Penguatan Industri Nasional Maksimalkan Kerja Sama Indonesia-Australia
Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) dinilai dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, agar mampu berdaya saing, kualitas industri nasional harus ditingkatkan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia atau IA-CEPA dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Indonesia. Namun, industri dalam negeri harus diperkuat agar dapat mengoptimalkan kemitraan ekonomi ini.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan defisit dengan Australia, tetapi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan perbaikan, mulai dari defisit 3,1 miliar dollar AS (2017), 2,9 miliar dollar AS (2018), hingga 2,6 miliar dollar AS (2019).
Mayoritas komoditas perdagangan kedua negara itu merupakan bahan baku dan penolong industri. Misalnya, gandum, batubara, bijih besi, aluminium, seng, gula mentah, serta susu dan krim.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Dody Widodo menyampaikan, untuk memanfaatkan peluang yang diberikan IA-CEPA, Indonesia harus mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Sebab, negara-negara ASEAN lain juga mendapatkan akses pasar yang sama di Australia.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2017, khususnya di sektor logistik, posisi Indonesia (46) masih kalah bersaing jika dibandingkan dengan Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41). Selain itu, pada Competitive Industrial Performance Index, peringkat Indonesia (38) lebih unggul dibandingkan dengan Vietnam (43), tetapi masih berada jauh di bawah Malaysia (21) dan Thailand (27).
Kondisi ini salah satunya disebabkan oleh lambannya pergeseran ekspor manufaktur Indonesia ke arah produk-produk bernilai tambah tinggi. Industri Indonesia masih didominasi oleh industri teknologi rendah, misalnya bahan baku penolong dan bahan baku dari sumber daya alam.
”Tentunya kondisi ini akan memberi dampak pada global value chain (rantai pasok global). Untuk itu, Indonesia diharapkan dapat memaksimalkan dan memanfaatkan peluang akses pasar sebaik mungkin ke Australia melalui IA-CEPA yang membebaskan tarif bea masuk,” kata Dody, Selasa (3/11/2020).
Diskusi ini mengemuka dalam webinar IA-CEPA bertema ”Implementasi Economic Powerhouse dalam Rangka Peningkatan Kapasitas Sektor Industri Nasional”. Setelah 12 kali perundingan, perjanjian IA-CEPA ditandatangani oleh Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita dan Menteri Perdagangan Pariwisata dan Investasi Australia Simon Birmingham pada Maret 2019, kini telah diratifikasi dan mulai berlaku efektif mulai 5 Juli 2020.
Dody melanjutkan, perjanjian IA-CEPA memiliki beberapa manfaat, yaitu meningkatkan akses pasar barang dan jasa dan mendorong investasi. Selain itu, mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka peningkatan ekspor.
”Kemitraan Indonesia dan Australia ini juga membentuk economic powerhouse (pembangkit ekonomi) di kawasan tersebut. Konsep economic powerhouse merupakan kolaborasi dari keunggulan komparatif kedua negara untuk mendorong produktivitas ekspor dan daya saing,” tuturnya.
Dengan kata lain, melalui economic powerhouse dalam IA-CEPA, diharapkan Indonesia dapat mengejar ketertinggalan pada integrasi dalam rantai pasok global. ”Pemerintah akan terus berupaya meningkatkan daya saing industri dalam negeri dengan meningkatkan kualitas kebijakan yang terkait dengan industri,” ucap Doddy.
Inovasi sektor pertanian
Pelaksana Tugas Direktur Perdagangan, Investasi, dan Kerja Sama Ekonomi Internasional Direktorat Perdagangan, Investasi, dan Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Laksmi Kusumawati menjelaskan, dalam upaya mengoptimalkan manfaat IA-CEPA, dilakukan kerja sama ekonomi dengan salah satu kegiatannya adalah inovasi dan kemitraan sektor pertanian.
Dengan sektor pertanian yang telah berkembang dan teknologi pengolahan makanan yang lebih maju, Australia diharapkan dapat membantu pengembangan industri pertanian Indonesia, termasuk gandum. Kolaborasi ini secara strategis berpotensi untuk mengekspor produk berbasis tepung gandum ke Vietnam, China, Arab Saudi, Thailand, Filipina, dan Jepang.
”Kolaborasi juga bertujuan memberikan kesempatan bagi usaha kecil dan mikro untuk memanfaatkan gandum Australia dalam memproduksi produk roti dan mi. Langkah ini sekaligus meningkatkan kapasitas, standar, dan persyaratan keselamatan dalam pengolahan makanan,” kata Laksmi.
Selain itu, inovasi kemitraan juga untuk meningkatkan riset dan kolaborasi dalam pengolahan gandum dan makanan. Pengolahan ini, termasuk di bidang pengujian organoleptic pangan dan pengujian rasa makanan untuk mendukung terciptanya powerhouse model.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Stefanus Indrayana mengatakan, kolaborasi antarindustri akan difasilitasi oleh Indonesia Food and Innovation Centre (IFIC) atau Yayasan Pusat Inovasi Industri Agro dan Pangan Indonesia. Melalui yayasan ini, hubungan ekonomi Indonesia dan Australia tidak hanya sekadar dagang, tetapi juga kolaborasi komoditas yang bisa saling mendukung industri makanan.
IFIC yang didirikan pada 2017 merupakan perantara inovasi antara Business Innovation Center di Jakarta dan Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation di Canberra. Dalam menjalankan sistem, IFIC akan melibatkan dunia akademi, bisnis, dan pemerintah.
”IFIC juga bekerja sama dengan Sertifikasi Food Processor dengan tujuan memberdayakan pekerja industri pangan dengan sertifikasi. Sertifikasi juga akan memberikan manfaat bagi produktivitas perusahaan karena karyawan memenuhi keamanan pangan, lingkungan, kesehatan, dan keselamatan,” kata Stefanus.
Kepala Bidang Bagian Ekonomi, Perdagangan, dan Investasi Kedutaan Besar Australia Todd Dias juga menyoroti persoalan sertifikasi. Sebab, meskipun dalam IA-CEPA hambatan tarif sudah tidak berlaku, tetap masih ada hambatan nontarif.
”Australia tidak mungkin menurunkan standar, yang mungkin dilakukan adalah bagaimana mengupayakan agar standar produk (Indonesia) ditingkatkan. Dengan begitu, tidak hanya akan diterima Australia, tetapi juga pasar internasional,” ujar Todd.