Tanpa kebijakan afirmatif, nelayan kecil dan nelayan tradisional akan selalu kalah dan terpinggirkan.
Oleh
Sharon Patricia/Erika Kurnia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nelayan kecil dan tradisional mengharapkan adanya keberpihakan dan kebijakan afirmatif yang bisa melindungi kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Tanpa kebijakan afirmatif, nelayan kecil yang menggunakan alat tangkap sederhana tak mungkin bisa bersaing dengan kapal-kapal besar yang menggunakan pukat dan cantrang.
Sekretaris Jenderal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Iin Rohimin pekan lalu mengatakan, penggunaan cantrang dan pukat yang makin tidak terkendali dalam setahun terakhir ini telah menyengsarakan nelayan kecil. Kapal cantrang dan pukat berukuran besar kerap menebar jaring hingga ke perairan dangkal tempat para nelayan kecil mencari ikan. Dampaknya, tangkapan nelayan kecil pun terganggu.
”Tak hanya merugikan nelayan tradisional, ekosistem lautan pun akan terdampak. Cantrang, pukat, dan alat tangkap lainnya yang merusak lingkungan harus dilarang, tidak boleh ada tawar-menawar,” katanya.
Iin juga mendesak pemerintah membentuk sistem penyangga seperti yang dilakukan Bulog untuk menjaga harga ikan di tingkat nelayan agar tidak selalu jatuh. Ketersediaan gudang berpendingin (cold storage) yang cukup di sentra-sentra perikanan juga dibutuhkan untuk menjaga kualitas hasil tangkapan nelayan.
”Selama ini, kan, begitu pulang dari laut, nelayan hanya bisa menjual kepada tengkulak dengan harga yang ditentukan tengkulak karena nelayan umumnya terjerat utang kepada mereka,” kata Iin.
Achmad Dany (23), nelayan kecil dari Desa Gedongmulyo, Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, juga berharap pemerintah menertibkan kapal-kapal pukat dan cantrang sehingga nelayan kecil seperti dirinya bisa melaut dengan tenang dan menghasilkan.
Tak hanya kapal pukat dari dalam negeri, nelayan juga terganggu oleh kapal-kapal pukat asing berukuran besar yang banyak bermunculan di perairan Nusantara dalam setahun terakhir.
Andahar (42), nelayan kecil di Anambas, Kepulauan Riau, mengatakan, masuknya kapal ikan asing ke perairan tempat nelayan kecil mengais rezeki sangat merugikan dia dan teman-temannya yang hanya menggunakan kapal 2 gross tonnage (GT) dan pancing ulur.
”Hampir setiap kami melaut, kami ketemu kapal ikan asing di perairan Anambas,” katanya. Menurut dia, kapal ikan asing itu kebanyakan dari Vietnam.
Ketua Aliansi Nelayan Kabupaten Natuna Kepulauan Riau Hendri mengatakan, kapal pukat asing kini membanjiri Laut Natuna Utara.
”Kami merasakan ada pembiaran terhadap kapal ikan asing. Memang beberapa kali ada operasi penangkapan, tetapi intensitasnya jauh berkurang dibanding dulu. Nelayan melihat, semakin lama kapal asing semakin banyak,” kata Hendri, Senin (26/10/2020).
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra mengkhawatirkan, jika persoalan pukat dan cantrang tak segera diselesaikan, konflik dengan nelayan akan semakin meluas.
Pada 3 September 2020, sekitar 800 nelayan Anambas berunjuk rasa di depan gedung DPRD setempat menuntut pemerintah daerah agar bertandang ke Jakarta untuk menyampaikan keresahan nelayan. Berikutnya pada 15 September 2020, warga menangkap sebuah kapal purse seine yang beroperasi di perairan yang berjarak 4 mil dari garis pantai Pulau Matak.
Sehari berselang, sekitar 80 kapal berbagai ukuran antara 70-150 GT mendatangi perairan Tarempa, pusat Kabupaten Kepulauan Anambas. ”Sekitar 150 nelayan Anambas menjemput mereka pakai 70 perahu,” kata Dedi.
