Nelayan tradisional masih berharap pemerintah berpihak kepada mereka dengan melarang alat tangkap merusak lingkungan, termasuk cantrang yang kini kembali marak digunakan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesejahteraan nelayan yang kembali terpuruk tidak hanya disebabkan oleh dampak dari pandemi Covid-19, tetapi akibat penggunaan trawl atau pukat harimau serta cantrang yang mulai kembali marak. Nelayan tradisional masih menaruh harapan pada keberpihakan pemerintah meski dinilai sulit.
Sepanjang 2020, nilai tukar nelayan (NTN) yang mengindikasikan tingkat kesejahteraan nelayan cenderung menurun. Badan Pusat Statistik mencatat, NTN bahkan sempat berada di bawah angka 100 dari April hingga Juni, mulai dari 98,49, 98,69, hingga 99,22.
Meski pada September mencatatkan peningkatan 0,34 menjadi 100,72, tetapi tetap lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni 114,79. Besaran NTN yang kurang dari 100 mengindikasikan, pendapatan nelayan lebih rendah dari indeks harga yang dibayar nelayan.
Pada sisi lain, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan kini sudah berbeda. Peluang kembali dibukanya izin delapan alat tangkap yang sebelumnya dilarang membuat kepercayaan nelayan tradisional runtuh.
Sebelumnya, pelarangan penggunaan sejumlah alat tangkap ikan, termasuk cantrang, diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Selain itu, diatur juga dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Namun, penggunaan delapan alat tangkap ikan baru kembali diizinkan. Perizinan diatur melalui Instruksi Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B.717/MEN-KP/11/2019 tentang Kajian terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Delapan alat tangkap ikan tersebut yakni pukat cincin pelagis kecil dengan dua kapal, pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal, paying, cantrang, pukat hela dasar udang, pancing berjoran, pancing cumi mekanis (squid jigging), dan huhate mekanis.
Achmad Dany (23), nelayan di Desa Gedongmulyo, Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, menceritakan, akhir-akhir ini ia kembali melihat penggunaan trawl semakin marak. Akibatnya, ikan-ikan kecil serta terumbu karang pun mati dan hancur.
Pendapatan hasil laut, diakuinya, menurun drastis. Awalnya, dalam sekali melaut ia mampu menjaring hingga 10 kilogram cumi-cumi dan rajungan, tetapi sekarang hanya 2 kilogram. Harga juga turut terimbas dari Rp 80.000 per kilogram menjadi hanya Rp 25.000 per kilogram.
”Semenjak ada trawl, semua (ikan, cumi-cumi, rajungan, dan terumbu karang) pada mati, apalagi sekarang mulai masuk musim hujan jadi semakin sulit mencari hasil laut. Jaring nelayan juga pada rusak akibat trawl,” ujarnya.
Bahkan, tak jarang ia menyaksikan terjadi ”kongkalikong” antara aparat setempat dan pengurus nelayan. ”Kalau mau diadakan operasi (penertiban) penggunaan trawl, pengurus nelayan sudah diberi tahu oleh aparat. Jadinya kalau ada operasi ya enggak akan ada yang ketangkap,” kata Dany.
Sudah lima tahun terakhir Dany menjadi nelayan mengikuti jejak ayahnya. Ia berharap pemerintah dapat benar-benar menertibkan penggunaan trawl agar kegiatan melaut dapat kembali berjalan lancar.
Tidak ada tawar-menawar
Sekretaris Jenderal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Iin Rohimin menyampaikan, penggunaan cantrang, trawl, dan alat tangkap lain yang merusak lingkungan harus dilarang. Sebab, bukan hanya nelayan tradisional yang terganggu, melainkan ekosistem lautan pun terdampak.
”Kami tetap konsisten sejak awal, cantrang trawl, dan alat tangkap yang merusak lingkungan, itu wajib hukumnya untuk dilarang, tidak boleh ada tawar-menawar lagi. Kalau perusakan ini dibiarkan, kerusakan laut di masa mendatang akan semakin parah,” ujarnya.
Upaya lain untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dapat dilakukan dengan memberdayakan nelayan tangkap menjadi nelayan budidaya. Dengan begitu, para nelayan tidak lagi hanya bergantung pada hasil tangkap.
”Nelayan kecil kita sejak zaman nenek moyang hingga sekarang itu mentalnya memanen, tidak pernah memikirkan kapan mau menanam. Kami usulkan agar ada alih profesi yang tangkap menjadi budidaya, misalnya membudidayakan kerapu dengan sistem keramba,” tutur Iin.
Pemerintah didorong untuk hadir bagi nelayan kecil dalam mewujudkan pembuatan keramba, mulai dari teknologi, sarana dan prasarana, hingga bibit. Harus ada perubahan cara pandang juga dari nelayan yang selama ini melaut tetapi tidak untung karena modal yang besar.
Selain itu, dalam upaya menjaga keberlangsungan suplai ikan dan hasil laut, Iin menyarankan agar pemerintah membuat ”bulog” hasil laut. Tujuannya, untuk membeli dan menampung hasil tangkap nelayan kecil.
Melalui cara ini, ketersediaan pasokan dan harga ikan dapat lebih stabil. Ketersediaan gudang berpendingin (cold storage) juga menjadi salah satu faktor penting untuk menjaga kualitas hasil tangkap nelayan.
”Selama ini, kan, begitu pulang dari laut, nelayan hanya bisa menjual kepada tengkulak dengan harga yang ditentukan, belum lagi nelayan terjerat utang dengan mereka. Maka, kiranya koperasi-koperasi nelayan kecil bisa diberdayakan untuk menyejahterakan nelayan,” kata Iin.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo meminta pihak-pihak yang tidak setuju dengan rencana legalisasi cantrang untuk memberikan masukan secara langsung kepadanya. Menurut dia, legalisasi cantrang dilakukan untuk menyejahterakan nelayan.