Sebagai upaya memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil, pelaku usaha dapat dilibatkan dengan menyerap hasil tangkap mereka.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 seolah menjadi ombak susulan yang mengguncang nelayan kecil. Mereka semakin sulit mencari ikan karena penggunaan cantrang, pukat harimau, dan alat tangkap lain yang merusak ekosistem laut makin marak.
Data Badan Pusat Statistik yang dikutip pada Minggu (1/11/2020) menunjukkan, sepanjang 2020, nilai tukar nelayan (NTN) yang mengindikasikan tingkat kesejahteraan nelayan cenderung menurun. Bahkan, NTN sempat berada di bawah angka 100 dari April hingga Juni, yakni 98,49, 98,69, dan 99,22.
September lalu, terjadi peningkatan NTN 0,34 menjadi 100,72, tetapi tetap lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni 114,79. Besaran NTN yang kurang dari 100 mengindikasikan, pendapatan nelayan lebih rendah dari indeks harga yang dibayar nelayan.
Koalisi Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan dalam surveinya juga menunjukkan, para nelayan menghadapi tantangan penurunan volume penjualan hasil tangkapan di masa pandemi Covid-19. Kondisi ini tentu berdampak pada penurunan pendapatan. Hasil survei yang dilakukan pada Mei hingga Juni 2020 ini mencatat, terjadi penurunan volume penjualan hasil tangkapan sebesar 21 persen. Sebelum Covid-19, persentase keseluruhan tangkapan yang terjual mencapai 93 persen tetapi sekarang menurun menjadi 72 persen.
Sebagian besar dari responden (90 persen dari total responden sebanyak 2.068 orang) menyatakan, mereka mengalami penurunan pendapatan di masa pandemi. Mayoritas responden merupakan nelayan kecil tradisional yang berada di lima kampung nelayan, yakni Aceh, Medan, Semarang, Gresik, dan Lombok Timur.
Achmad Dany (23), nelayan di Desa Gedongmulyo, Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, menceritakan, sudah tiga bulan terakhir dirinya jarang melaut. Harga jual yang anjlok membuatnya berpikir ulang ketika hendak melaut.
Berbeda dengan lima tahun lalu saat dirinya mulai menjadi nelayan, kini hanya diperoleh sekitar 2 kilogram (kg) cumi-cumi dan rajungan dari keadaan normal bisa menjaring hingga 10 kg. Harga pun dikatakan turun drastis, dari Rp 80.000 per kg sekarang tinggal Rp 25.000 per kg. ”Hasil laut dijualnya ke tengkulak jadi harga memang semau mereka. Padahal, nyarinya susah tapi dijualnya murah,” kata Dany saat dihubungi Kompas.
Tantangan lain, kata Dany, ikan-ikan kecil dan terumbu karang di daerah Rembang sudah hancur akibat penggunaan pukat harimau (trawl) oleh nelayan besar. Akibatnya, hasil laut untuk ditangkap pun semakin sedikit.
”Trawl itu juga merusak jaring nelayan-nelayan kecil kayak saya. Waktu itu dijanjiin (oleh pengguna trawl) bakal diganti rugi, tetapi kenyataannya sampai sekarang enggak diganti juga,” ujarnya.
Berdayakan nelayan kecil
Kegusaran nelayan salah satunya ditangkap oleh Yasinta Inna Salsabila (23), pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan nama usaha Yamois Indo Prima. Sudah lima tahun terakhir, ia membeli ikan secara langsung dari nelayan kecil untuk memenuhi bahan pembuatan siomai.
Perempuan yang biasa disapa Sinta menyampaikan, upaya ini sekaligus meningkatkan kesejahteraan nelayan. Terlebih di tengah pandemi yang mengakibatkan pendapatan nelayan menurun.
Selama ini, kapal-kapal besar mampu menangkap ikan tuna sirip kuning untuk kebutuhan pabrik, bahkan ekspor. Sementara hasil tangkap dari nelayan kecil yang menggunakan kapal di bawah 30 gros ton (GT) tidak lagi diterima pabrik.
”Para nelayan kecil itu butuh pemasaran. Kalau cuma dapat satu ekor, mau dijual ke mana. Jadi kami kerja sama dengan bapak-bapak nelayan untuk menampung hasil tangkap mereka,” kata Sinta yang menjalankan usaha di Kota Malang, Jawa Timur.
Tidak hanya membeli, nelayan kecil yang menjadi pemasok Yamois Indo Prima juga diberikan edukasi. Mulai dari ukuran ikan yang layak untuk dikonsumsi hingga jenis-jenis ikan yang tidak boleh ditangkap.
”Saya bilang ke para nelayan, enggak terima ikan yang dilindungi, misalnya ikan hiu dan ikan napoleon. Selain itu, kami edukasi agar nelayan menangkap ikan tenggiri dengan berat di atas 5 kg yang artinya sudah bereproduksi sehingga tahun depan bisa panen lagi,” tuturnya.
Kepastian pasar yang diciptakan Sinta disambut baik para nelayan. Kini, mereka berlomba menangkap ikan dengan ukuran besar sehingga pendapatan yang diperoleh pun semakin besar.
”Kalau lagi musim panen, nelayan bisa mengirim ikan hingga 3 mobil pikap seminggu sekali. Untuk harganya saya yang tentukan, misalnya ikan A dibeli seharga Rp 20.000 per kg, tetapi kalau lagi enggak musim panen saya beli Rp 25.000 per kg supaya nelayan tetap sejahtera,” kata Sinta.
Tidak sepanjang hari nelayan dapat melaut, Sinta menjelaskan, ada masanya nelayan melakukan Petik Laut yang merupakan ritual ucapan syukur kepada Tuhan. Maka, sebagai upaya menjaga suplai ikan, jumlah hasil tangkap yang berlimpah saat musim panen dibekukan sebagai stok.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menyampaikan, dalam masa pandemi, menjaga suplai ikan sangat penting, baik bagi nelayan tangkap maupun nelayan budidaya.
Pemerintah, kata Rusli, harus memberikan modal kerja agar para nelayan mau kembali melaut dan membudidayakan ikan. Tujuannya, selain menciptakan kesejahteraan bagi nelayan juga agar siklus produksi tidak terhenti sehingga mengantisipasi inflasi.
”Penyediaan cold storage (gudang pendingin) bagi nelayan harus diperbanyak untuk menampung sementara ikan hasil tangkapan sebelum dijual ke pasaran. Kalau ada cold storage, nelayan tidak perlu takut hasil tangkapnya membusuk dan merugi karena bisa dibekukan,” ujar Rusli.
Keberpihakan pada nelayan kecil harus dilakukan untuk menjaga semangat mereka melaut. Dengan begitu, meski di tengah ombak pandemi dan penggunaan cantrang serta pukat harimau yang belum surut, nelayan dapat tetap menyerukan Jalesveva Jayamahe, di lautan kita jaya.