Pandemi bisa menjadi momentum pembenahan investasi dan ketenagakerjaan agar berjalan berdampingan atau tidak berat sebelah. Harapannya, kemudahan berinvestasi bisa berjalan baik dan perlindungan buruh juga terwadahi.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Pada 21 Oktober 2020, Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengingatkan setiap negara di dunia untuk menggarap sektor ketenagakerjaan secara lebih serius. WEF menyatakan, digitalisasi dan pandemi Covid-19 yang juga menyebabkan resesi telah mendisrupsi tenaga kerja dan lapangan kerja.
Dalam laporan hasil survei bertajuk ”Future of Jobs Report 2020”, WEF menyebutkan, digitalisasi dan pandemi Covid-19 telah mendisrupsi tenaga kerja dan lapangan kerja. Pada 2025, WEF memperkirakan, 85 juta pekerja akan tergantikan oleh mesin. Namun, sebanyak 97 juta lapangan kerja akan muncul dan lebih disesuaikan dengan pembagian kerja baru antara manusia, mesin, dan algoritma.
Rata-rata perusahaan yang menjadi responden memperkirakan, 40 persen pekerja akan memerlukan pelatihan ulang selama enam bulan atau kurang dan 94 persen pemimpin bisnis berharap agar karyawan mengambil keterampilan baru saat bekerja.
Pada 2025, WEF memperkirakan, 85 juta pekerja akan tergantikan oleh mesin.
Laporan tersebut juga menunjukkan, 55 persen perusahaan ingin mendorong transformasi sumber daya manusia, 43 persen akan mengurangi tenaga kerja, 34 persen ingin memperluas tenaga kerja sebagai hasil dari integrasi teknologi yang lebih dalam, dan 44 persen ingin memperluas penggunaan pekerja kontrak untuk sejumlah pekerjaan khusus.
Namun, survei tersebut juga menyebutkan, hanya 21 persen pebisnis di seluruh dunia yang dapat menggunakan dana publik untuk program peningkatan keterampilan dan kompetensi pekerja.
Managing Director WEF Saadia Zahidi menyatakan, otomatisasi yang semakin cepat dan resesi akibat dampak Covid-19 telah memperdalam ketidaksetaraan yang ada di pasar tenaga kerja. Kondisi ini telah membalikkan serapan tenaga kerja dan penciptaan pekerjaan yang dibuat sejak krisis keuangan global pada 2007-2008.
Kondisi itu merupakan disrupsi ganda yang menghadirkan rintangan lain bagi pekerja. Pandemi telah berdampak secara tidak proporsional pada jutaan pekerja berketerampilan rendah. Untuk itu, WEF menekankan pentingnya setiap negara menyediakan jaring pengaman yang lebih kuat bagi para pekerja, meningkatkan sistem pendidikan dan pelatihan, serta menciptakan insentif untuk investasi di pasar dan pekerjaan di masa depan.
Kondisi itu merupakan disrupsi ganda yang menghadirkan rintangan lain bagi pekerja. Pandemi telah berdampak secara tidak proporsional pada jutaan pekerja berketerampilan rendah.
Di Indonesia, isu ketenagakerjaan terus bergulir dari waktu ke waktu. Belum tuntas pro dan kontra Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang digarap serba cepat, muncul pula polemik tentang upah minimum 2021 dan kedatangan tenaga kerja asing asal China. Persoalan itu semakin menambah kepelikan sektor ketenagakerjaan yang tengah terimbas disrupsi teknologi dan pandemi.
Kini, regulasi sapu jagat (omnibus law) itu tengah dalam proses diundangkan. Dengan UU itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI optimistis, investasi bakal menyerap tenaga kerja di Indonesia. Pemerintah berjanji, UU Cipta Kerja akan hadir bagi 2,92 juta anak muda yang baru mencari kerja dan 6 juta pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja di tengah pandemi.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bahkan menyebut, prospek investasi ke depan akan semakin membaik seiring implementasi UU itu. Akan ada 153 perusahaan asing dan domestik yang siap berinvestasi pada 2021. Pada tahun depan, BKPM memperkirakan, dengan target investasi Rp 886 triliun, sebanyak 1,3 juta tenaga kerja bisa terserap.
Namun, pemerintah perlu mencermati pula data peningkatan investasi yang tak berbanding lurus dengan serapan tenaga kerja. BKPM mencatat, pada 2015, realisasi investasi Indonesia Rp 545,4 triliun. Kemudian pada 2018 dan 2019, realisasinya masing-masing Rp 721,3 triliun dan Rp 809,6 triliun.
Adapun pada 2015, jumlah tenaga kerja yang terserap 1,44 juta orang. Pada 2018, serapan itu turun menjadi 959.500 orang dan pada 2019 menjadi 1,03 juta orang. Disebutkan pula, per Rp 1 triliun nilai investasi pada 2010, tenaga kerja yang terserap 5.014 orang. Pada 2019, penyerapan tenaga kerja per Rp 1 triliun nilai investasi itu berkurang menjadi 1.600 orang.
Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk membenahi sektor investasi dan ketenagakerjaan agar berjalan berdampingan atau tidak berat sebelah. Harapannya, kemudahan berinvestasi bisa berjalan baik dan perlindungan buruh juga terwadai. Hal ini memerlukan pembenahan sektor investasi di bidang teknologi dan tenaga kerja serta visi-strategi baru dan kebijakan ketengakerjaan yang lebih terintegrasi dengan industri, terutama padat karya.
Pemerintah telah memiliki program pendidikan vokasi yang bisa terus digulirkan. Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, pemerintah juga memiliki program Kartu Prakerja. Manfaatkan baik-baik program ini untuk memberikan tambahan keterampilan para pekerja yang di-PHK. Dan satu hal lagi, jangan lupa akan janji serapan dan memberikan akses pekerjaan bagi para penganggur dan pekerja yang di-PHK.