Sejak sebelum pandemi Covid-19, pemerintah intensif mempropagandakan pentingnya menerapkan revolusi industri 4.0. Bahkan, hampir semua kementerian dan lembaga (K/L) memiliki program atau nomenklatur mata anggaran terkait teknologi digital.
Namun, berbagai program digital dengan awalan ”elektronik”, seperti e-learning, e-form, e-document, e-procurement, e-commerce, e-budgeting, dan pelayanan dalam jaringan lainnya hampir dikatakan jalan di tempat. Namun, sejak pandemi Covid-19, tanpa program yang terstruktur dan sistematis, masyarakat ”dipaksa” beradaptasi untuk go digital.
Selama pandemi, diperkirakan pengguna internet mencapai 175,4 juta orang atau sekitar 64 persen dari jumlah penduduk di Indonesia, terutama pengguna media sosial 160 juta orang. Terjadi lonjakan sangat cepat dan drastis dalam penggunaan teknologi digital di kehidupan sehari-hari. Sebab, hampir seluruh kegiatan pendidikan terpaksa dilaksanakan secara daring atau virtual, bahkan untuk level pendidikan dasar. Tak terkecuali kegiatan ekonomi bergeser ke digital agar mampu beradaptasi dengan protokol Covid-19. Tidak berlebihan jika dikatakan pandemi mempercepat revolusi teknologi digital secara praktis. Artinya, terjadi lompatan literasi masyarakat terhadap teknologi digital dengan sendirinya.
Baca juga: Berpacu Melawan Resesi
Momentum langka tersebut mestinya dioptimalkan untuk memitigasi dampak ekonomi dari Covid-19. Setidaknya untuk meminimalisasi polemik memprioritaskan kepentingan kesehatan atau ekonomi. Sebab, peningkatan adopsi digital membantu menopang kegiatan ekonomi yang terganggu, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Adopsi dan adaptasi melalui ekonomi digital berpeluang meningkatkan efisiensi karena mampu mengurangi biaya produksi hingga 12-15 persen. Apalagi, jika tidak sekadar melalui transaksi daring, tetapi juga meningkatkan literasi atau akses terhadap sektor keuangan. Konon, potensi ekonomi digital Indonesia merupakan yang terbesar di ASEAN. Data tersebut tentu tidak mustahil karena potensi populasi Indonesia terbesar di ASEAN.
Terbukti, selama pandemi, dalam waktu singkat, literasi masyarakat terhadap inklusi keuangan meningkat pesat. Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) 2019 menunjukkan, indeks inklusi keuangan mencapai 76,19 persen. Artinya, sebenarnya tingkat akses masyarakat terhadap layanan atau ”melek” terhadap produk keuangan meningkat signifikan. Sayangnya, survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tersebut memberi catatan, tingkat pemahaman masyarakat terhadap produk keuangan baru 38,03 persen. Oleh karena itu, pemanfaatan produk keuangan untuk kegiatan ekonomi produktif masih terbatas.
Hal itu disebabkan peningkatan inklusi keuangan sekadar penambahan pembukaan rekening tabungan, terutama sejak pemerintah mengubah sistem bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) menjadi bantuan langsung tunai melalui transfer bank. Bahkan, Bank Indonesia dan OJK membuat terobosan layanan keuangan tanpa kantor bank dan penggunaan agen bank. Inklusi keuangan yang melibatkan agen-agen laku pandai semula bertujuan tak sekadar memudahkan pemberian bantuan, tetapi juga meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap produk perbankan. Setidaknya basis data profil masyarakat miskin masuk dalam radar perbankan sehingga cepat dikenali guna mendapatkan akses pembiayaan sekalipun dimulai dengan usaha-usaha ultramikro.
Pemanfaatan produk keuangan untuk kegiatan ekonomi produktif masih terbatas.