Sementara di perairan Tambelan, Kabupaten Bintan, kapal cumi bahkan dibakar nelayan. Ketua HNSI Tambelan Syamsuddin menuturkan, pembakaran kapal cumi berukuran 25 GT itu terjadi pada 2 April 2020. Sebelumnya, warga melaporkan kapal dari Kabupaten Karimun itu beroperasi di perairan kurang dari 4 mil selama seminggu.
Menggunakan lima kapal kayu kecil (pompong), warga menggiring kapal cumi itu ke pelabuhan terdekat. ”Tujuan sebenarnya untuk diselesaikan secara baik-baik. Namun, setelah sampai di darat, waktu yang jemput sedang tidur, warga lain ramai-ramai membakar kapal itu,” ucap Syamsuddin.
Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana mengatakan, legalisasi cantrang dan pukat jelas merupakan kebijakan yang tidak berpihak kepada nelayan kecil dan tradisional.
”Tanpa keberpihakan, nelayan kecil akan selalu kalah dan sumber daya ikan cenderung akan dikuasai kapal-kapal besar yang dimiliki korporasi,” kata Suhana.
Suhana juga mempertanyakan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengizinkan kembali kapal eks asing beroperasi. Padahal, berdasarkan analisis dan evaluasi yang dilakukan Satgas 115 pada 2015, 100 persen kapal eks asing terbukti melakukan pelanggaran, seperti penangkapan ikan ilegal, perbudakan, transhipment, penghindaran pajak, transaksi BBM secara ilegal, berbendera ganda, dan mark down ukuran kapal.
”Karena berbagai pelanggaran itulah, sejak 2015 seluruh izin kapal eks asing dicabut. Kenapa, kok, sekarang mau diizinkan kembali,” kata Suhana.
Adapun terkait maraknya kembali pencurian ikan oleh kapal asing, Suhana menilai itu terjadi karena pemerintah tak lagi menerapkan hukuman berupa penenggelaman kapal. Padahal, penenggelaman kapal telah terbukti menimbulkan efek jera.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Mohammad Zaini mengatakan, pengawasan terhadap operasional cantrang dan sejenisnya akan dilakukan, antara lain, dengan mewajibkan kapal cantrang dan sejenisnya memakai perangkat sistem monitor kapal (VMS).
Penggunaan cantrang tidak boleh mengganggu alat tangkap nelayan kecil yang sifatnya pasif. Kapal cantrang yang melanggar zonasi penangkapan akan dikenai sanksi pidana sesuai RUU Cipta Kerja.
Terkait dihidupkannya kembali operasional kapal-kapal buatan luar negeri atau kapal eks asing, Zaini menilai, ada perbedaan mendasar antara kapal buatan luar negeri dan kapal asing. Kapal buatan luar negeri dibuat di luar negeri, dimiliki orang Indonesia dan didaftarkan di Indonesia sehingga kapal berbendera Indonesia.
Adapun kapal asing dimiliki sepenuhnya oleh asing dan didaftarkan di negara asalnya. Sebaliknya, kapal buatan dalam negeri yang dibeli oleh pemodal asing tergolong sebagai kapal asing.
”Kita tidak bisa menutup kapal buatan luar negeri. Kapal dibeli dari luar negeri, dimiliki pelaku usaha dalam negeri, dan menggunakan anak buah kapal Indonesia, kenapa harus dilarang? Memang (izin) harus diperketat,” katanya.
Di sisi lain, Zaini mengatakan pihaknya akan melakukan penelusuran transaksi pembelian kapal buatan luar negeri. ”Rekening pembeli kapal akan ditelusuri. Jika tidak ada bukti transfer pembelian kapal buatan luar negeri, besar kemungkinan transaksi pembelian itu hanya pura-pura dan kapal itu bukan miliknya, melainkan milik pemodal asing yang menitip (kapal),” kata Zaini.