Memaksakan pasar kerja yang lebih fleksibel saat mayoritas tenaga kerja masih berketerampilan rendah dan minim perlindungan ibarat mendorong pekerja untuk mendadak terjun bebas tanpa persiapan dan pengamanan memadai.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Melenturkan aturan yang kaku guna menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja. Begitulah napas utama Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang digaungkan pemerintah. Regulasi sapu jagat yang kini tengah dalam proses diundangkan itu menuai banyak kritik, salah satunya muatan substansinya di kluster ketenagakerjaan.
Kesan itu muncul saat membaca substansi kluster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja versi draf mana pun. Produk legislasi sapu jagat yang kini tinggal menunggu dinomori itu hendak mendorong fleksibilitas pasar tenaga kerja untuk menarik lebih banyak investasi dan menciptakan lapangan kerja.
Pemerintah tidak membantah kesan itu. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dalam wawancara dengan Kompas, pekan lalu, membenarkan, sejumlah aturan sengaja dilenturkan untuk mengikuti dinamika perkembangan pasar tenaga kerja global yang tinggi.
Indikasinya bisa dilihat dari sejumlah pasal di RUU yang tidak lagi tegas mengatur batasan waktu kontrak bagi pekerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), menghapus pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsource), formulasi upah yang lebih terjangkau, serta pemutusan hubungan kerja yang relatif lebih mudah baik dari sisi pesangon maupun persyaratan.
Mewujudkan pasar kerja fleksibel yang adil dan efektif tidak semudah merevisi regulasi secepat kilat. Kajian Centre for European Studies pada 2013, yang mencontohkan Jerman sebagai negara yang sukses lepas dari jerat pengangguran lewat pasar kerja fleksibel, menyoroti beberapa syarat penting agar reformasi struktural pasar kerja berlangsung adil dan efektif.
Antara lain, peningkatan keterampilan dan pendidikan pekerja, serta kebijakan sosial untuk melindungi pekerja. Kedua hal itu menjadi modal dasar untuk menyiapkan pekerja memasuki pasar kerja yang kompetitif dengan akses, posisi tawar, dan perlindungan yang kuat.
Konsep flexicurity ini marak digunakan di negara maju. Model ini muncul untuk menjawab efek samping dari pasar kerja fleksibel, yakni seiring dengan keberhasilan menurunnya angka pengangguran, semakin banyak pula pekerja temporer/kontrak yang hidup dengan upah rendah dan perlindungan minim.
Peningkatan keterampilan dan pendidikan pekerja, serta kebijakan sosial untuk melindungi pekerja menjadi modal dasar untuk menyiapkan pekerja memasuki pasar kerja yang kompetitif dengan akses, posisi tawar, dan perlindungan yang kuat.
Lantas, apakah Indonesia siap memasuki pasar kerja fleksibel? Saat ini, peningkatan keterampilan dan perlindungan tenaga kerja masih menjadi kendala. Bahkan, dengan regulasi yang berlaku saat ini pun, masih banyak pekerja yang tidak mendapat hak dan perlindungan layak.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional 2019 oleh Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, mayoritas pekerja di Indonesia masih menerima upah di bawah standar minimum. Di DKI Jakarta, pada 2019, 51 persen pekerja dibayar di bawah upah minimum provinsi. Di Surabaya dan sekitarnya, sekitar 60 persen pekerja digaji di bawah standar minimum.
Perlindungan dasar berupa jaminan sosial pekerja juga kerap tidak dipenuhi. BP Jamsostek mencatat, per Juli 2020, tenaga kerja yang memiliki jaminan perlindungan sosial baru 53 persen atau 49,7 juta orang dari total 92,4 juta tenaga kerja yang seharusnya menjadi peserta BP Jamsostek.
Saat ini, peningkatan keterampilan dan perlindungan tenaga kerja masih menjadi kendala. Bahkan, dengan regulasi yang berlaku saat ini pun, masih banyak pekerja yang tidak mendapat hak dan perlindungan layak.
Nasib lebih malang dihadapi pekerja kontrak dan alih daya. Kajian oleh Yayasan Akatiga bersama lembaga Friedrich-Ebert Stiftung Indonesia dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia pada 2010 menunjukkan, praktik hubungan kerja kontrak dan alih daya kerap membawa efek eksploitatif terhadap buruh.
Rata-rata upah total buruh kontrak lebih rendah 17 persen dari upah buruh tetap dan rata-rata upah total buruh alih daya lebih rendah 26 persen dari upah buruh tetap. Hanya segelintir pula pekerja kontrak dan alih daya yang menjadi anggota serikat pekerja sehingga posisi tawar mereka dalam pola hubungan industrial lebih lemah.
Di sisi lain, Indonesia masih didominasi pekerja berketerampilan rendah (low-skilled). Fleksibilitas pasar kerja berpotensi memperlebar ketimpangan antara tenaga kerja terampil (high-skilled) dan tenaga kerja tidak terampil. Masyarakat berketerampilan rendah, yang berarti mayoritas angkatan kerja Indonesia, berpotensi terjebak dalam situasi upah rendah, perlindungan minim, serta posisi tawar yang lemah.
Terburu-buru
Alih-alih menuntaskan pekerjaan rumah dan menyiapkan modal dasar, pemerintah dan DPR terburu-buru melenturkan regulasi. Memang, kelonggaran itu berusaha diseimbangkan dengan memasukkan kewajiban pengusaha membayar kompensasi bagi pekerja PKWT ketika kontraknya berakhir.
Namun, RUU Cipta Kerja tetap tidak menjawab masalah utama, yakni memberikan jaminan kepastian bagi pekerja kontrak. Tanpa batasan waktu, pekerja bisa terus-menerus dikontrak untuk waktu lama. Penghapusan batasan jenis pekerjaan alih daya juga mengkhawatirkan kalangan buruh karena membuka peluang segala jenis pekerjaan dapat dialihdayakan.
Sementara tidak ada aturan tegas dalam RUU yang menjamin pekerja kontrak dan alih daya akan mendapatkan hak, upah, dan perlindungan jaminan sosial selama ia menjalankan kontrak kerja, selayaknya pekerja tetap. Besaran kompensasi untuk pekerja PKWT pun kemungkinan jauh lebih rendah dibandingkan hitungan pesangon untuk pekerja tetap.
Pelonggaran regulasi seharusnya diiringi dengan penegakan hukum kuat yang bisa melindungi hak pekerja. Namun, kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan terus menurun dari tahun ke tahun. Pemerintah mengakui, minimnya SDM pengawas di lapangan serta kendurnya kontrol dari pemerintah pusat ke daerah membuat kasus pelanggaran atas hak pekerja selama ini kerap tidak ditindaklanjuti.
Dengan demikian, kerisauan dan resistensi kuat kelompok buruh terhadap RUU Cipta Kerja dapat dimaklumi. Kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja adalah produk tergesa-gesa yang dikeluarkan di saat yang tidak tepat, ketika pekerjaan rumah untuk mendidik dan melindungi tenaga kerja belum tuntas dikerjakan.
Memaksakan pasar kerja yang lebih fleksibel saat mayoritas tenaga kerja masih berketerampilan rendah dan minim perlindungan ibarat mendorong pekerja untuk mendadak terjun bebas tanpa persiapan dan pengamanan memadai. Mungkin, candaan buruh yang memplesetkan sebutan RUU Cipta Kerja menjadi RUU Cilaka ada benarnya.