Transparan dan akuntabel
Model penyaluran bantuan sosial melalui inklusi keuangan jelas akan lebih transparan dan akuntabel. Data profil penerima bantuan tidak mungkin fiktif dan mudah diintegrasikan dengan berbagai skema program perlindungan sosial. Setidaknya dapat mengurangi celah moral hazard karena Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang karut-marut. Perluasan penerima bantuan dapat diperbarui, divalidasi, serta dipantau dengan cepat dan tepat berdasarkan usulan masing-masing daerah. Artinya, penyerapan anggaran perlindungan sosial Rp 242,01 triliun tidak hanya cepat, tetapi juga lebih tepat mencapai target sasaran. Sayangnya, pemerintah lebih memilih delapan skema perlindungan sosial dengan formula penyaluran yang beraneka ragam.
Penetrasi inklusi keuangan mestinya juga sangat efektif diintegrasikan pada program Pemulihan Ekonomi Nasional. Alokasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar Rp 123,46 triliun. Pembiayaan melalui inklusi keuangan berbasis digital mestinya dapat mempercepat penyaluran pembiayaan untuk UMKM. Apalagi, survei Mandiri Institute pada Agustus 2020 menunjukkan, sekitar 43 persen UMKM terpaksa membatasi operasional usahanya karena keterbatasan modal.
Baca juga : Ekstra Paradoks di Tengah Resesi
Di sisi lain, data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan, hingga Juni 2020, baru sekitar 8 juta pelaku UMKM atau 13 persen yang mampu memanfaatkan digitalisasi. Program Pemulihan Ekonomi Nasional UMKM dapat diintegrasikan dengan keuangan inklusif berbasis aplikasi, mirip pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi atau peer to peer lending, sekaligus dapat mendorong UMKM untuk go digital. Jadi, UMKM akan mendapatkan paket komplet, yakni terakses pembiayaan perbankan melalui keuangan inklusif sekaligus difasilitasi untuk go digital.
Penetrasi inklusi keuangan mestinya juga sangat efektif diintegrasikan pada program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Jangkauan UMKM akan lebih luas dan akurat, apalagi bantuan usaha produktif untuk ultra mikro melalui program kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga nol persen. Target KUR ultra mikro akan menyasar 3 juta debitor, lebih spesifik mendukung usaha produktif para ibu rumah tangga dengan plafon kredit sekitar Rp 3 juta. Selain itu, juga para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan plafon kredit sekitar Rp 10 juta. Selain KUR ultra mikro, pemerintah juga mengalokasikan bantuan produktif Rp 2,4 juta dengan target diperluas menjadi 15 juta pelaku UMKM dengan alokasi anggaran awal Rp 22 triliun.
Alokasi anggaran yang disiapkan untuk memitigasi dampak pandemi Covid-19 cukup berlimpah. Apalagi, khusus untuk anggaran perlindungan sosial, sebenarnya dalam APBN 2020 total sebesar Rp 495 triliun. Artinya, jika berbagai program perlindungan sosial terintegrasi, mestinya sudah lebih dari cukup untuk memitigasi dampak Covid-19 kepada seluruh penduduk miskin dan rentan miskin. Dengan simulasi penduduk miskin sekitar 25 juta, yang jika diperluas sampai rentan miskin terdampak Covid-19, diasumsikan menjadi 40 juta hingga 50 juta penduduk. Setidaknya dengan simulasi kasar dan sederhana, dengan angaran Rp 495 triliun, alokasi anggaran masing-masing kelompok miskin dan rentan miskin sekitar Rp 10 juta.
Demikian juga jika alokasi anggaran stimulus ekonomi efektif dan tepat sasaran mestinya juga cukup guna menopang dan memulihkan berbagai aktivitas ekonomi. Setidaknya anggaran untuk UMKM, dukungan melalui kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pembiayaan korporasi, dan insentif usaha. Nyatanya geliat ekonomi sektor riil sampai dengan triwulan III-2020 masih menunjukkan kontraksi. Pertumbuhan penyaluran kredit pada Agustus hanya 0,12 persen, yang sedikit naik menjadi 1,04 persen pada September 2020. Sekali lagi, mestinya transformasi digital dapat dioptimalkan meningkatkan inklusi keuangan guna mengefektifkan upaya pemulihan ekonomi.