Profesi nelayan masih kerap menjadi pilihan terakhir dan diidentikkan dengan miskin, kumuh, dan bodoh. Kebijakan kelautan perikanan diharapkan inklusif dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan nelayan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakui bahwa kondisi nelayan di Tanah Air hingga kini masih marjinal. Hal itu ditandai dengan kemiskinan dan minimnya keterampilan. Di sisi lain, pendataan pemerintah terhadap kondisi nelayan masih terbatas, sementara penerapan teknologi informasi belum memadai untuk mendukung peningkatan produktivitas nelayan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini mengungkapkan, profesi nelayan hingga hari ini masih dianggap marjinal. Profesi nelayan kerap menjadi pilihan terakhir.
Nelayan juga kerap diidentikkan dengan miskin, kumuh, dan bodoh. Oleh karena itu, perlu terobosan agar nelayan bisa meningkatkan kapabilitas. ”Sekarang ini profesi nelayan jadi pilihan terakhir, ketika seseorang sudah tidak bisa melakukan kerja lain, dia terpaksa menjadi nelayan. Tugas kita semua untuk mengubah supaya nelayan bukan menjadi profesi yang marjinal,” katanya dalam Seminar Nautica Fest Institut Pertanian Bogor 2020, Senin (2/11/2020).
Di tengah pandemi Covid-19, produksi perikanan tangkap di beberapa wilayah turun, antara lain disebabkan oleh faktor musim tangkapan dan harga yang turun. Daya beli masyarakat yang melemah menyebabkan permintaan ikan turun sehingga harga ikan jatuh.
Akibat penjualan yang sulit, nelayan tidak mampu memenuhi biaya operasional menangkap ikan. Persoalan musim tangkapan dan harga yang jatuh dinilai menjadi persoalan klasik nelayan.
”Harga produk kelautan dan perikanan (yang turun) tidak hanya terjadi sebagai dampak pandemi, tetapi ini masalah turun-temurun. Dari tahun ke tahun (harga ikan) pasti mengalami fluktuasi dan masalah yang sama, yakni kesulitan memasarkan ketika musim dan pasokan berlebih. Sementara itu, fasilitas terbatas. Ini menjadi perhatian Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengatasi penurunan harga,” katanya.
Zaini menambahkan, penggunaan teknologi informasi masih terbatas di sektor perikanan. Dampaknya, basis data nelayan masih minim. Hingga hari ini, pemerintah belum bisa mendata secara akurat jumlah nelayan, alat tangkap yang digunakan, dan ukuran kapal.
Selain itu, sistem informasi untuk pemutakhiran hasil tangkapan ikan masih minim dan tidak merata di pelabuhan perikanan. Dari jumlah pelabuhan perikanan yang hampir 600 pelabuhan di Indonesia, baru 100 pelabuhan yang memiliki sistem informasi pelabuhan. Operasionalnya pun belum optimal.
Pihaknya terus berupaya melakukan pembenahan sistem informasi dan penerapan teknologi informasi untuk memudahkan operasional nelayan dan pemasaran produk perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengemukakan, dampak pandemi covid-19 sangat terasa di perikanan tangkap. Pada triwulan II-2020 terjadi penurunan hampir seluruh produksi dan nilai produk perikanan. Namun, pada triwulan III-2020, kondisi mulai membaik yang ditandai kenaikan produksi dan peningkatan harga. Nilai tukar nelayan juga berangsur membaik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai tukar nelayan per Oktober 2020 yakni 100,73 atau naik tipis dibandingkan September 2020, yakni 100,72. ”Pembelajaran dari pandemi Covid-19, kami melakukan inovasi pelayanan publik dengan sistem yang lebih adaptif,” kata Edhy.
Edhy menambahkan, salah satu kebijakan yang berubah adalah terkait perizinan, yakni melalui pemangkasan birokrasi perizinan. Selama ini, tidak ada kepastian dalam pengurusan izin, proses perizinan bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Saat ini izin perikanan hanya 1 jam jika dokumen dan persyaratan lengkap.
Rektor IPB University Arif Satria mengemukakan, kebijakan kelautan dan perikanan diharapkan menghadirkan sistem yang inklusif, di mana nelayan kecil hingga besar bisa ikut terlibat dalam pengelolaan sumber daya ikan. Selain itu, peningkatan daya saing melalui pengembangan digitalisasi perikanan.
Di sisi lain, perikanan berkelanjutan yang merupakan komitmen global harus didorong untuk memajukan sektor perikanan. ”Prinsipnya, nelayan kecil harus dilindungi dan nelayan besar harus didorong untuk memanfaatkan sumber daya ikan,” katanya.
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani setiawan mengemukakan, profesi nelayan seolah marjinal secara ekonomi. Akan tetapi, nelayan kecil yang mendominasi pelaku usaha perikanan tangkap menjadi kontributor penting untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan negara.
Sebanyak 97 persen dari total 2 juta nelayan adalah nelayan kecil. Sebanyak 80-90 persen hasil produksi nelayan kecil untuk konsumsi kebutuhan dalam negeri. Menurut Dani, produksi perikanan Indonesia yang besar tidak bermakna jika sebagian besar pelakunya marjinal secara sosial dan ekonomi.
Ia menambahkan, jika pemerintah serius menggerakkan sektor perikanan, diperlukan kebijakan agar pelaku usaha UMKM di sektor perikanan bisa diberdayakan sehingga naik kelas dan berperan lebih besar dalam perekonomian nasional. Upaya yang perlu dilakukan antara lain kemudahan akses permodalan dan BBM bersubsidi.