Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mengubah sejumlah hal terkait kawasan ekonomi khusus atau KEK. Salah satu perubahannya, kekhususan di dalam KEK dihilangkan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kawasan ekonomi khusus dalam RUU Cipta Kerja tidak harus berorientasi ekspor. Pengembangan kawasan ekonomi khusus diutamakan untuk menggerakkan perekonomian daerah dan mencukupi permintaan domestik.
Dalam RUU Cipta Kerja, usaha di kawasan ekonomi khusus (KEK) akan berbasis kegiatan bukan satu zona tertentu. Kegiatan usaha harus mencakup produksi dan pengolahan, logistik dan distribusi, pengembangan teknologi, pariwisata, pendidikan, kesehatan, energi, atau ekonomi lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, KEK terdiri dari satu atau beberapa zona, yakni pengelolaan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi, atau ekonomi lain.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio, menuturkan, KEK tidak lagi berorientasi ekspor karena peran pengelolaan ekspor dalam RUU Cipta Kerja dihilangkan. Ke depan, KEK harus meliputi delapan kegiatan usaha untuk menggerakkan perekonomian daerah.
”KEK awalnya dikembangkan agar bagaimana sumber daya alam dapat dihilirisasi untuk tujuan ekspor. Namun, kenyataannya, ekspor masih barang setengah jadi sehingga Indonesia balik mengimpornya ketika sudah menjadi barang jadi,” kata Andry dalam diskusi bertema solusi perbaikan kawasan ekonomi dan proyek pemerintah, Senin (2/11/2020).
Berdasarkan data Dewan Nasional KEK per Februari 2020, ada 11 KEK yang telah beroperasi dan 4 KEK dalam tahap pembangunan. Sebagian besar KEK difokuskan pada pengolahan sumber daya alam, seperti kelapa sawit, bauksit, karet, kayu, nikel dan biji besi, perikanan, serta perkebunan.
Selama ini pembangunan KEK dinilai belum berdampak signifikan bagi perekonomian daerah. Hal ini tecermin dari tingkat kemiskinan, ketimpangan, dan penciptaan lapangan kerja. Bahkan, di beberapa daerah, kawasan industri dan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas lebih diminati ketimbang KEK.
Andry mengatakan, kebijakan KEK tidak harus berorientasi ekspor tetap menguntungkan apabila investasi yang masuk perusahaan barang jadi. Untuk menarik perusahaan barang jadi, KEK harus menawarkan biaya logistik yang efisien, akses energi terjangkau, dan kecukupan bahan baku.
”Jika ketiga hal itu bisa dipenuhi, perusahaan barang jadi akan mempertimbangkan berinvestasi di Indonesia untuk memangkas biaya ekspor, seperti bea masuk yang mahal,” kata Andry.
Untuk menarik perusahaan barang jadi, KEK harus menawarkan biaya logistik yang efisien, akses energi terjangkau, dan kecukupan bahan baku.
Dalam RUU Cipta Kerja, daya tarik KEK juga ditingkatkan melalui berbagai kemudahan dan pemberian insentif, seperti pembebasan atau penangguhan bea masuk untuk impor bahan baku, bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang konsumsi, dan kemudahan perizinan.
Kekhususan diubah
Dihubungi terpisah, Senin, Sekretaris Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Enoh Suharto Pranoto mengatakan, RUU Cipta Kerja mengubah kekhususan yang selama ini dilekatkan pada KEK. Salah satu kekhususan yang berubah terkait pelayanan perizinan. Administrator bukan lagi bagian dari dewan kawasan yang dibentuk untuk setiap KEK.
Mengutip Pasal 1 Ayat 5 RUU Cipta Kerja, administrator akan berbentuk unit kerja yang bertugas menyelenggarakan perizinan berusaha, pelayanan, dan pengawasan di KEK. Seluruh perizinan diberikan oleh administrator berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dari kementerian/lembaga.
”Pegawai yang memberikan izin harus profesional. Perekrutan pegawai dibuka untuk non-aparatur sipil negara,” kata Enoh.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menambahkan, RUU Cipta Kerja paling tidak akan mengatasi empat hambatan investasi, termasuk di KEK. Keempat hambatan itu terkait tumpang tindih regulasi pusat daerah, ketidakpastian proses birokrasi, efisiensi industri, dan koordinasi antarpemangku kebijakan.
Menurut Hariyadi, RUU Cipta Kerja memberikan komando yang jelas karena seluruh kebijakan berusaha diserahkan ke pusat. Tidak ada lagi birokrasi rumit di tingkat daerah, bahkan potensi pungutan liar. Namun, berbagai reformasi kebijakan harus dibarengi perbaikan institusi birokrasi.
Keempat hambatan itu terkait tumpang tindih regulasi pusat daerah, ketidakpastian proses birokrasi, efisiensi industri, dan koordinasi antarpemangku kebijakan.