinsi. Sementara itu, sejumlah elemen buruh kembali berunjuk rasa menuntut kenaikan UMP 2021 dan pembatalan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Mereka juga mendukung keputusan sejumlah provinsi yang menaikkan UMP 2021.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani berpendapat, keputusan menaikkan UMP tidak sesuai dengan kondisi usaha saat ini yang terdampak pandemi. Pandemi sangat memukul hampir seluruh sektor. Dunia usaha tidak punya kemampuan untuk bisa membayar seperti situasi normal.
”Memang, tidak semua (usaha) sulit, tetapi itu relatif lebih sedikit. Jangan dijadikan referensi seolah semua usaha masih bisa tumbuh,” katanya.
Pada kenyataannya, lanjut Hariyadi, upah minimum hanya menjadi acuan dasar untuk pengupahan. Upah minimum hanya diberikan pada pekerja yang baru mulai bekerja. Sementara, upah yang berlaku bagi pekerja di atas satu tahun dinegosiasikan lagi antara pengusaha dan pekerja.
”Jadi jangan dipukul rata seolah upah minimum ini berarti upah rata-rata. Upah itu bisa naik, tetapi dibicarakan di internal perusahaan secara bipartit,” ujarnya.
Jadi jangan dipukul rata seolah upah minimum ini berarti upah rata-rata. Upah itu bisa naik, tetapi dibicarakan di internal perusahaan secara bipartit.
Hariyadi juga menilai, kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang memutuskan menaikkan UMP secara asimetris akan menimbulkan masalah baru. Sebab, belum ada indikator dan patokan yang jelas mengenai perusahaan yang tergolong terdampak maupun tidak terdampak pandemi. Proses pengajuan permohonan dan pembuktian usaha yang terdampak Covid-19 ke dinas ketenagakerjaan pun dikhawatirkan akan rumit.
”Jujur saja, ini juga menyulitkan pengusaha karena akan menambah beban kami secara administratif. Belum lagi menghadapi serikat pekerja di perusahaan masing-masing yang tidak setuju kalau pengusaha menyatakan diri terdampak pandemi,” kata Hariyadi.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, buruh akan terus melakukan aksi dan kemungkinan mogok kerja nasional jika tidak ada kenaikan upah minimum.
”Kami meminta agar Presiden bisa menginstruksikan Menaker untuk mencabut surat edaran yang menyatakan tidak ada kenaikan upah minimum tahun ini,” ujarnya. (HLN/RTG/VIO)